Mediaumat.id – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan catatan kritis terhadap revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hampir tiga tahun mandek pembahasannya antara pemerintah dan DPR.
“Hingga kajian ini diterbitkan, penulis masih belum mendapatkan draf terbaru RKUHP yang bakal disahkan tersebut. Oleh karena itu kajian ini berdasarkan pada draf tahun 2019. Berikut ini beberapa catatan kritis penulis yang didasarkan pada draft RKUHP tahun 2019,” ujarnya dalam rilis yang diterima Mediaumat.id, Kamis (23/6/2022).
Chandra menyebut ada delapan poin catatan kritisnya terkait revisi KUHP tersebut.
Pertama, berkaitan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat kepala negara sahabat dan wakil negara sahabat. Menurutnya, jika masyarakat melakukan demonstrasi mengecam kebijakan dan tindakan negara lain semisal kebijakan yang merugikan umat Islam kemudian masyarakat melakukan unjuk rasa mengecam dan tindakan kepala negaranya, maka perwakilan negara tersebut yang ada di Indonesia dapat membuat pengaduan pidana.
Kedua, berkaitan penodaan bendera kebangsaan negara sahabat. Mengutip Pasal 23, yaitu “Setiap orang yang menodai bendera kebangsaan dari negara sahabat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”, Chandra mengatakan, pasal ini harus menjadi perhatian apabila masyarakat menggelar unjuk rasa mengecam negara lain dengan membawa bendera negara tersebut untuk dibakar atau di injak-injak, misalnya bendera AS, Inggris, Israel dan lain-lain.
Ketiga, berkaitan penghinaan terhadap presiden. delik ini tampaknya akan dihidupkan kembali. Chandra menilai, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mempunyai kekuatan hukum tetap setelah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga secara ilmu perundang-undangan tidak boleh lagi dihidupkan, karena putusan MK itu final dan mengikat. Apabila pasal tersebut tetap dihidupkan kembali, maka akan menjadi preseden yang buruk dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
Keempat, berkaitan penghinaan terhadap pemerintah. Chandra menyebut, pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah diatur dalam Pasal 240 RKUHP. Rancangan aturan itu menyebutkan setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang berakibat kerusuhan. Ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara dan denda paling banyak kategori IV.
Kelima, berkaitan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Chandra mengatakan, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara ada pada Pasal 353 RKUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan. Pasal 354 RKUHP ini mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan dan lembaga negara melalui media elektronik.
Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara merupakan delik aduan. Artinya, perbuatan ini dapat diproses hukum jika pihak yang merasa dirugikan membuat aduan atau laporan kepada pihak berwenang.
Mengutip penjelasan draf RKUHP, ia menilai bahwa pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/wali kota.
Keenam, berkaitan hukum yang hidup (living law). Pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat. Artinya, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah. Chandra mengkhawatirkan pasal ini akan memunculkan kesewenang-wenangan dan peraturan daerah yang diskriminatif.
Ketujuh, berkaitan dengan demonstrasi. Mengenai unjuk rasa, diatur dalam Pasal 273 draf RKUHP. Pasal 273 menyebutkan pihak yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Chandra mengungkapkan, frasa pemidanaan terhadap demonstrasi yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum ini menimbulkan multitafsir. Terutama tentang kepentingan umum yang terganggu. Pasal ini juga membatasi kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum yang merupa hak konstitusional setiap warga negara.
“Padahal penyampaian pendapat di muka umum hanyalah masalah pemberitahuan mengenai hal yang administratif, apa urgensinya mengkriminalisasinya.” beber Chandra.
Kedelapan, berkaitan penghasutan melawan penguasa umum. Dalam pasal 246 diatur bahwa perbuatan menghasut penguasa umum dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun. Adapun merujuk penjelasan draf RKUHP, yang dimaksud dengan menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mendengar.
Sedangkan Pasal 247 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi hasutan agar melakukan tindak pidana atau melawan penguasa umum dengan kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.
“Penjelasan Pasal 247 draf RKUHP menerangkan, yang dimaksud dengan menyiarkan merupakan perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik,” pungkas Chandra.[] Agung Sumartono