Oleh: Mahfud Abdullah (Direktur Indonesia Change)
Kematian George Floyd memantik gelombang protes keras rakyat AS. Floyd tewas mengenaskan oleh polisi, karena lehernya ditindih dengan lutut. Ia meninggal karena dianiaya polisi di Amerika Serikat dalam proses penangkapan. Floyd, yang berkulit hitam, ditangkap karena melakukan transaksi dengan uang palsu sebesar 20 USD. Lehernya pun ditindih dengan lutut seorang polisi bernama Derek Chauvin hingga tewas.
Slogan BLM menguat kembali, kematian Selama beberapa tahun terakhir, kampanye “Black Lives Matter” (Masalah Nyawa Orang Kulit Hitam) di Amerika telah mendapatkan perhatian media. Termasuk beberapa suara di media sosial yang berusaha memahami kasus meningkatnya tindakan brutal polisi terhadap orang kulit hitam. #BlackLivesMatter adalah sebuah forum online yang ditujukan untuk membangun hubungan antara orang kulit hitam dengan rekan-rekan kami untuk melawan rasisme anti-kulit hitam, untuk memicu dialog antara orang-orang kulit hitam, dan untuk memfasilitasi hubungan yang diperlukan dalam rangka mendorong aksi dan keterlibatan sosial.
Tidak peduli seberapa besar Amerika menganggap dirinya telah melakukan reformasi modern atau sosial, masalahnya selalu kembali kepada masalah ras yang sama: kulit hitam atau kulit putih. Keistimewaan kulit putih dibahas karena membawa konotasi negative, sebab orang kulit putih pada dasarnya lolos dari ketidakadilan dan menikmati kualitas hidup yang lebih baik daripada orang kulit hitam. Supremasi kulit putih memberikan orang kulit putih otoritas atas ras lain hanya karena warna kulit mereka yang lebih putih. Sebab, banyak orang mengklaim bahwa kulit putih mendapatkan otoritas tidak tertulis atas orang-orang kulit hitam. Hal tersebut terlihat selama pada kasus-kasus yang dilaporkan beberapa minggu terakhir. Saat itu, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap pelanggaran ringan atau salah paham hanya dikarenakan ras. Banyak korban kulit hitam yang meninggal sebagai akibat dari kebrutalan polisi ini.
Peristiwa ini menyebabkan reaksi di masyarakat.
Meskipun Amerika menggembar-gemborkan adanya persamaan hak, tidak ada diskriminasi, dan hukum yang ketat terhadap bias rasial atau etnis, namun situasi dalam kehidupan sehari-hari justru membuktikan bahwa permusuhan terhadap ras lainnya masih seperti tahun 1960-an (periode yang terkenal sebagai Gerakan Hak-hak Sipil).
Kerugian yang terus diderita oleh ras lain berlipat-lipat semakin parah di dalam masyarakat. Mulai dari ketidakadilan pendidikan yang menyasar anak-anak tidak bersalah, hingga menjadi kegagalan di banyak masyarakat di seluruh Amerika Serikat. Baik melalui lapangan kerja dengan keterbatasannya, juga terlihat dari sistem penjara yang jelas menunjukkan perbandingan rasio antara kulit hitam dan kulit putih.
Banyak orang yang mengira bahwa jabatan seperti dokter kulit hitam pertama atau presiden kulit hitam pertama atau apapun kulit hitam pertama sebagai prestasi yang telah dicapai jika hanya fokus pada ras semata, daripada prestasi yang diraih sebenarnya. Warna kulit diutamakan dalam budaya Amerika. Stereotip telah berakar kuat, sehingga menjadikan banyak pembuat kebijakan mencoba mengabaikan akar permasalahannya dan melupakan cara efektif untuk membasmi kesan supremasi kulit putih.
Jika peristiwa-peristiwa ini terjadi pada tahun 2015, Islam dengan perspektifnya yang unik telah secara efektif dan kongkrit menghapus gagasan supremasi ras atau etnis lebih dari 1400 tahun yang lalu. Banyak orang yang terkejut dengan cara unik Islam ketika berbicara kepada individual—salah satu caranya adalah dengan pemikiran rasional. Islam berbicara kepada pemikiran, menilai orang berdasarkan tindakan dan bukan pada warna kulit atau jenis kelamin, sebab itu adalah di luar kendali seseorang. Oleh karena itu, semua individu di bawah Islam diperlakukan sama tanpa memandang warna kulit mereka. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (TQS. Al-Hujurat: 13)
Nabi ﷺ bersabda:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Satu dan ayahmu [Adam] adalah salah satu. Orang Arab tidak lebih baik dari non-Arab, dan orang non-Arab tidak lebih baik dari orang Arab; orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam dan orang berkulit hitam tidak lebih baik dari orang berkulit merah – kecuali dalam hal taqwa (kesalehan)…” (HR Imam Ahmad)
Di sini, ukuran timbangannya adalah taqwa. Jadi hanya Islamlah yang memiliki kapasitas untuk benar-benar merangkul umat manusia dengan semua warna kulit dan etnis, tanpa adanya stereotip terhadap seluruh orang hanya karena warna kulitnya. Islam menjadikan kaum Muslim melihat kepada yang lain tanpa prasangka dan semuanya mendapatkan kehormatan yang sama dan kesempatan untuk berhasil tanpa diserang atau diganggu.