Mediaumat.id – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menduga ada muatan politis, di balik pemanggilan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus korupsi sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
“Ketika kasus ini seperti ditunda-tunda dan baru dikeluarkan ketika ada kebutuhan terkait dengan politik, enggak bisa dipungkiri bahwa penanganan kasus korupsi ini akhirnya diduga ada muatan politik,” tuturnya, di Kabar Petang: Glodak! Cak Imin Terseret Pusaran Kasus Hukum, Rabu (13/9/2023) melalui kanal YouTube Khilafah News.
Ia memberi alasan, sebelumnya Kejaksaan Agung sudah menyampaikan melalui permintaan Mahfud MD bahwa kalau ada bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden yang terlibat kasus tertentu, diminta untuk menyelidikinya nanti setelah selesai pemilu. Tetapi KPK malah menyegerakan beberapa kasus untuk diselesaikan, padahal pemilu belum selesai.
“Jadi saya lihat di kalangan institusi penanganan masalah pidana korupsi ini berbeda-beda cara menyikapinya antara KPK dengan Kejaksaan. Ini semakin menunjukkan ada muatan-muatan politik di balik ini semua,” tandasnya.
Meski demikian, Agung menegaskan, kalau menyangkut korupsi harus dituntaskan. “Bahwa terkait di dalamnya ada muatan politik juga harus dituntaskan. Jika tidak, akan menyebabkan kasus hukum cuma jadi main-main belaka,” terangnya.
Disimpan
Agung menilai, kasus-kasus pejabat publik terkait korupsi seperti disimpan. Kalau pejabat tersebut masih bersama rezim serta memberi dukungan, kasus tidak dikeluarkan. Tetapi begitu tidak mendukung rezim atau sedikit bertentangan dengan rezim kasus dikeluarkan.
“Kasusnya ada, tapi disimpan dulu, sampai titik tertentu baru dikeluarkan sesuai kebutuhan,” imbuhnya.
Kondisi semacam ini, terangnya, membuat banyak pejabat publik tersandera kasus. Agung melihat, kasus korupsi paska reformasi terjadi semacam korupsi berjamaah, mencakup hampir semua lembaga tinggi negara maupun lembaga tertinggi negara, termasuk lembaga kementerian.
“Inti poinnya karena biaya politik demokrasi sangat mahal sehingga mereka harus mencari cara untuk menutupi biaya demokrasi itu. Yang sering dilakukan adalah mengais-ngais biaya dari hasil korupsi atau mendapat dari oligarki. Ini titik kritisnya!” bebernya.
Agung mengutip perkataan Romahurmuziy yang mengatakan bahwa, menjadi ketua partai politik di Indonesia itu seperti menjejakkan kaki di dua sisi. Satu sisi kakinya sudah ‘dipenjara’ karena biaya politik sangat mahal sehingga ketua partai menggalang dana agar bisa digunakan untuk election (pemilu).
“Persoalan ini memang tidak sekadar bicara hukum tapi juga bicara politik dan format partai politik yang ada di negeri ini. Ini menjadi persoalan sistem yang akhirnya muncul seperti yang kita lihat sekarang ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun