[Buletin Kaffah] Umat, Persatuan dan Politik

[Buletin Kaffah No. 018-19 Rabiul Awal 1439/8 Desember 2017]

REUNI 212—yang menghimpun jutaan umat Islam—telah berakhir. Layaknya reuni, acara besar pada Hari Sabtu (2/12) pekan lalu itu mengingatkan kita pada kegiatan yang sama setahun lalu. Tepatnya “Aksi 212” pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi yang bertajuk “Aksi Bela Islam” (ABI) itu nyata-nyata menunjukkan satu hal yang menggembirakan, yakni persatuan umat Islam. Saat itu jutaan orang—konon tidak kurang dari 7 juta massa—tumpah-ruah di Ibukota, Jakarta, tepatnya di sekitar kawasan Tugu Monas dan sekitarnya. Mereka berasal dari seluruh komponen umat Islam dengan berbagai latar belakang partai, organisasi, profesi, status sosial, mazhab, asal daerah, suku dan lain-lain. Mereka berkumpul dengan satu tujuan yang sama, yakni membela kemuliaan al-Quran yang telah dinistakan oleh Ahok.

Tentu, kaum munafik secara umum tidak suka jika umat Islam bersatu. Mereka tetap menghendaki umat Islam berpecah-belah dan lemah. Mereka khawatir persatuan umat menjelma menjadi sebuah kekuatan besar yang bisa mengancam rezim dan sistem sekular. Karena itu wajar jika ada yang merasa “gerah” dengan acara “Reuni 212”. Mereka mencurigai “Reuni 212” lebih didasarkan pada motif politik tertentu. Setidak-tidaknya, itulah yang dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Jenderal Tito tegas mengatakan bahwa “Reuni 212” bermotif politik. Beliau lalu mengaitkan kegiatan tersebut dengan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 (Lihat: http://news.liputan6.com, 30/11).

Pernyataan Jenderal Tito tentu patut ditanggapi. Namun, pernyataan tersebut tak harus ditanggapi secara negatif. Kita sambut saja secara positif. Tuduhan Tito justru harus dijadikan sebagai salah satu “pelecut” bagi para “Alumni 212” untuk menegaskan diri bahwa mereka memang bukan sekadar “kerumunan massa”. Akan tetapi, mereka adalah kumpulan umat Islam yang memiliki kesatuan visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas, yang didasarkan pada ideologi Islam yang bersumber dari al-Quran.

Umat Wajib Bersatu

Persatuan umat Islam adalah wajib. Sebaliknya, berpecah-belah adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا…

Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali Allah dan jangan bercerai berai… (TQS Ali Imran [3]: 103).

Imam as-Samarqandi berkata, “Wa’tashimû bi hablilLâh (Berpegang teguhlah kalian pada tali Allah)” bermakna, “Tamassakû bi dînilLâhi wa bi al-Qur’ân (Berpegang teguhlah kalian semuanya dengan agama Allah dan al-Quran)” (As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 1/234).

Menurut Imam al-Mawardi, terkait frasa “Wa’tashimû bi hablilLâh (Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali Allah)”, salah satu takwil atas kata “al-habl (tali)” adalah KitabulLâh. Ini adalah pendapat Ibn Mas’ud, Qatadah dan as-Sadi (Al-Mawardi, Tafsîr al-Mâwardî, 1/413).

Alhasil, persatuan umat yang hakiki adalah yang diikat oleh al-Quran. Karena itu persatuan umat Islam sejatinya bukan sekadar “kerumunan massa”. Persatuan umat Islam harus benar-benar didasarkan pada al-Quran.

Kesatuan Visi dan Misi Politik Islam

Selain wajib bersatu atas dasar al-Quran, di dalam QS Ali Imran ayat berikutnya Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).

Terkait ayat di atas, Imam ath-Thabari menyatakan, “Abu Ja’far berkata bahwa frasa ‘yad’ûna ilâ al-khayr’ yakni ‘menyerukan kepada manusia Islam dan syariahnya yang telah Allah syariatkan kepada para hamba-Nya’…”  (Ath-Thabari, Jâmi al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 7/90-91).

Berdasarkan ayat di atas, umat Islam harus memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Visi dan misi politik Islam itu harus diwujudkan melalui gerakan politik yang menyerukan Islam dan menyadarkan umat dengan syariah Islam secara terus-menerus. Tujuannya agar umat terdorong untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah untuk mengatur segenap aspek kehidupan mereka. Gerakan politik yang dimaksud semata-mata diorientasikan untuk mewujudkan segala kemaslahatan bagi umat berdasarkan syariah Islam. Itulah gerakan politik Islam yang sejak awal dijalankan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. sepanjang perjalanan dakwah beliau. Puncaknya, beliau berhasil meraih kekuasaan politik di Madinah—yang ditandai dengan pendirian Daulah Islam yang pertama—yang diorientasikan semata-mata demi melayani umat sesuai dengan syariah Islam.

Meneladani Politik Rasulullah saw.

Sebagaimana kita ketahui, Muhammad bin Abdillah, sejak diangkat sebagai nabi/rasul, mulai tidak disukai oleh kaumnya. Para pemuka Arab, bahkan paman beliau, seperti Abu Lahab yang dulu begitu menyayangi beliau, berbalik memusuhi beliau secara keras. Apakah hal itu semata-mata karena beliau membawa agama/keyakinan baru? Tidak. Pada masa-masa awal dakwah Rasulullah saw. di Makkah, orang-orang Arab tidak begitu peduli. Sewaktu beliau melewati majelis mereka, mereka juga hanya berkomentar, “Inilah putra Abdul Muthalib yang menyampaikan sesuatu dari langit.” Sikap mereka ini terus berlangsung untuk beberapa waktu lamanya (An-Nabhani, 1994).

Namun demikian, sikap mereka berubah drastis saat menyadari bahwa dakwah Rasulullah saw. bukan sekadar ‘gerakan keagamaan’, tetapi telah berubah menjadi sebuah gerakan politik yang diprediksi bakal mengancam bukan hanya keyakinan, tradisi dan budaya mereka, tetapi bahkan bakal menggusur kedudukan sosial dan kekuasaan politik mereka yang tidak mau tunduk pada Islam. Itulah yang sangat disadari terutama oleh para pemuka Arab Qurays saat itu seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dll.

Karena itu pula, gerakan politik Nabi saw. dan kelompok dakwah beliau mulai dicurigai, dimusuhi bahkan terus-menerus diperangi oleh bangsa Arab Jahiliah saat itu. Namun demikian, berbagai siksaan fisik maupun kekerasan psikis tidak menyurutkan gerakan politik Nabi saw. dan para Sahabat beliau. Bahkan atas bimbingan wahyu dan pertolongan Allah SWT, gerakan politik Nabi saw. dan kelompok dakwah beliau semakin tak terbendung.

Gerakan politik inilah yang pada akhirnya berhasil mengantarkan Rasulullah saw. meraih tampuk kekuasaan saat beliau berhasil menjadi kepala negara di Madinah al-Munawwarah. Gerakan politik ini pula yang sesungguhnya mampu menyukseskan dakwah beliau, yaitu saat beliau mengobarkan jihad terhadap bangsa mana saja yang merintangi penyampaian hidayah Allah SWT kepada umat manusia. Pada akhirnya, gerakan politik pula yang memungkinkan kekuasaan Islam, yang semula hanya berkisar di Madinah, meluas ke Makkah dan seluruh jazirah Arab.

Dengan dakwah dan jihad, kekuasaan Islam itu  kemudian terus menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah pada masa kepemimpinan setelah beliau (masa Khulafaur Rasyidin). Islam bahkan menembus ke jantung Afrika, Asia Tengah hingga Eropa pada masa-masa Khilafah Islam setelahnya. Tak kurang 2/3 wilayah dunia berada dalam kekuasaan Khilafah Islam selama berabad-abad. Selama itu pula, bangsa-bangsa kafir tidak pernah berani melecehkan umat Islam, sebagaimana saat ini, yakni sejak keruntuhan Khilafah terakhir di Turki pada tahun 1924.

Karena itulah, saat ini berbagai gerakan politik Islam, terutama yang bertujuan membangkitkan kembali Khilafah Islam, terus ada dan makin membesar. Justru inilah yang dikhawatirkan oleh musuh-musuh Islam. Semakin membesarnya Islam sebagai gerakan politik inilah yang sangat ditakuti oleh Barat, khususnya AS, termasuk kaum sekuler di negeri ini.

Berbagai upaya—mulai dari yang ‘halus’ (seperti perang pemikiran, propaganda hitam, bantuan finansial pendidikan dengan kompensasi berupa perubahan kurikulum madrasah dan pesantren agar menjadi lebih moderat) hingga yang ‘kasar’ (seperti perang melawan terorisme secara fisik maupun melawan radikalisme secara non-fisik)—terus dilakukan oleh AS dan sekutunya. Semua itu dilakukan tidak lain untuk menggembosi Islam sebagai gerakan politik.

Karena itu sangat disayangkan jika banyak tokoh Muslim yang justru malah terbawa arus propaganda Barat dan AS dengan ikut-ikutan mengecam gerakan politik Islam. Tindakan demikian, selain hanya menguntungkan musuh-musuh Islam, juga akan semakin melemahkan posisi Islam dan kaum Muslim sebagai satu-satunya kekuatan potensial di dunia yang bisa meruntuhkan dominasi Kapitalisme saat ini, yang sesungguhnya telah terbukti banyak menimbulkan kerusakan dan aneka krisis di mana-mana, termasuk di negeri ini.

Khatimah

Alhasil, sudah seharusnya umat Islam, termasuk para “Alumni 212”, memiliki visi dan misi politik Islam yang jelas dan tegas. Dengan begitu mereka bukan sekadar rajin melakukan aksi “kerumunan massa”. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mereka terus melakukan gerakan politik Islam. Targetnya tentu bukan sekadar agar kaum Muslim bisa meraih kekuasaan. Yang lebih penting adalah agar Islam benar-benar berkuasa hingga negeri ini sungguh-sungguh bisa diatur dengan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah. Tentu tak ada artinya kaum Muslim berhasil duduk di tampuk kekuasaan, sementara syariah Islam tetap dicampakkan, dan yang diterapkan serta tetap berkuasa adalah sistem sekular seperti sekarang ini. []

Hikmah:

Abu Said al-Khudri ra. menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

كِتَابُ اللهِ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ

Kitabullah adalah tali Allah yang dibentangkan dari langit ke bumi (HR Ahmad; dikutip dalam: Al-Mawardi, Tafsîr al-Mawardî, 1/413).

Share artikel ini: