Catatan Krusial Revisi Ketiga RUU Polri 2002

Mediaumat.info – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki memberikan catatan krusial terkait revisi ketiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia.

“Kalau kita lihat, beberapa catatan tentang RUU revisi ketiga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ini, ada beberapa catatan saya yang agak krusial dan ini sebenarnya juga sudah dibahas di berbagai kalangan media,” ujarnya dalam Kabar Petang: Ada Agenda Menjadikan Polri Lembaga Superbody, Rabu (3/7/2024) di kanal YouTube Khilafah News.

Hal krusial dimaksud, menurutnya,  ada beberapa poin. Pertama, RUU ini sangat berpotensi memberangus kebebasan publik sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat 1 huruf Q.

“Itu kewenangan ada di kewenangan siber, jadi di situ Polri punya kewenangan untuk mengawasi kemudian melakukan tindakan dan bahkan berwenang untuk memblokir kemudian memutus, memperlambat akses siber dan seterusnya, ini saya pikir sudah sangat mengganggu terkait ruang publik yang di dunia siber dan ini saya anggap sudah terjadi overlapping (tumpang tindih) dari tugas kepolisian itu sendiri,” tuturnya.

Pasalnya, jelas Wahyudi, sudah ada kementerian yang khususnya mengawal yakni Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).

“Saya pikir ini sudah overlap yang terlalu jauh apalagi diberi kewenangan sampai bisa mengawasi kemudian bertindak, kemudian memblokir bahkan memutus memperlambat,” tuturnya.

Ketiga, ada pasal yang menabrak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan.

“Saya lihat di situ ada tugas pokok polisi yang diperluas dengan ikut serta dalam pemberantasan gerakan separatis atau tindakan separatisme. Saya pikir ini domainnya TNI, TNI yang harusnya melakukan ini yaitu terkait dengan gerakan separatisme sementara tugas utama Polri harusnya di bidang ketrentramen dan ketertiban (trantib) masyarakat,” jelasnya.

Jadi, lanjut Wahyudi, persoalan pertahanan negara yang mengurusi persoalan itu terlebih separatis itu sebenarnya tugas pokok TNI, kalau ini diloloskan maka terjadi tabrakan antara kewenangan TNI dan kewenangan Polri yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2024,” bebernya.

Ketiga, pemberian kewenangan kepada Polri untuk menyadap sebagaimana tercantum pada Pasal 14 Ayat 1 Huruf O.

“Saya pikir akan berbahaya, bisa menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dan ini nanti antar institusi negara bisa saling sadap ini, Komisi Pemberantasan Korupsi Korupsi (KPK) menyadap polisi, polisi menyadap KPK dan seterusnya,” jelasnya.

Keempat, pemberian kewenangan kepada Polri untuk ikut dalam pembinaan hukum nasional, sementara pembinaan hukum itu ada kementerian yang sudah mengurusnya yaitu Kemenkumham dan Kemenkopolhukam.

“Nah kalau ini diberi kewenangan kepada kepolisian juga sudah ada overlap di situ yang akhirnya eh terjadi tumpang tindih, ada irisan-irisan kewenangan antara institusi negara itu sendiri baik antar menteri maupun menko,” jelasnya.

Kelima, persoalan yang sangat serius dalam revisi RUU ketiga ini akan berdampak besar dan menimbulkan abuse of power terjadi kewenangan yang berlebihan dan menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang semakin besar.

“Kita tahu tanpa itu pun sudah banyak persoalan-persoalan serius di tubuh kepolisian kita, mulai dari apa keterlibatan oknum-oknum polisi bahkan level jenderal untuk dalam bidang narkoba, ada juga kita dengar kasus polisi tembak polisi, ada istri polisi membakar suami ini yang anggota polisi juga ada, juga di polisi menembak e aktivis di Km 50 yang sampai hari ini juga belum tuntas-tuntas, itu belum transparan dilakukan penuntasannya,” tuturnya.

Fokus

Semestinya, lanjut Wahyudi, Polri fokus pada permasalahan mendasar dan kalau mau dilakukan pembenahan justru harus menyentuh akar persoalannya di tubuh sumber daya manusia (SDM) yang harus diperbaiki.

“Kemudian di sistem apa penyimpangan karier itu di tubuh kepolisian maupun pengawasan juga harus diperbaiki, sehingga persoalan mendasar yang hari ini di tubuh Polri itu kalau mau direvisi harusnya di titik itu yaitu mengembalikan lagi kepercayaan publik yang sedang menurun,” ungkapnya.

Tapi, menurutnya, yang harus menjadi perhatian untuk segera diselesaikan adalah pelanggaran disiplin di tubuh oknum-oknum anggota kepolisian itu, harus segera ditindak tegas dan harus diperbaiki secara mendasar.

“Sebenarnya di situ yang harusnya dikeluarkan aturan-aturan yang lebih ketat dalam konteks pembinaan maupun dalam konteks pengawasan maupun dalam konteks hukuman bagi pihak-pihak oknum Polri yang terlibat baik terlibat narkoba, kita tahu sampai level jenderal bisa terlibat bahkan sampai dalam konteks etika, misal tadi ada polisi yang membunuh polisi, ada istri polisi yang bakar suaminya sendiri dan seterusnya, ini saya pikir di dalam tubuh internal ada masalah yang sangat serius yang harus segera dituntaskan,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: