Catatan Penting Siyasah Institute tentang Konsep Negara Bangsa

Mediaumat.id – Mengomentari hukum seputar kewajiban khilafah di era kekinian yang sering dibenturkan dengan keberadaan nation-state (negara bangsa) dikarenakan hari ini kaum Muslim hidup di negara yang terpisah dan mandiri berdasarkan suku bangsa juga bahasa mereka, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar memberikan beberapa catatan penting tentang konsep negara bangsa ini.

“Ada beberapa catatan yang penting diperhatikan mengenai nation-state atau negara bangsa ditinjau dari fakta dan sejarah serta bila dinilai dari ajaran Islam,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (7/2/2023).

Iwan melihat, upaya untuk mengimplementasikan hukum khilafah yang telah disepakati ulama ahlus sunnah wal jama’ah ini, dianggap problematik karena berhadapan vis a vis dengan kaum Muslim yang telah memiliki negara bangsa, dengan pemerintahan yang mandiri. Sebab itu, sebagian orang memandang implementasi hukum kewajiban khilafah adalah bermasalah dan sudah usang, tidak relevan dengan kondisi kekinian.

Namun, Iwan mempertanyakan, benarkah konsep negara bangsa tidak problematik sebagaimana klaim orang terhadap khilafah. Ataukah jangan-jangan sebenarnya nation-state itu katastropik dibandingkan khilafah. Sebab menurutnya ada beberapa catatan penting tentang negara bangsa ditinjau dari fakta sejarah serta dinilai dari ajaran Islam.

Pertama, dalam sejarahnya negara bangsa lebih sering memicu konflik primordial dengan korban jiwa yang besar.

Iwan melihat, paham negara bangsa bisa jadi monster mengerikan yaitu chauvinisme yang menjadi bahan bakar imperialisme. Contoh nyata adalah Perang Dunia I dan II. Obsesi dan ambisi Hitler dengan ras Arya untuk menguasai Eropa, dan Jepang dengan ras Yamato yang ingin menguasai Asia.

Dalam Perang Dunia II di kawasan Asia, Jepang punya doktrin Hakko Ichiu yang bermakna Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap. Satu atap yang dimaksud adalah di bawah Kekaisaran Jepang. Dunia tidak akan lupa pada tahun 1920 dan 1930-an, paham fasisme dan ultranasionalisme di Jepang mulai merebak baik di kalangan militer maupun politisi. Para penganut paham fasisme di Jepang mempercayai bahwa ras Yamato, suku Jepang, adalah ras yang jauh lebih mulia dibanding yang lainnya. “Mengerikan bukan,” sebutnya.

Berdasarkan satu catatan, kata Iwan Perang Dunia I satu merupakan perang paling destruktif dalam sejarah perang modern. Diperkirakan ada 10 juta prajurit tewas selama perang dan 21 juta orang terluka dalam pertempuran. Sedangkan Perang Dunia II jauh lebih kejam. Konflik yang berkecamuk dari 1939 hingga 1945, menumbalkan lebih dari 60 juta korban jiwa di berbagai negara.

“Korban bukan saja berasal dari kalangan militer, tapi juga penduduk sipil serta kaum Yahudi yang dibantai oleh Nazi. Sebagian besar warga sipil jadi korban perang karena berbagai penyebab, seperti serangan bom udara, kelaparan, sampai wabah penyakit,” bebernya.

Dan hari ini, Iwan melihat, penduduk dunia disuguhi konflik antar Ukraina vs Rusia, juga Arab Saudi vs Yaman. Perang ini berkobar di era negara bangsa berdiri. Belum lagi bila dirunut ke belakang ada perang di Semenanjung Korea, Perang Teluk Irak-Iran, Inggris vs Argentina dalam perebutan Teluk Malvinas, atau konflik yang masih terus terjadi seperti antara India dengan Pakistan, Cina dengan Tibet juga dengan Taiwan.

Iwan mengungkapkan, bukan saja konflik militer, tapi hari ini penduduk dunia juga menyaksikan konflik kepentingan ekonomi dan politik antar bangsa, seperti Amerika dengan Cina, Amerika dengan negara-negara Eropa, atau internal Uni Eropa yang sering melibatkan Inggris, Prancis dan Jerman. Dan jangan lupa, invasi AS dan Inggris dalam operasi Badai Gurun ke Irak adalah salah satu bentuk imperialisme negara bangsa terhadap bangsa lain. Alasan AS dan Inggris bahwa Irak dengan Saddam Husain terlibat jejaring Al-Qaeda dengan senjata pemusnah massalnya adalah kebohongan besar dan sama sekali tidak terbukti.

“Tidak berlebihan kalau konsep negara bangsa sedari awal hingga sekarang adalah katastropik. Menciptakan kerugian yang amat besar dan berlangsung dalam waktu lama,” jelasnya.

Kedua, karena desakan berbagai kepentingan dan juga untuk melindungi diri secara bersama, banyak negara di dunia yang menjalin pakta atau aliansi, seperti untuk kepentingan ekonomi, politik dan militer.

Di bidang militer, Iwan melihat, masih eksisnya NATO, dalam bidang ekonomi ada AFTA, G8, G20 dan sebagainya. Pada akhirnya para pemimpin negara bangsa itu melihat harus ada aliansi untuk menghadapi berbagai persoalan dunia.

Iwan membeberkan, masyarakat Eropa adalah contoh betapa batas-batas negara bisa dihilangkan untuk sejumlah kepentingan. Keberadaan nation-state bisa direduksi untuk menghadapi kepentingan bersama. Celakanya, aliansi atau pakta yang besar di dunia justru didominasi oleh negara-negara besar yang digunakan untuk memaksakan bahkan menekan kepentingan mereka pada negara-negara lain yang lebih lemah. NATO selalu melindungi kepentingan AS dan sekutunya. Berbagai aliansi ekonomi dunia justru seringkali merugikan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia.

Menurut Iwan, negara-negara besar dengan perusahaan-perusahaan raksasanya kemudian mengeksploitasi kekayaan alam negara-negara lemah. Freeport asal AS menjadi perusahaan tambang terkaya di dunia setelah mengeruk emas di Papua. Lalu perusahaan-perusahaan pertambangan Cina kuasai nyaris 90 % nikel di Indonesia. Rata-rata perusahaan-perusahaan raksasa itu mengeksploitasi tenaga kerja warga pribumi dengan upah murah. Inilah penjajahan gaya baru oleh negara bangsa terhadap negara bangsa lainnya.

Keberadaan negara bangsa, pada akhirnya menciptakan relasi kekuasaan yang menindas. Negara-negara besar seperti AS atau UE, juga Rusia, bisa menekan dan memaksakan kehendaknya pada negara-negara bangsa yang lebih lemah. “Inilah salah satu poin kerugian eksistensi negara bangsa,” ucapnya.

Ketiga, konsep nation-state seringkali jadi alasan banyak pemerintah untuk menahan tindakan kemanusiaan bahkan dengan alasan ukhuwah Islam, karena kepentingan negeri/bangsa mereka ditempatkan di atas kepentingan kemanusiaan.

Iwan mempertanyakan, apa yang bisa dilakukan oleh para penguasa negara-negara bangsa yang penduduknya mayoritas Muslim terhadap genoside Muslim Rohingya oleh Junta Militer Myanmar.

Bukankah tragedi penolakan manusia perahu pengungsi Muslim Rohingya oleh sejumlah penguasa Muslim, termasuk oleh Indonesia disebabkan konsep negara bangsa.

Ia juga mempertanyakan, apa yang dilakukan para pemimpin Arab untuk mengatasi agresi militer Israel terhadap tanah Palestina. Bahkan sekarang satu demi satu para pemimpin Arab berdamai dan mengakui eksistensi Israel. Hal serupa juga terjadi dalam operasi genosida yang dilakukan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur. Dalam usulan pembahasan di PBB tentang pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur, Indonesia justru ikut menolak bersama Pakistan, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Terakhir, Iwan mengingatkan, Islam sejak lama sudah meleburkan umat manusia dalam satu ikatan tauhidullah yaitu semua mukmin bersaudara. “Islam ketika hadir di negeri mana pun bisa menciptakan melting point beragam suku bangsa. Semua tunduk pada syariat Islam, berbahasa Arab, hidup dalam naungan Khilafah Islamiyyah, dan mendapatkan perlindungan yang kokoh,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: