Catatan Kritis Pasca Gelaran IMF-Bank Dunia 2018
Oleh: Fajar Kurniawan (Analisis Senior PKAD)
Gelaran pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, berakhir Ahad sore. Pertemuan tahunan IMF-World Bank Group 2018 menghasilkan Komunike Komite Moneter dan Keuangan Internasional (IMFC). IMF sepakat dengan Presiden Joko Widodo bahwa negara-negara harus bekerja sama untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Catatan
Agenda di Bali ini bertabrakan dengan apa yang pernah disampaikan Jokowi. “Jokowi Sebut Asia-Afrika Tak Butuh Bank Dunia dan IMF” demikian judul yang dibuat Tempo.co, pada Rabu, 22 April 2015 12:46 WIB. Sebelumnya, hanya selisih sekitar enam menit, pada 22/04/2015, 12:40 WIB, Kompas.co menulis judul berita “Jokowi: IMF, Bank Dunia, dan ADB Tak Memberi Solusi”
Selain kedua media daring tersebut, masih banyak media lain yang membuat judul senada. Pelbagai judul ‘gagah’ tadi bersumber dari substansi pidato Presiden Jokowi saat membuka Konferensi Asia-Afrika di Jakarta Convention Center di Senayan, Rabu, 22 April 2015.
Bagian pidato Jokowi yang dianggap seksi oleh banyak kru media antara lain berbunyi begini: “Asia-Afrika harus bisa lepas dari ketergantungan pada institusi keuangan global. Pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF (International Monetary Fund), dan ADB (Asian Development Bank) adalah pandangan usang yang perlu dibuang.”
Banyak kalangan menganggap ini adalah pidato terbaik Jokowi selama menjadi Presiden. Belum pernah sebelumnya juga sesudah, Presiden berpidato setara apalagi lebih baik daripada pidato tersebut. Saya sendiri menilai, sejak pidato heroik inilah saatnya Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman neolib yang ganas dan telengas. Tapi itu cerita dulu, pada 22 April 2015. Karena faktanya, pidato adalah satu hal dan kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi adalah hal lain. Keduanya bisa saja berbeda, berseberangan atau bahkan bertabrakan total.
Indonesia harus waspada pada kondisi yang mengarah ke krisis baru. Jika terlena, bisa kembali ke vicious trap IMF. Maka peran IMF perlu diperhatikan dengan teliti agar, minimal kondisi masa lalu tidak terulang dan menimpa Indonesia (keuangan). Sebab, pada krisis 98, IMF dianggap tidak memberikan solusi, akan tetapi sebaliknya. Karena banyak pengalaman, keterlibatan IMF dalam menangani krisis justru makin menjerumuskan ke jurang krisis ekonomi.
Jurus Maut IMF
Tatkala suatu misi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan Kepala Tim Ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengembangkan program empat langkah.
Langkah pertama adalah program’ Privatisasi’ , yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program ‘Penyuapan’. Pada program ini perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada tahapan ini menurut Stiglitz, “Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek ‘pemberian’ 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari harga penjualan aset nasional mereka tadi”.
Sesudah program “penyuapan” itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana “satu-ukuran-(yang) pas – untuk menyelamatkan ekonomi anda” (‘all size – economic solution ‘), yaitu “Liberalisasi Pasar Modal”. Dalam teorinya deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMP. Malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak pernah balik.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang.
“Hasilnya bisa diprediksi”, kata Stiglitz mengomentari tentang gelombang pasang uang panas di Asia dan Amerika Latin. “Suku bunga yang tinggi menghancurkan nilai properti, memangsa produksi industri, dan mengeringkan dana nasional”.
Pemasukan modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan, karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002 yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu “Pricing – Penentuan Harga Sesuai Pasar”, sebuah istilah yang muluk untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih, dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, “Kerusuhan IMF”.
“Kerusuhan hasil ciptaan IMF” itu sudah bisa diprediksikan dan sangat menyakitkan hati. Tatkala suatu negara sudah jatuh pingsan (IMF) akan mengambil keuntungan dan memeras sampai tetes darah terakhir yang masih ada pada negara debetor. Suhu akan terus meningkat, dan pada saatnya ketel itu meledak”, seperti halnya ketika IMF, menurut Stiglitz, mengharuskan menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun 1998. Indonesia meledak dengan kerusuhan. Dan masih ada contoh kasus lain – kerusuhan di Bolivia, sehubungan dengan kenaikan tarif air bersih pada tahun 2001, dan pada bulan Februari 2002 kerusuhan di Ekuador karena kenaikan harga gas dapur yang diperintahkan oleh Bank Dunia. Kesan yang ada ialah kerusuhan itu memang direncanakan.
“Kerusuhan IMF” (yang dimaksudkan dengan ‘kerusuhan’ di sini ialah demonstrasi damai yang dibubarkan dengan gas air-mata, peluru, dan tank), menyebabkan panik baru yang berakibat dengan pelarian modal (‘capital flight’) dan kebangkrutan pemerintah setempat. Kebakaran ekonomi ini mempunyai sisi terangnya – untuk perusahaan perusahaan asing, yang yang mendapatkan kesempatan menyabet sisa aset negara yang sedang kacau-balau itu, seperti konsesi pertambangan, perbankan, perkebunan, dan lain sebagainya dengan harga obral-besar-besaran.
Pengentasan Kemiskinan?
Kini kita sampai ke tahap keempat yang oleh IMF dan Bank Dunia diberi nama “Strategi Pengentasan Kemiskinan”: yaitu, Pasar Bebas. Yang dimaksud ialah ‘pasar bebas’ berdasarkan aturan dari WTO (‘World Trade Organization’ – Organisasi Perdagangan Dunia’) dan Bank Dunia. Stiglitz, orang dalam Bank Dunia itu menyamakan ‘pasar bebas’ dengan ‘perang candu’. “Konsep itu bertujuan membuka pasar”, katanya. “Persis seperti halnya pada abad ke-19, negara-negara Barat dan Amerika Serikat menghancurkan rintangan yang ada bagi perdagangan di Cina. Sekarang hal yang sama dilakukan untuk membuka pasar agar mereka dapat berdagang di Asia, Amerika Latin dan Afrika, sementara negara-negara Barat itu memasang tembok yang tinggi terhadap impor hasil pertanian dan produk manufaktur dari Dunia Ketiga”.
Sebagai akibat program’ pasar-bebas’. Para pengusaha kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku-bunga sampai 60 % dari bank lokal dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari Amerika Serikat atau Eropa, dimana suku-bunga berkisar tidak lebih dari antara 6 – 7 %. Program semacam ini berakibat mematikan kaum kapitalis lokal
Dalam ‘Perang Candu’, negara-negara Barat mengerahkan blokade militer untuk memaksa Cina membuka pasarnya bagi perdagangan mereka yang tidak seimbang. Sekarang Bank Dunia dapat memerintahkan blokade keuangan, yang sama efektifnya seperti pada ‘Perang Candu’ – dan sarana mematikannya.
Stiglitz khususnya sangat emosional ketika membahas tentang perjanjian hak-hak intelektual (dalam bahasa Inggris disingkat dcngan TRIPS). Menurut mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia itu, ‘Tata Dunia Baru’ (‘Novus Ordo Seclorum’) itu pada telah “menjatuhkan vonis hukuman mati kepada rakyat sedunia”, dengan cara memberlakukan tarif dan “upeti” yang tidak masuk akal yang harus dibayarkan kepada perusahaan obat-obatan yang punya merk. “Mereka tidak peduli”, kata profesor yang bekerja-sama di bidang urusan kredit bank dengan perusahaan-perusahaan obat-obatan itu, “apakah orang akan hidup atau mati”.
Topeng
Sebagian besar publik, terutama pemerintahan negara-negara di Dunia Ketiga masih memandang IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga dengan wajah yang manusiawi, seperti yang dinyatakan dalam charter-nya, “turut-serta dalam upaya menghapuskan kemiskinan”. Dalam kenyataannya, IMF lebih sukses berperan dalam menciptakan kemiskinan negara-negara yang sedang berkembang, ketimbang mengatasi kemiskinan yang mereka derita. Kalau ada yang menyangka ada konflik antara keduanya, antara IMF dan Bank Dunia, maka perkiraan itu keliru sekali.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengenai IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga-lembaga itu sebenarnya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut “pemicu”.[]