Celaka, Dana Desa ‘Disunat’ KKB?
Oleh: Hadi Sasongko (Direktur POROS)
Sebagaimana diungkap detik.com (7/11/2020), kebijakan Dana Desa dibuat pemerintah demi menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun miris, di Papua, Dana Desa tidak bisa betul-betul terserap untuk kepentingan masyarakat. Dana Desa ‘disunat’ kelompok kriminal bersenjata (KKB) untuk pembelian senjata api dan amunisi. KKB memeras para pejabat desa begitu mereka tahu Dana Desa sudah cair. Hal tersebut diungkapkan Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni. Dia mengatakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua terhambat karena Dana Desa kerap dirampok KKB. “KKB ini biasanya setelah mengetahui pencairan Dana Desa, akan menunggu di perkampungan. Ketika bertemu aparat desa, mereka akan meminta sebagian dana tersebut. KKB ini mengancam dengan senjata kalau tidak diberi sebagian dana itu,” tutur Natalis dalam keterangan yang diterima, Kamis (5/11/2020).
Natalis mengaku tak bisa mengontrol penyaluran Dana Desa karena langsung diterima kepala kampung atau sekretaris kampung. Menurutnya, praktik KKB ‘menyunat’ Dana Desa untuk beli senjata bisa disetop dengan dua cara.
Dia meminta penyaluran Dana Desa dievaluasi dan penjualan senjata harus harus diawasi petugas keamanan. Menurutnya, KKB akan kehabisan senjata dan amunisi jika tidak ada penjual senjata.
Komentar:
Ini terlalu! Masak teror KKB nggak bisa dibumihanguskan? Aksi-aksi penyerangan bersenjata yang terjadi di Papua selama ini terlihat dilakukan secara terorganisir.
Tampak ada kegamangan pemerintah menyatakan bahwa di balik kasus penyerangan bersenjata itu ada motiv separatisme. Padahal melihat data-data yang ada, motif itu jelas tidak bisa dinafikan. Entah apa yang mendasari sikap gamang pemerintah itu.
Terlepas dari semua itu, aksi-aksi tersebut jelas merupakan aksi teror dan memenuhi semua kriteria tindak pidana terorisme. Aksi-aksi itu juga jelas menimbulkan suasana teror di masyarakat. Namun pemerintah justru hanya menilainya sebagai tindak kriminal biasa dan pelakunya hanya disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Padahal sudah jelas menembaki aparat menggunakan senapan laras panjang dan pendek, bahkan mereka memastikan korban tewas dengan menembaknya dengan senapan laras pendek atau dengan memastikannya menggunakan senjata tajam. Helikopter yang akan mengevakuasi jenazah korban pun juga ditembaki hingga menyebabkan korban luka.
Sikap pemerintah seperti itu juga ditunjukkan terhadap aksi-aksi penyerangan bersenjata termasuk menggunakan senapan laras panjang yang diduga dilakukan oleh OPM. Pemerintah juga tidak menyebut OPM sebagai kelompok teroris. Disinilah seolah terjadi “pembiaran” dan tidak ada tindakan sepadan dan tegas sehingga masalah itu terus terjadi.
Anehnya, sikap seperti itu jauh sekali dari sikap aparat (pemerintah) terhadap orang Islam yang diduga menjadi bagian dari “aksi terorisme”. Baru terduga saja sudah ditangkap, ada yang disiksa, bahkan ditembak mati di tempat tanpa dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan. Lebih ironis lagi, ada yang ditembak usai shalat atau pengajian di Masjid. Padahal di antara mereka tidak melakukan apa-apa. Sementara yang jelas-jelas menembaki aparat dan warga sipil, menyebabkan 12 orang tewas, menimbulkan suasana teror, tetap saja tidak disebut teroris dan tidak ditindak tegas seperti yang dilakukan terhadap para terduga teroris. Salah satu alasan masuk akal dibalik sikap pemerintah itu, adalah karena pemerintah takut pada opini internasional terutama tekanan dari negara-negara besar seperti Amerika. Di samping, tindakan terhadap terduga teroris jelas sejalan dan seirama dengan kebijakan barat khususnya AS. Maka semua itu merupakan konfirmasi bahwa pemerintah tidak independen dan tidak mandiri dalam menyikapi dan mengelola keamanan dalam negeri. Juga mengkonfirmasi bahwa pemerintah selama ini seirama dengan lagu kebijakan barat khususnya AS, jika tidak boleh disebut mengekor atau bahkan disetir.
Salah satu akar persoalan di Papua adalah adanya ketidakadilan dalam proses pembangunan yang dirasakan warga di Papua khususnya di pedalaman, pegunungan, dan daerah tertinggal. Persoalan makin kompleks karena di wilayah yang selama ini masih terisolasi dan belum terlayani pembangunannya itu, muncul sentra perlawanan kepada pemerintah.
Padahal bumi Papua sangat kaya sumber daya alam. Tambang Freeport, gas Tangguh dan kekayaan alam begitu berlimpah di bumi Papua. Namun nyatanya, pembangunan di Papua begitu tertinggal dan masyarakatnya miskin. Kekayaan alam yang berlimpah di bumi Papua belum menjadi berkah.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, selama ini telah diberikan Otonomi Khusus kepada Papua dan dana puluhan triliun pun telah digelontorkan. Dana otsus Papua plus dana-dana reguler lain.
Akar persoalan di Papua adalah akibat penerapan kapitalisme. Kekayaan alam yang berlimpah justru banyak mengalir demi kesejahteraan asing karena pengelolaan kekayaan alam itu diserahkan kepada asing melalui skema kontrak kerja sama ataupun kontrak bagi hasil.
Di sisi lain, dana triliuan yang telah digelontorkan ternyata tidak dirasakan oleh masyarakat. Dana itu lebih banyak dinikmati oleh para elit. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah sistem politik demokrasi yang korup dan sarat modal.
Semua itu sebenarnya bukan hanya problem Papua, meski harus diakui Papua adalah salah satu yang paling parah. Masalah itu adalah masalah negeri ini secara keseluruhan.[]