Cina Jadi Mitra Dagang Nomor Wahid, FAKKTA: Akibat Cina-ASEAN Free Trade

 Cina Jadi Mitra Dagang Nomor Wahid, FAKKTA: Akibat Cina-ASEAN Free Trade

Mediaumat.news – Pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Cina dan Mongolia Djauhari Oratmangun yang menyebut Cina akan menjadi mitra dagang nomor wahid bagi Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai US$79 miliar atau setara Rp1.137,6 triliun, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak disebabkan berlakunya Cina-ASEAN Free Trade yang mengeliminasi tarif impor barang alias nol persen.

“Ini bukan bagian dari OBOR/BRI, sebab Cina-ASEAN Free Trade sudah sejak 2010 efektif berlaku, yakni 90% dari tarif impor barang telah dieliminasi alias nol persen,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Selasa (6/7/2021).

Menurutnya, sejak saat itu hingga sekarang defisit perdagangan Indonesia dengan Cina semakin besar. “Pasalnya, daya saing produk dari negara itu lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, terutama harganya yang relatif lebih murah. Ihwal murahnya harga tersebut didukung oleh subsidi besar-besaran pemerintah Cina terhadap produk yang berorientasi ekspor, seperti modal kerja, tanah, dan promosi,” ujarnya.

Selain itu, Ishak mengatakan, tarif perdagangan Indonesia Cina juga sangat rendah, bahkan sebagian besar nol persen. “Dampaknya, produk-produk impor dari Cina membanjiri pasar domestik. Mulai dari barang-barang yang padat modal, seperti produk elektronik sampai barang yang padat tenaga kerja, seperti tekstil dan produk-produk pertanian, diimpor dari Cina,” bebernya.

“Akibatnya, banyak industri domestik yang menyusut produksinya, bahkan semakin banyak yang tutup karena kalah bersaing,” ujarnya.

Menurutnya, inilah yang menjadi salah satu pangkal mengapa terjadi deindustrialisasi di negara ini. “Peran sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi semakin rendah. Dampaknya, daya serap tenaga kerja menyusut. Sementara setiap tahun angkatan kerja terus meningkat, sehingga angka pengangguran menjadi tinggi,” jelasnya.

Persoalan lainnya, menurut Ishak, semakin tinggi defisit perdagangan tersebut, maka devisa yang dibutuhkan untuk impor juga semakin besar sehingga nilai tukar rupiah menjadi semakin lemah.

“Sayangnya, hingga saat ini tidak ada upaya untuk melakukan evaluasi perdagangan tersebut. Bahkan pemerintah malah mempererat kerja sama dengan negara itu, meskipun negara itu semakin buntung,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *