Central Comite Chilaafat: Organisasi Islam Pertama di Nusantara yang Ingin Menegakkan Khilafah

Mediaumat.id – Merespons undangan dari al-Azhar yang berencana menegakkan khilafah kembali dengan menyelenggarakan Muktamar Khilafah, Kaum Muslim Nusantara berkumpul di Surabaya mendirikan Central Comite Chilaafat.

“Pada 4-5 Oktober 1924, Tjokroaminoto mengumpulkan para ulama dan tokoh pergerakan Islam di daerah Genteng, Surabaya, untuk membahas undangan dari al-Azhar yang berencana menegakkan khilafah kembali. Dari pertemuan di Surabaya ini, para ulama dari Sarekat Islam pusat dan cabang, Muhammadiyah, al-Irsyad, at-Tadibiyah, Tasywirul Afkar, Ta’mirul Masajid, dan gerakan-gerakan Islam lainnya memutuskan untuk mendirikan Central Comite Chilaafat. Inilah organisasi Islam pertama di Nusantara yang secara gamblang menandaskan tujuannya untuk menegakkan Khilafah,” tutur narator film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara 2 (JKdN 2) Akhmad Adiasta dalam JKDN 2 yang tayang perdana, Rabu (20/10/2021) secara daring.

Menurut Akhmad, Central Comite Chilafat berkeyakinan atas dasar hukum Islam, bahwa kaum Muslim tidak boleh tidak mesti mempunyai khalifah atau imam, yang memegang pemerintahan dalam urusan agama dan dunia.

“Central Comite Chilaafat menjadi wadah raksasa yang menaungi hampir seluruh organisasi Islam di Nusantara kala itu. Tanpa mengenal lelah, mereka berdakwah seluas-luasnya untuk menyebarkan pengertian dan pengetahuan tentang kepentingan khilafah dalam Islam,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata Akhmad, pada 24-27 Desember 1924, di Surabaya, diadakanlah Kongres al-Islam Luar Biasa. “Sesuai namanya, kongres yang diadakan Central Comite Chilafat ini memang sangat luar biasa dengan berkumpulnya seluruh ulama dari tanah Jawa dan luar Jawa, baik dari golongan modernis maupun tradisionalis, hanya untuk menyambut undangan dari al-Azhar Mesir untuk menegakkan Khilafah,” ujarnya.

Dalam Kongres al-Islam Luar Biasa pada Desember 1924 ini, Akhmad menuturkan, Tjokroaminoto berorasi lantang, “Seorang Islam yang tidak mengindahkan dan memperhatikan seruan dari Kairo (untuk menegakkan khilafah), sungguh mati roh keislamannya!”

“Begitu pula Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah. Ia menyemangati peserta kongres agar jangan pesimis dalam menghadiri Muktamar Khilafah global di Kairo. Bagi Haji Fakhruddin, ‘Islam tidak membeda-bedakan umat dan kepandaian. Anak Hindia tidak akan kalah dengan anak Kairo dan lain-lain negeri, terutama untuk mempersatukan pikiran buat mengadakan khalifah’,” ungkapnya.

Akhirnya, peserta Kongres al-Islam Luar Biasa bersepakat untuk mengirim tiga representatif Muslimin Nusantara guna menghadiri Muktamar Khilafah di Kairo Mesir. “Mereka adalah Suryopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah, dan Kiai Haji Wahab Hasbullah, seorang perwakilan ulama tradisional yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama,” ujarnya.

Muktamar Khilafah

Menurut Akhmad, ketika para ulama dan tokoh pergerakan Islam di Nusantara dan dunia sudah menyiapkan ide dan tenaganya untuk menegakkan kembali khilafah dalam Multamar Khilafah di Kairo, negara penjajah yang menjadi adidaya saat itu, Inggris, segera bereaksi untuk mencegah usaha-usaha mereka. “Inggris memainkan pion-pionnya di Timur Tengah untuk saling bersaing menjadi khalifah sehingga umat menjadi bingung,” tegasnya.

“Jadi memang waktu itu banyak sekali tokoh yang diundang pada saat muktamar waktu itu ya untuk mengikuti Muktamar Khilafah di Mesir.  Jadi memang waktu itu seharusnya Kiai Wahab (Hasbullah) itu ikut. Tapi karena suatu hal, beliau akhirnya tidak bisa mengikuti muktamar tersebut,” ujar Ketua Komite Nahdhatul Ulama 1926 KH Agus Solachul Aam Wahib yang akrab disapa Gus Aam.

Akhmad menuturkan, di Jazirah Arab, gerakan Abdul Aziz bin Su’ud dari Najd yang disponsori Inggris berhasil merebut Dua Tanah Suci pada awal tahun 1925. Dengan dalih ingin memberantas Syarif Husayn yang bertentangan dengan salafush shalih, ia mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Dan tiada sedikit pun terbetik dalam pikiran Abdul Aziz bin Su’ud untuk menegakkan kembali khilafah.

Hubungan Kuat

“Karena peta dunia memang sudah lemah dan Turki Utsmani tidak mungkin dibangun lagi kekuatannya, ya akhirnya gagal. Tapi reaksi itu menunjukkan, pertama, Hubungan itu kuat, psikologinya itu kuat, relasinya ada, dan itu yang menurut saya yang dirasakan oleh umat Islam di seluruh dunia,” beber Sejarawan Moeflich Hasbullah.

Moeflich menilai, sampai sekarang perasaan itu masih ada. “Masih ada sekarang di kalangan umat yang masih tetap kehilangan atas kerinduan kebersatuan umat Islam di seluruh dunia itu. Sebagiannya sudah ada yang tenggelam melupakan dan sudah menerima Barat, menerima demokrasi, menerima sekularisme, menikmati apa adanya; sebagian lagi umat ada yang terus merindukan itu untuk bangun kembali, bangkit kembali,” jelasnya.

Menurut Akhmad, periode setelah tahun 1924, menyaksikan kegetiran ketika kaum Muslim kehilangan sosok khalifah yang bisa dibaiat, sosok imam yang menjadi perisai mereka.

“Kaum Muslim sedunia, termasuk di Nusantara, tidak akan pernah melupakan bahwa dulu seluruh dunia Islam pernah bernaung di bawah kepemimpinan yang satu, Daulah Khilafah,” tegasnya.

“Kenangan itu begitu jelas tercatat dalam sejarah emas kita dengan segala dinamikanya. Catatan sejarah yang sangat kuat, bahwa Khilafah pernah meninggalkan jejaknya di Nusantara. Spirit Islam yang tertanam kuat di hati Muslimin, membuat mereka taat kepada syariat,” tambahnya.

Menurut Akhmad, dengan syariat inilah, keterikatan Muslimin Nusantara dengan Khilafah terjadi begitu erat. “Perjuangan penegakkan syariat Islam dan khilafah pun tidak pernah berhenti setelah Khilafah Utsmaniah dihancurkan pada 1924,” ujarnya.

Moeflich menilai, tuntutan kekhilafahan akan terus muncul sampai bisyarah Rasulullah, Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, itu terjadi. “Pasti itu! Jadi ini prediksi Rasulullah, ini hadits, ini gerakan massanya, menyambung gitu menjadi sebuah energi yang menyatu. Allahu Akbar!” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: