[Buletin Kaffah] Syariah Memelihara Agama, Nyawa dan Harta

Buletin Kaffah, No. 144 (13 Syawal 1441 H-5 Juni 2020 M)

Wabah pandemi Corona (Covid-19) menyingkap satu fakta yang kasatmata. Tidak lain kegagapan sekaligus kegagalan sistem Kapitalisme di berbagai negara—termasuk di negeri ini—dalam memelihara agama, nyawa dan harta manusia.

Di negeri ini, penyebaran Covid-19 hingga hari ini masih mengkhawatirkan. Menurut data per 2 Mei 2020, ada penambahan 609 kasus positif. Total kasus positif Covid-19 menjadi 27.549 orang. Total yang meninggal menjadi 1.663 orang.

Di tengah situasi yang masih berbahaya ini, Pemerintah malah berencana menyiapkan protokol untuk menghadapi “new normal” atau situasi normal baru. Menurut Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, protokol yang dibahas adalah upaya mengurangi PSBB yang bertujuan untuk memulihkan produktivitas (Elshinta.com, 20/5).

Tampak keputusan itu lebih mementingkan aspek ekonomi. Padahal WHO sendiri telah menetapkan syarat-syarat untuk bisa dilakukan prosedur new normal. Di antaranya angka kasus baru nol selama 14 hari. Faktanya, di Indonesia data kasus baru perhari masih tinggi. Dari 29/5 sampai 2/6 rata-rata 602 ada kasus positif baru secara nasional. Tidak aneh jika banyak ahli menilai kebijakan pelonggaran PSBB atau prosedur new normal itu terlalu terburu-buru. Ini tentu berbahaya.

Menurut sejarahwan J Alexander Navarro dari Pusat Sejarah Kedokteran University of Michigan, Amerika Serikat, dalam sejarahnya pelonggaran pembatasan sosial yang terlalu cepat (prematur) dinilai menjadi sebab ledakan gelombang kedua pandemi flu Spanyol pada masa lalu yang mengakibatkan jumlah korban meninggal sangat besar (Kompas.id, 29/5). Di seluruh dunia, pandemi flu Spanyol menjangkiti 500 juta orang dan menewaskan hingga 50 juta orang.

Ledakan gelombang kedua Covid-19 juga dikhawatirkan akan terjadi. Di Prancis, ketika dilakukan new normal, terjadi ledakan kasus baru dalam sehari. Di Korea Selatan setelah dibuka, sehari kemudian ada 79 kasus baru Covid-19. Sebanyak 251 sekolah ditutup kembali. (Bbc.com/Indonesia, 29/5). Di Wuhan, setelah dibuka, kembali diketatkan. Begitu juga di beberapa tempat lain di dunia.

Memilih Solusi Syariah

Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah SWT) yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan; ada dalam wilayah ikhtiari manusia. Faktanya, saat ini para penguasa dunia, juga penguasa negeri ini, lebih memilih untuk menerapkan sistem Kapitalisme, dan menggunakan metode yang lebih mementingkan aspek ekonomi, dalam mengatasi wabah. Menjaga dan memelihara nyawa manusia seolah dinomorduakan. Bahkan ada pejabat tinggi di negeri ini yang terkesan menganggap enteng nyawa manusia. Dia mengklaim jumlah korban meninggal akibat Corona masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas. Seolah-olah jumlah korban meninggal akibat Corona—meski telah mendekati angka 2000 orang—dianggap belum ada apa-apanya.

Apalagi dalam menjaga dan memelihara agama. Pemerintah makin terkesan abai. Saat wabah seperti ini, banyak masjid ditutup. Tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Shalat Idul Fitri di beberapa daerah juga dilarang. Semua dengan alasan demi mencegah penularan wabah Covid-19.  Sebetulnya alasan ini masuk akal. Tentu jika dibarengi oleh penutupan tempat-tempat keramaian yang lain seperti mal-mal, pasar-pasar, bandara, stasiun, terminal dll. Faktanya, banyak di antara tempat-tempat tersebut—yang notabene jauh lebih ramai daripada masjid—dibiarkan tetap “normal”. Tidak benar-benar ditutup.  Akhirnya, wajar jika banyak orang berprasangka negatif atas kebijakan ini. Pemerintah dituding cenderung anti Islam karena dianggap mendiskreditkan masjid. Seolah-olah masjidlah yang paling berpotensi dalam penularan wabah daripada tempat-tempat keramaian yang lain.

Padahal, persoalannya, sejak awal langkah isolasi dengan luar negeri dan juga isolasi antar daerah tidak segera diterapkan oleh Pemerintah. Akibatnya, Covid-19 pun menyebar hampir ke seluruh negeri.

Begitu juga dengan 3T.  Masih sangat minim. Untuk Covid-19, tes yang diperlukan adalah tes PCR/real time PCR atau tes cepat molekuler (TCM). Tes itu perlu dilakukan secara cepat, masif dan luas. Tes massal bisa dilakukan dengan metode yang efektif. Di antaranya metode pool test.

Menurut WHO, idealnya angka tes itu sekitar 30.000 tes persatu juta penduduk. Jika penduduk negeri ini 250 juta, idealnya perlu 7,5 juta tes. Faktanya, jumlah uji PCR secara nasional hingga 2 Mei 2020 hanya sebanyak 237.947. Artinya, angka uji PCR hingga 2 Mei 2020 hanya 952 per satu juta penduduk. Angka ini tentu sangat kecil.

Karena itu yang harus diprioritaskan oleh Pemerintah saat ini adalah bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19. Keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis (pengusaha/pemilik modal).

Karena itu solusinya tidak lain dengan syariah Islam. Dengan syariah Islam, wabah akan lebih mudah diatasi dan dikendalikan. Tentu tanpa mengganggu syiar Islam dan ibadah kaum Muslim. Nyawa manusia pun bisa terselamatkan. Ekonomi juga tetap bisa berjalan.

Isolasi/karantina adalah di antara tuntunan syariah Islam saat wabah terjadi di suatu wilayah. Rasul saw. bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu (HR al-Bukhari).

Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu suplay berbagai kebutuhan untuk daerah itu tetap harus dijamin. Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Namun  demikian, semua itu bergantung pada kebijakan dan sikap amanah Pemerintah sebagai pengurus rakyat.

Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.

Secara simultan, di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan berdasarkan sabda Rasul saw.:

لاَ تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ

Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat (HR al-Bukhari).

Untuk menerapkan petunjuk Rasul saw. itu harus dilakukan dua hal: Pertama, jaga jarak antar orang. Kedua, harus diketahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat.

Jaga jarak dilakukan dengan physical distancing seperti yang diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina kala itu dan berhasil.

Adapun untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat harus dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Kecepatan dalam melakukan 3T itu menjadi kunci. Harus dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang positif dirawat secara gratis ditanggung negara. Tentu semua itu disertai dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan lainnya yang diperlukan.

Dengan langkah itu bisa dipisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat. Mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka tetap dapat beribadah dan meramaikan masjid. Mereka juga tetap menjalankan aktivitas ekonomi dan tetap produktif. Dengan begitu daerah yang terjangkit wabah tetap produktif sekalipun menurun.

Dengan prosedur sesuai petunjuk syariah itu, nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara. Kebijakan seperti itulah yang semestinya diambil dan dijalankan sekarang ini. Apalagi penerapan syariah Islam memang bertujuan untuk memelihara agama, nyawa dan harta manusia.

Tujuan memelihara agama antara lain diwujudkan dengan menjamin syiar-syiar Islam, pelaksanaan ibadah (termasuk shalat berjamaah di masjid), dsb. Islam menilai upaya melarang atau menghalangi syiar Islam dan pelaksanaan ibadah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah sebagai dosa besar.

Penerapan syariah Islam juga bertujuan untuk memelihara nyawa manusia. Dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32). Nabi saw. juga bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan  dan mengancam jiwa manusia. Nabi saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ

Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain (HR Ibn Majah dan Ahmad).

WalLah a’lam bi ash-shawab. []

—***—

Hikmah:

مَنْ عَلِمَ أَنَّ كُلَّ نَائِبَةٍ إلَى انْقِضَاءٍ حَسُنَ عَزَاؤُهُ عِنْدَ نُزُولِ الْبَلَاءِ

Siapa saja yang menyadari bahwa setiap bencana (musibah) pasti akan berakhir, ia akan benar-benar sabar saat bencana itu turun (Imam al-Mawardi, Adab ad-Dunya’ wa ad-Din, 1/370). []

Share artikel ini: