Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. | Ketua LBH PELITA UMAT
Publik merasa sangat prihatin atas adanya dugaan skandal penghilangan barang bukti oleh oknum penyidik KPK yang berasal dari institusi kepolisian. Mengapa ? Karena saat ini, publik nyaris hanya tinggal menaruh kepercayaan proses penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi kepada institusi KPK. Skandal ini, mencoreng wibawa KPK sekaligus meruntuhkan kepercayaan publik kepada KPK. Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin terjadi kejahatan ekstra ordinary berupa dugaan penghilangan, pengrusakan dan/atau pengaburan barang bukti perkara korupsi di institusi KPK ? Bahkan oleh penyidik KPK sendiri ?
Sementara itu, di saat yang sama publik juga sedang menunggu komitmen nyata Polri memperbaiki citra institusi yang dianggap tidak dipercaya publik. Kasus skandal penghilangan barang bukti yang diduga dilakukan penyidik KPK dari institusi Polri ini berpotensi menegasikan segenap ikhtiar maksimal Polri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri. Apalagi, penghilangan barang bukti itu terkait erat adanya dugaan aliran dana yang masuk ke petinggi Polri.
Apa yang dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun ke Kepolisian RI tidak dapat diterima oleh nalar dan logika sehat. Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya mengambil tindakan mengembalikan dua penyidik dari kepolisian, tanpa proses lebih lanjut baik proses pidana maupun penegakan kode etik dan disiplin KPK.
Tindakan kedua penyidik KPK dari unsur kepolisian yang terekam kamera CCTV berupa pengrusakan, penghilangan dan/atau pengaburan barang bukti yakni : Buku bank sampul merah PT Impexindo Pratama yang Berisi catatan pengeluaran perusahaan pada 2015-2016 dengan jumlah Rp 4,337 miliar dan US$ 206,1 ribu. Buku bank sampul hitam PT Aman Abadi Nusa Makmur berisi catatan pengeluaran perusahaan periode 2010-2013 dengan jumlah US$ 1,256 juta, termasuk merusak 9 lembar BAP pada kasus yang menjerat Patrialis Akbar, seharusnya dapat dijerat pidana.
Keduanya bisa dijerat Pasal tentang tindak pidana menghalangi atau merintangi proses penegakan hukum. Pasal 21 UU Tidak Pidana Korusi (Tipikor), menerangkan bahwa :
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.”
Tindakan kedua penyidik KPK berupa dugaan penghilangan, pengrusakan dan/atau pengaburan barang bukti perkara dengan cara menghilangkan sejumlah buku tabungan, merusak lembaran Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Pengaburan isi BAP dengan menorehkan tipe-ex adalah memenuhi unsur Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, khususnya dalam perkara korupsi dengan terdakwa atas nama Patrialis Akbar. Melalui dokumen bukti yang dihilangkan, seharusnya penyidik KPK dapat mendalami dan mengembangkan perkara untuk mencari siapa saja pihak-pihak lain yang mendapat aliran duit dari penguasa Basuki Hariman selain yang diterima Terdakwa Patrialis Akbar.
Pada kasus korupsi E – KTP , penyidik KPK sangat sigap mengembangkan kasus korupsi yang dilakukan Setya Novanto, menyasar kepada pengacara Novanto, Frederick Yunadi dan menjeratnya dengan pasal menghalangi penyidikan. Bahkan, Frederik akhirnya diganjar vonis hakim dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun lamanya.
Namun KPK tidak melakukan tindakan yang sama terhadap dua penyidik dari Polri yang diduga menghalangi penyidikan. KPK hanya mengembalikan kedua penyidik Polri itu ke instansi asal.
Selain tidak memproses pidana, KPK juga tidak melakukan serangkaian tindakan disiplin untuk menegakkan kode etik pegawai KPK. Padahal secara etik, kedua pelaku dapat ditindak berdasarkan ketentuan Pasal 5 huruf a Peraturan KPK RI No. 10 Tahun 2016, Tentang Disiplin Pegawai dan Penasehat KPK.
Dalam pasal 5 huruf ditegaskan : “Setiap Pegawai atau Penasihat KPK dilarang menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau di luar kepentingan KPK”.
Tindakan kedua pelaku dalam kapasitas sebagai penyidik KPK yang memiliki akses dan kewenangan memasuki gedung dan ruang penyimpanan barang bukti di KPK terkualifikasi menyalahgunakan wewenang yang ada padanya, wewenang yang melekat tidak digunakan untuk melakukan serangkaian proses penegakan hukum, akan tetapi disalahgunakan untuk merusak, menghilangkan dan/atau mengaburkan barang bukti.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 9 KPK bisa menjatuhkan sanksi atas adanya Pelanggaran Disiplin, dari hukuman ringan, hukuman sedang, hingga hukuman berat. Anehnya, kedua penyidik Polri ini tidak diperiksa dugaan tindak pidananya, tidak pula diproses pelanggaran disiplinnya. KPK hanya mengembalikan keduanya ke institusi asal (Polri). Bahkan, pasca dikembalikan keduanya justru mendapat promosi jabatan dan ditempatkan menjadi Kapolres Serang kota dan di Ditreskrimsus Polda metro Djaya.
Tindakan tidak pruden baik yang dilakukan oleh KPK maupun institusi Polri akan memantik ketidakpercayaan publik pada dua institusi ini. Seharusnya, dugaan tindak pidana ini ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan sehingga dapat diketahui secara pasti ada tidaknya suatu tindak pidana pada kasus penghilangan barang bukti. Sebab, fakta hilangnya barang bukti adalah fakta hukum yang diakui KPK. KPK perlu menelisik lebih lanjut apakah pelaku perusakan, penghilangan dan/atau pengaburan barang bukti itu dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun adalah peristiwa pidana.
Penyelidikan ini sederhana, mengingat bukti awal berupa petunjuk rekaman camera CCTV begitu jelas mengabadikan siapa yang ada diruangan barang bukti sebelum akhirnya barang bukti dinyatakan hilang. KPK tinggal menindaklanjuti dengan memanggil sejumlah saksi pegawai KPK yang bekerja pada waktu dan tanggal yang tertera pada record CCTV. KPK juga tinggal memanggil kedua terduga untuk diklarifikasi.
Jika terdapat unsur pidana, baik melalui kajian ahli secara yuridis maupun kajian fakta dari olah TKP dan keterangan saksi, KPK tinggal meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan. Jika tidak terpenuhi, KPK juga bisa mengabarkan kepada publik bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena unsur tidak terpenuhi.
Alih-alih KPK segera melakukan penyelidikan dan memproses dugaan pelanggaran etik, justru KPK mengunggah kalimat pasrah dan seolah membuang masalah. KPK tidak segesit dan seenergik saat memburu Frederik Yunadi dengan pasal penghalangan penyidikan.
Skandal ini, sedikit maupun banyak telah menghilangkan harapan dan cita hukum publik atas komitmen menegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Seyogyanya, KPK dan Polri bekerjasama untuk segera memproses hukum skandal ini agar kepercayaan publik masih bisa dikembalikan. Jika KPK dan Polri diam, sulit untuk membangkitkan semangat anti korupsi ditengah mandulnya lembaga anti korupsi pada perilaku koruptif yang diduga terjadi dilingkaran internal institusi KPK. []