Bunuh Diri ala Populisme

 Bunuh Diri ala Populisme

Populisme meski tumbuh subur di alam demokrasi, malah membuat resah para pegiat demokrasi. Alasannya menakutkan. Populisme membunuh demokrasi justru lewat instrumen demokrasi sendiri. Artinya bunuh diri. Lihat saja tren pemilu di negara – negara dunia belakangan ini. Lewat panggung demokrasilah, pemimpin-pemimpin yang cenderung otoriter terpilih atau mempertahankan kekuasaan. Dengan kekuasaan dalam genggaman, mereka mulai menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Pers dan media dibatasi,  lembaga peradilan dan aparat diperalat untuk menyingkirkan oposisi, dan hukum dimodifikasi untuk melayani kepentingan oligarki. Tren populisme tidak hanya terjadi di negara-negara yang iklim demokrasinya buruk. Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa yang matang demokrasinya pun tak lepas dari wabah politik ini. Sayangnya, aktivitas dakwah yang menyeru kepada Islam yang kaffah juga di cap sebagai bagian dari politik populisme. Suatu cap yang dianggap negatif.

Fukuyama, ilmuwan politik AS yang terkenal dengan thesisnya karena meramalkan akhir sejarah akan dimenangkan demokrasi atas sistem politik lainnya,  pada tahun 2017 menuliskan kerisauannya akan populisme. Barangkali dipicu oleh kemenangan Trump sebelumnya pada Pilpres AS tahun 2016. Ironis. Pribadi yang penuh kontroversi karena sikapnya yang rasialis, merendahkan perempuan, dan bicara lebih banyak berdasarkan insting dan opini ketimbang data, menjadi pemimpin tertinggi negara dengan segudang kaum intelektualnya. Trump dengan politik populismenya memperuncing polarisasi di AS. Bahkan tidak sedikit yang menyalahkan kampanye Trump sebagai penyebab penyerangan terhadap kaum minoritas imigran Meksiko di AS. Oleh karenanya dalam tulisannya, Fukuyama mengingatkan bahwa populisme mengancam tatanan kebebasan dan demokrasi. Tidak hanya di AS tapi juga di dunia internasional.

Fukuyama lalu menjelaskan, meski memiliki definisi yang longgar dan tidak ada konsensus di kalangan ilmuwan politik, paling tidak populisme memiliki 3 karakter dasar. Pertama, pemimpin populis menjalankan atau menjanjikan kebijakan yang populer dalam jangka pendek namun tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Kedua, politik populis tidak merangkul masyarakat secara keseluruhan, namun cenderung berbasis etnis, ras atau kelompok tertentu. Ketiga, gaya kepemimpinan yang berbasis kultus individu. Karisma para pemimpin populis dibangun sebagai orang yang paling mengerti rakyat dan bertindak sebagai perwakilan langsung dari rakyat tanpa perantara. Mereka juga suka mempertentangkan rakyat dengan elite politik yang sedang berkuasa. Menuduh elite tidak pro rakyat. Sementara pemimpin populis mengklaim dapat mewujudkan harapan rakyat dengan cepat.

Bahaya Populisme

Populisme telah memicu banyak perpecahan dan kekerasan di tengah masyarakat. Saat kalah dari Joe Biden pada Pilpres 2020, ratusan pendukung Trump menyerbu gedung Capitol di Washington DC menuntut pembatalan hasil pemilu. Serbuan ini dipicu oleh tuduhan Trump bahwa telah terjadi kecurangan di Pilpres AS.

Populisme pun dituding sebagai biang polarisasi pada Pilpres Indonesia 2019. Keterbelahan masyarakat kemudian dikaitkan sebagai akibat dari populisme Islam. Meski lawan politik populis juga seorang populis yang menggunakan sentimen agama. Untuk memoles citra positif, Jokowi akhirnya menjadikan seorang Kyai sebagai wakilnya untuk membendung cap represifnya terhadap golongan Islam. Polarisasi yang tajam sampai membuat ada sebagian masyarakat yang tidak mau mensholatkan jenazah pendukung lawan politik mereka. Namun populisme agama juga terjadi di belahan dunia lain. Di India, Perdana Menteri Modi berkuasa dan terus bertahan dengan sentimen nasionalisme Hindunya. Di Turki, banyak ilmuwan politik juga menggolongkannya sebagai populisme berbasis agama yang digalang oleh Erdogan.

Populisme memanipulasi emosi rakyat untuk kepentingan elite populis meski dengan jalan menipu rakyat. Gagal di periode sebelumnya, tahun 2024 Trump kembali menang dengan tak kalah kontroversial. Menang untuk kali ke dua dengan selisih cukup jauh dari pesaingnya meski sedang terjerat kasus pidana. Dalam kampanyenya, Ia menawarkan janji-janji bombastis seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan akan menghentikan perang Ukraina vs Rusia dalam tempo 24 jam. Ia juga menjanjikan akan mengakhiri genosida di Gaza yang membuatnya sukses meraup suara mayoritas Muslim Amerika. Meski belakangan muslim di sana akhirnya kecewa karena calon menteri di kabinet Trump justru akan diisi oleh para pendukung garis keras Zionis Yahudi.

Sebab populernya populisme

Bangkitnya populisme sejak tahun 2010 ditengarai karena penurunan kondisi ekonomi dunia. Memaksa kompetisi lebih keras memperebutkan kue ekonomi yang semakin mengecil. Di negara-negara maju, para pekerja kelas bawah dengan keterampilan rendah cenderung kalah saing dengan pekerja yang sama namun dengan upah lebih rendah dari negara-negara berkembang. PHK dan turunnya daya beli kaum menengah dan kelas pekerja menimbulkan banyak sekali permasalahan sosial seperti kemiskinan, perpecahan keluarga, dan kriminalitas yang meningkat. Di Eropa bagian utara, populisme berbasis kaum kelas pekerja dan menengah, condong mengambil posisi sayap kanan dan anti imigran.

Selain karena alasan ekonomi, faktor politik juga sangat kuat berkontribusi menyuburkan populisme. Ketidakpuasan meluas terhadap demokrasi liberal karena cenderung menghasilkan pemerintahan yang lemah. Ketika masalah ekonomi dan masalah sosial membuat masyarakat terbelah, pemerintahan yang lemah akan sangat sulit untuk bisa menyelesaikan dan mengambil keputusan dengan cepat. Pemerintahan sering mengalami kebuntuan akibat tidak segera terjadinya kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Justru yang sering terjadi adalah pertengkaran. Di AS kita sudah melihat berkali-kali terjadinya shutdown yakni berhenti beroperasionalnya pemerintah federal karena anggaran tahunan tidak disetujui oleh kongres.

Kondisi pemerintahan yang lemah dan lambat membuat masyarakat rindu pada sosok yang dianggap “kuat” dan mampu menerobos sistem politik formal yang berlaku. Inilah salah satu alasan, Narendra Modi di India, Shinzo Abe di Jepang dan Putin di Rusia meski sudah lama berada di tampuk kekuasaan tetap saja menjadi pilihan rakyat. Duterte Presiden Filipina dianggap sebagai resolusi dari rasa frustrasi menghadapi kejahatan narkoba dengan kebijakannya mengeksekusi pelaku dan bandar di luar proses peradilan. Mereka dianggap sebagai figur kuat. Meski tindakan mereka merusak sistem pembagian kekuasaan yang menjadi fondasi demokrasi. Lembaga-lembaga dan proses demokrasi tersebut bagi mereka memperlambat realisasi tujuan. Oleh karenanya mereka mudah mengubah aturan dan hukum untuk menyesuaikan kepentingan mereka. Putin memanfaatkan legitimasi dari dukungan masyarakat untuk mengubah aturan yang memungkinkan dirinya masih berkuasa hingga saat ini meski telah berlangsung selama 24 tahun. Hal yang sama terjadi pada Erdogan di Turki yang hingga 2024 ini telah berada di pucuk pimpinan selama 21 tahun.

Di era digital seperti saat ini, internet menghubungkan milyaran orang melalui gadget. Memfasilitasi tersebarnya disinformasi. Berkontribusi pada meningkatnya daya rusak populisme. Terlebih lagi populisme ini sejalan dengan sikap anti pakar, anti sains, dan anti intelektual yang lazim disebut post-truth, termasuk senang dengan teori konspirasi. Lantaran politik populisme memang memainkan emosi manusia dan mengesampingkan nalar dan akal sehat. Belum lagi algoritma yang membuat suguhan konten-konten di beranda akun media sosial hanya topik yang disukai dan minati. Sementara konten yang kontra akan sulit muncul sehingga tidak terjadi keseimbangan informasi. Perhatikan saja bagaimana Pilpres di Filipina pasca Duterte. Anak dari mantan Presiden otoriter Marcos yang tangannya berlumuran darah rakyatnya dan sangat korup, mampu menyihir konstituen untuk memilih dirinya sebagai Presiden. Dengan kampanyenya yang melenakan dan “menghibur” secara emosional, mampu mendistorsi sejarah kelam ayahnya. Lain lagi di Inggris, yang kemudian keluar dari keanggotaan Uni Eropa (Brexit) pasca referendum dimenangkan pilihan untuk keluar. Hasil referendum tersebut ditengarai karena dipicu banyaknya berita dan opini yang tidak akurat seputar imigrasi, Inggris yang terbebani Uni Eropa, dan ketidak-sukaan pada elite di Uni Eropa.

Tantangan bagi Dakwah

Aktivitas dakwah melanjutkan kehidupan Islam yang kaffah kerap dituduh menggunakan siasat populisme. Alasannya karena sering mengungkap keburukan demokrasi liberal yang menjadi biang keladi masalah bangsa ini. Kemudian menawarkan ide dan pemikiran Islam sebagai solusi. Disebabkan mempertentangkan demokrasi liberal bersama elitenya yang bermasalah versus konsep Islam sebagai pembela rakyat inilah yang oleh mereka pegiat demokrasi sebut sebagai populisme. Aktivitas tersebut dituding memperuncing polarisasi di tengah masyarakat. Apalagi jika yang dikampanyekan adalah konsep Islami seperti wajibnya pemimpin wilayah seorang muslim dan wajibnya negara menerapkan syariah.

Aktivis dan jamaah dakwahnya juga harus menghadapi arus kuat opini yang menyibukkan masyarakat. Seperti janji-janji para pemimpin populis, yang ternyata tidak hanya beredar di level nasional, tapi juga bertebaran di level daerah. Jangan lupa bahwa Pilkada juga menjadi ajang pertarungan populisme. Janji-janji muluk seperti naik gaji bagi ketua RT dan RW, membangun Disneyland, dan menciptakan jutaan lapangan kerja, diobral sedemikian rupa. Riuh pilkada pun tak hanya datang dari janji yang membuai. Juga dari konflik antar pendukung, termasuk serangan fajar. Keriuhan ini secara psikologis sangat melelahkan rakyat. Akhirnya mereka lupa bahkan bingung apa sebenarnya masalah mendasar yang dihadapi dan tidak tahu ke mana harus mencari solusi.

Masalah berikutnya datang dari konsekuensi politik dari janji populis. Janji-janji populis biasanya berusaha memainkan sentimen emosional masyarakat dengan menuruti apa pun keinginan mereka meski tidak didukung oleh perencanaan yang matang. Sehingga janji ini biasanya sulit untuk diimplementasikan. Kalau pun dilaksanakan, berkonsekuensi menghabiskan anggaran negara karena janji-janji populis ini biasanya memerlukan dana yang besarnya fantastis. Lihat saja bagaimana kelimpungannya Pemerintahan saat ini untuk merealisasikan program makan siang gratis. Karena setelah dihitung, anggaran yang tersedia masih belum mencukupi. Lagi pula, program-program populis belum tentu berhasil memakmurkan rakyat, namun besarnya alokasi anggaran diprediksi akan menjadi ladang korupsi.

Masalah yang begitu kompleks, dibumbui disinformasi populisme, ditambah dengan kesulitan hidup yang mendera masyarakat menjadikan pikiran mereka kacau. Sehingga terkadang sulit untuk diajak melakukan perubahan fundamental.

“The show must go on”

Dengan tantangan yang berat demikian rupa, aktivitas dakwah tidak boleh berhenti. Perubahan itu akan terjadi saat ada kesadaran. Maka tidak ada pilihan lain selain berusaha sekuat mungkin mencoba mengubah kesadaran masyarakat. Dengan seruan, ajakan, nasehat, pengajaran, debat, dan tentu terorganisir dengan rapi dalam barisan jamaah.

Pembinaan intensif terhadap individu-individu dalam masyarakat harus terus dilaksanakan. Membentuk pemikiran dan kepribadian Islam yang kokoh. Ini bekal untuk membendung disinformasi populisme. Utamanya lagi sebagai modal untuk berjuang merealisasikan pemikiran dan ide Islam. Pembinaan intensif yang berkelanjutan dan bertumbuh, akan menjadikan jumlah mereka yang mengemban pemikiran Islami semakin banyak. Ibarat bola salju, dari kecil namun jika terus menggelinding maka akan menjadi besar. Begitulah pemikiran yang benar, jika konsisten disebarkan dan ditanamkan maka akan mempengaruhi semakin banyak orang.

Pembinaan umum di tengah-tengah masyarakat harus terus disemarakkan. Menyasar berbagai tempat, suasana, dan segmen mana pun. Karena pemikiran Islam harus hidup dan hadir di tengah masyarakat untuk menjawab berbagai persoalan nyata yang mereka hadapi. Agar terbentuk pemikiran yang mengakar dan menjadi standar umum bahwa solusi yang mereka cari hanya ada pada Islam. Bukan mendambakan harapan semu dan janji muluk dari politisi populis.

Perang pemikiran terhadap konsep dan ideologi yang salah harus terus digemakan. Problem besar kita adalah tertanamnya pemikiran-pemikiran rusak dalam benak masyarakat. Karena seringnya mereka terekspose, membuat pemikiran keliru tersebut seolah menjadi lumrah. Padahal ada banyak pertentangannya dengan Aqidah Islam. Misalnya sumber hukum dan legislasi itu harusnya otoritas yang ada ditangan syara’, bukan kehendak manusia yang diwakili oleh mayoritas anggota parlemen.

Perjuangan politik jangan pantang menyerah. Dijalankan dengan mengarahkan berbagai aktivitas  untuk meningkatkan kesadaran politik umat. Diantaranya mengingatkan masyarakat bahwa ketimpangan dan kesulitan ekonomi disebabkan oleh ekonomi yang dikelola dengan model kapitalisme. Pemerintahan yang lemah, korup dan dikendalikan oleh oligarki justru diakibatkan oleh demokrasi.

Sampai kemudian rakyat menjadikan jamaah dakwah dan aktivisnya sebagai sumber saat mencari pemecahan masalah mereka. Termasuk para politisi dan simpul masyarakat menjadikan jamaah yang berjuang ini sebagai pembimbing mereka dalam melakukan perubahan. Lalu rakyat dapat dengan percaya diri memutuskan kepercayaan mereka pada para elite politik yang salah. Dengan dorongan kesadaran Islam yang kaffah yang berarti Islam harus diterapkan dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan pengaturan publik oleh otoritas berkuasa, terciptalah standar yang khas dalam berkata, berbuat, mengambil keputusan, dan melihat dunia. Lalu rakyat merasa cukup atas standar dan cara pandang khas ini sebagai satu-satunya norma kehidupan dan pandangan mendasar yang harus mereka jalankan dan perjuangkan. Yakni sebagai ideologi untuk diterapkan dalam kehidupan yang menyeluruh. Sampai kemudian umat bergerak menuntut perubahan yang sesungguhnya. Bukan populis, bukan demokratis. Melainkan perubahan untuk melanjutkan kehidupan Islam yang kaffah sebagaimana yang diamanatkan oleh Rasulullah SAW yakni dalam bingkai Khilafah.

Aktivitas ini memang berat sehingga menuntut kesabaran dan keteguhan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Hūd [11]:112)

Inilah salah satu surat yang menurut Ibnu Abbas Ra membuat rambut Rasul SAW sampai ada bagian yang memutih beruban sebelum waktunya karena beratnya perintah tersebut. Yakni perintah untuk tetap istiqomah.

Istiqomah artinya tetap teguh dan konsisten. Namun harus diingat, perintah ini berlaku terhadap apa yang diperintahkan Allah SWT. Bukan terhadap apa yang sesuai selera atau keinginan pribadi.  Di zaman yang penuh disinformasi, janji-janji tak pasti, kebenaran yang dianggap nisbi, pengingat untuk istiqomah sangatlah berarti.[]

Penulis: Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *