Carbon Offset, IJM: Bentuk Pembajakan Isu Iklim Global

Mediaumat.id – Terkait isu carbon offset yang makin menghangat seiring penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris November ini, dinilai Direktur Indonesian Justice Monitor Agung Wisnuwardana sebagai bentuk pembajakan isu iklim global.

“Mekanisme carbon offset dan carbon trading ini hanyalah pembajakan isu iklim global oleh negara maju dan korporasi,” ujarnya dalam sebuah rilis yang diterima Mediaumat.id, Kamis (11/11/2021).

Mekanisme dari carbon offset, sebagaimana yang ia terangkan, yakni, negara maju dan korporasi akan terus memproduksi emisi karbon demi kepentingan meraih profit besar. Sementara, mereka juga berupaya ‘mengurangi emisi karbon’ di tempat yang lain.

“Suatu korporasi membuka hutan di suatu lokasi untuk pertambangan. Sebagai offset-nya (pelunasan/pengganti), mereka akan menanam pohon di tempat yang lain dengan jumlah yang seimbang,” jelasnya memisalkan.

Sehingga, kebijakan tersebut ia pandang sebagai tindak kejahatan. Betapa tidak, semua mekanisme itu ditata dalam skema perdagangan karbon (carbon trading), terlebih dalam skala global.

Apalagi, ia melihat krisis iklim saat ini sudah berada pada kondisi yang gawat. Sehingga yang diperlukan semestinya lebih dari sekadar aksi yang serius serta ambisius untuk mengurangi emisi karbon dengan menata energi baru terbarukan untuk menjaga suhu bumi maksimal bertambah 1,5⁰ C dibanding masa pra-industri.

Di sisi lain, ia mempertanyakan penghitungan macam apa sehingga bisa menyamakan antara emisi karbon akibat keserakahan segelintir orang berikut wadah korporasinya, dengan aksi mereka menyerap karbon di tempat lain.

“Hutan, tak sekadar dipandang dari aspek pohonnya. Tetapi juga serapan air dan benefit lainnya yang saya yakin tak mampu tergantikan oleh kalangan korporasi dengan seimbang,” tuturnya.

Perpres NEK

Indonesia, lanjut Agung, menyambut isu global tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Namun, perpres tersebut menurutnya juga tidak mencerminkan keseriusan terkait upaya pencapaian penurunan emisi karbon 2030. “Hal ini semakin menunjukkan ketidakseriusan terkait penanganan krisis iklim,” tegasnya.

Sebab dari mekanisme carbon offset termasuk kebijakan di dalam Perpres No. 98/2021, ia menilai hanyalah ‘hadiah besar’ bagi negara maju dan korporasi maupun para kapitalis poluter perusak lingkungan hidup.

Pun, sambung Agung, penciptaan kesejahteraan rakyat, lingkungan hidup dan keberlanjutannya bukanlah orientasi sistem itu yang memang tak mampu mendatangkan profit nyata.

“Kalaupun ada perhatian pada kesejahteraan rakyat, lingkungan hidup dan keberlanjutan, maka hal itu hanyalah sebatas gimik pencitraan, tanpa aksi yang serius dan ambisius,” tambahnya.

Mentoknya, imbuh Agung, hal itu hanyalah tambal sulam dari kapitalisme, sistem yang menurutnya rusak dan merusak, agar para kapitalis dapat terus mengeksploitasi bumi ini demi keuntungan segelintir orang.

Dengan demikian, sistem kapitalisme telah menjadikan kapital dan profit sebagai orientasi kebijakannya demi melayani keserakahan segelintir orang. “Saatnya ganti sistem rusak kapitalisme,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: