Catatan ILC TV One: Haus Tahta, Lupa Bencana
Oleh: Ahmad Sastra
Bukan ILC kalau tidak menjadi perbincangan. Tema-tema yang diangkat ILC selalu memiliki efek sosial yang luas, mengingat isu-isu nasional teraktual disuguhkan dalam perspektif kritis. Begitupun malam ini [14/08/18], ILC mengangkat tema politik yang sedang membara : Antara Mahar Politik dan PHP.
Judul yang diangkat Bang Karni dimaksudnya untuk memberikan gambaran bahwa politik demokrasi yang membutuhkan dana raksasa selalu menjadi persoalan tersendiri, meski telah menjadi budaya. Sementara istilah PHP dikaitkan dengan Mahfud MD yang tidak jadi dipillih oleh Jokowi menjadi cawapres.
Pak MMD membongkar secara fulgar bahwa Jokowi menyatakan dirinya tak berdaya ketika partai-partai koalisi mengajukan calonnya masing-masing dan menolak pak MMD. Meskipun katanya, Jokowi sejak tanggal 1 Agustus sudah mantap memilih MMD. Terjadilah drama marah-marah bahwa jika bukan orang NU yang jadi cawapres, maka NU akan mencabut dukungan kepada Jokowi. Pak MMD menegaskan siap mempertanggungjawabkan pernyatannya.
Sementara Lukman Edi justru menyebutkan dengan tegas pernyataan Cak Imin bahwa MMD adalah kader PKB. Nampaknya ada perseberangan antara NU dan PKB. Sementara Nusron Wahid politisi golkar yang dulu memuja Ahok, kini memuja-muja Kyai Ma’ruf Amin yang justru dulu menfatwakan keharaman pemimpin kafir. Dengan berbagai apologi yang muter-muter, Nusron Wahid mengajurkan orang NU jangan hanya membaca tafsir jalalain, tapi juga harus membaca tafsir jalan lain.
Drama politik demokrasi nampaknya hanya akan mempertontonkan kehausan kekuasaan para elit tanpa betul-betul memahami persoalan rakyat yang semakin sengsara. Nama-nama yang muncul dan disiapkan partai-partai dan diajukan dan saling mengancam jika kadernya tak terpilih menunjukkan secara gambling bahwa demokrasi benar-benar sontoloyo. Padahal di tempat lain, masyarakat Lombok justru sedang menderita karena tertimba musibah besar berupa gempa bumi yang memporak-porandakan rumah dan menelan korban yang cukup banyak.
Lebih dari itu demokrasi sekuler telah makin memperlebar jurang polarisasi umat Islam. Muslim yang mayoritas di negeri ini makin mengalami semacam perpecahan. Hanya karena dukung-mendukung orang, seringkali harus melupakan esensi persaudaraan diantara sesama muslim. Persoalan inilah yang sering luput dari kaum muslimin pada umumnya. Demokrasi sekuler yang merupakan ideologi transnasional dari Barat sebagai warisan kuno Yunani terbukti memecah belah umat Islam.
Demokrasi hanya persoalan kekuasaan dan materi, hanya itu saja. Jargon-jargon pembelaan terhadap rakyat kecil sering kali hanya pepesan kosong. Buktinya pergantian dari rezim ke rezim hanya mengantarkan bangsa ini semakin tidak berdaulat. Sumber daya alam milik rakyat justru kini dikuasi asing. Nilai-nilai Barat begitu masif masuk negeri para wali ini yang pada akhirnya merusak moral generasi negeri ini. Namun anehnya, umat Islam tak kunjung sadar akan imperialisme jahat demokrasi liberal ini.
Drama perebutan kekuasaan adalah ironi demokrasi di tengah kesengsaraan rakyat Indonesia. Pak MMD begitu gamblang membongkar drama politik kekuasaan ini. Sayangnya demokrasi jarang mendapatkan pemimpin terbaik dari drama perebutan itu. Seorang jurnalis Amerika sebagaimana dikutip oleh Bang Karni bahwa orang-orang terbaik justru tidak mau dijadikan kandidat. Sebab logika demokrasi bukan memilih pemimpin terbaik, namun memilih kepentingan yang memihak kepada partainya. Menjadi tidak penting apakah pemimpin itu baik atau tidak baik.
Jangan kaget jika demokrasi tidak punya standar moral untuk menjadi pemimpin, tak juga punya standar latar belakang profesi untuk bisa menjadi pemimpin. Semua orang punya hak untuk menjadi pemimpin, semua orang, apapun latar belakangnya, inilah kelamahan fatal dari sistem demokrasi. Dibanding dengan sistem Islam, antara demokrasi dengan Islam seperti bumi dan langit.
Islam memiliki syarat dengan standar tinggi terhadap kepemimpinan, sementara demokrasi bahkan tidak memiliki standar apapun. Jika ditanyakan kepada para pemuja demokrasi, bolehkan pelacur menjadi presiden, maka mereka akan menjawab, boleh saja asal dipilih rakyat. Itulah kebusukan demokrasi, tidak ada moral dalam politik demokrasi, yang penting ada kecocokan, bajingan sekalipun bisa menjadi pemimpin, asal menguntungkan kepentingan materi bagi partai.
Alexander, seorang penyair Inggris menyebutkan bahwa partai politik memang menjadi kegilaan banyak orang namun hanya menguntungkan segelintir orang. Itulah partai politik dalam sistem ideologi demokrasi. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah pepesan kosong, sebab yang kaya hanya segelinitr orang. Dalam demokrasi, kekayaan sepuluh orang bisa mengalahkan jumlah harta seratus juta rakyat miskin.
Franki Budi Hardiman menekankan kembali bahwa demokrasi hanya memuaskan segelintir orang, sementara jargonnya untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam bahasa dia, demokrasi sesungguhnya adalah oligarki yang ingin melindungi harta para kapitalis. Demokrasi itu berbahaya, sebab tradisi uang menjadikan sistem politik ini makin menambah keresahan rakyat. Politik ibarat asean games yang sarat dengan bisnis dibawah dan puisi diatasnya. Hal ini akan mengakibatkan ketidakpercayaan publik kepada elit politik. Apakah pilpres 2019 justru akan menambah sinis publik atau masih menyisakan harapan ?.
Rocky Gerung, pengamat politik, mengungkapkan politik di negeri ini tengah mempertontonkan pengkhianatan demi pengkhianatan. Kasandra kompleks, dalam psikologi, oleh Rocky Gerung ditujukan kepada MMD menjadi salah satu drama pengkhianatan itu. Ia menambahkan tragedi MMD sebagai semacam pameran imoralitas. Sekali lagi inilah watak demokrasi yang sesungguhnya, menciderai moralitas publik, karena politik bisa ditransaksikan. Politik demokrasi memang sontoloyo.
Akhirnya, drama ancam-mengancam, marah-marah dan pengkhianatan atas nama kehausan kekuasaan tengah mewarnai kontestasi pilpres 2019. Bisa diperkirakan, apa hasil dari drama haus kekuasaan ini selanjutnya, apakah Indonesia akan menjadi lebih berdaulat, lebih sejahtera, lebih adil dan lebih maju, atau malah tambah carut marut. Entahlah, tanya saja kepada rumput yang bergoyang. []