[Buletin Kaffah] Stop Menistakan Ajaran Islam!
[Buletin Kaffah, No. 107-20 Muharram 1441 H/20 September 2019 M]
Ketakutan sekaligus kebencian terhadap Islam dan ajarannya (islamophobia) tampak makin menguat di Tanah Air belakangan ini. Celakanya, islamophobia tak hanya muncul dari kalangan non-Muslim. Bahkan secara vulgar, islamophobia ditunjukkan oleh sebagian kalangan Muslim sendiri. Islamophobia ini lalu mendorong sebagian kalangan untuk melakukan penistaan terhadap ajaran Islam.
Syariah Islam, misalnya, telah lama dipersoalkan oleh sebagian kalangan Muslim sekular. Salah satunya karena mengancam kebhinekaan. Mereka lalu menunjuk antara lain pada apa yang mereka sebut sebagai perda-perda ‘syariah’.
Khilafah, sebagai bagian dari ajaran Islam, oleh sebagian pihak, termasuk rezim saat ini, juga dituding sebagai ancaman atas negeri ini. Karena itu salah satu ormas pengusung ajaran Khilafah dibubarkan. Khilafah lalu dianggap sebagai paham terlarang. Disamakan dengan Komunisme dan Leninisme. Belakangan Pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto mengaku akan menggodok aturan yang intinya akan mengkriminalkan individu yang tetap mendakwahkan Khilafah. Di sisi lain, ada salah satu oknum partai sekular yang menyebut ajaran tentang Khilafah sebagai sesat.
Yang terbaru, jihad sebagai salah satu puncak amalan Islam, rencananya akan dihapus oleh Kemenag dari mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Alasannya, kata Kemenag, supaya Islam tidak lagi selalu dikait-kaitkan dengan perang, juga supaya anak-anak didik memiliki toleransi yang tinggi kepada pemeluk agama lain.
Penistaan ajaran Islam ini—karena faktor islamophobia—salah satunya berpangkal pada narasi seputar bahaya radikalisme yang terus disuarakan oleh penguasa dan sejumlah pihak. Narasi ini hanyalah mengekor pada narasi yang telah lama digaungkan oleh Barat. Padahal istilah radikalisme sampai sekarang tidak jelas definisinya. Yang sudah jelas, radikalisme selalu dikaitkan dengan Islam. Tudingan radikal pun senantiasa dialamatkan kepada kaum Muslim, terutama tentu yang berpegang teguh pada Islam dan syariahnya. Tidak aneh, banyak peristiwa seperti pengibaran Bendera Tauhid, ASN yang berjenggot atau fenomena sebagian artis ‘hijrah’ pun dicurigai terpapar radikalisme.
Kemuliaan Syariah
Islam tentu agama yang mulia. Demikian pula syariahnya dan seluruh ajarannya. Kemuliaan Islam antara lain tercermin dalam firman Allah SWT:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sungguh agama di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT bahkan tidak mengakui agama di luar Islam, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat kelak dia termasuk kaum yang merugi (TQS Ali Imran [3]: 85).
Kemuliaan Islam juga tercermin dalam sabda Nabi saw.:
اَلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَ لاَ يُعْلَى
Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam (HR ad-Daruquthni).
Islam tentu terdiri dari akidah dan syariah. Mengamalkan syariah bahkan merupakan konsekuensi dari iman (akidah Islam). Karena itulah Allah SWT menjuluki siapa saja yang tidak berhukum dengan syariah-Nya dengan sebutan kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Karena itu pula tidak ada pilihan bagi setiap Muslim kecuali terikat dengan syariah-Nya (QS al-Ahzab [33]: 36).
Keagungan Khilafah
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ (hlm. 88), menyebut sistem pemerintahan Islam adalah Al-Khilâfah, yang diistilahkan pula sebagai Al-Imâmah al-Kubrâ’ (Kepemimpinan Agung). Kepemimpinan ini bukan sembarang kepemimpinan, tetapi pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama ini (Islam), dan mengatur urusan dunia dengan Islam. Ini antara lain ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H) dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah (1/15), Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H) dalam Ghiyâts al-Umam (1/22), Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah (hlm. 97), dll (Lihat: Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Menegakkan kepemimpinan Islam (Khilafah) adalah wajib. Kewajiban ini telah banyak dinyatakan oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Haitami, misalnya, menyatakan, “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu seraya menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Kesepakatan atau Ijmak Sahabat itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14).
Karena itu Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah tidak bisa dibatalkan oleh kesepakatan orang sesudahnya, termasuk kesepakatan orang zaman sekarang, kalaupun benar ada kesepakatan itu.
Apalagi faktanya Ijmak Sahabat tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini dikuatkan oleh kesepakatan para ulama. Dalam hal ini Imam al-Qurthubi menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah) dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264. Lihat pula: An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 12/205; Asy-Syaulani, Nayl al-Awthâr, VIII/265; dll).
Keutamaan Jihad
Secara bahasa jihad memang bermakna sungguh-sungguh. Namun, secara syar’i, menurut para ulama mu’tabar, jihad bermakna perang di jalan Allah (Lihat: Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 3/336; Asy-Syirazi, Al-Muhadzzab, 2/227; Ibn Qudamah, Al-Mughni, 10/375; dll).
Di dalam al-Quran kata jihad (dalam pengertian perang) disebutkan 24 kali (Lihat: Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/12).
Jihad hukumnya wajib. Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ 4]: 95; QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4; dll).
Karena itu di dalam Kitab Al-Mabsûth dinyatakan:
وَإِذَا قَعَدَ الْكُلُّ عَنْ الْجِهَادِ حَتَّى اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى بَعْضِ الثُّغُورِ اشْتَرَكَ الْمُسْلِمُونَ فِي الْمَأْثَمِ بِذَلِكَ
Jika seluruh kaum Muslim berdiam diri/tidak melakukan jihad hingga kaum kafir menguasai sebagian wilayah kaum Muslim, mereka sesungguhnya telah sama-sama berdosa (Al-Mabsuth, 34/119).
Selain wajib, jihad adalah amalan yang utama. Tentang keutamaan jihad telah banyak dinyatakan baik di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah. Allah SWT, misalnya, berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan seolah-olah mereka seperti bangunan yang kokoh (TQS ash-Shaf [61]: 4).
Rasulullah saw. pun bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Siapa saja yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi tinggi maka ia berada di jalan Allah ‘Azza wa Jalla (HR al-Bukhari).
Karena itu wajar jika Abu Hurairah pernah berkata:
وَ الَّذِيْ نَفْسِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ لَوْلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ اْلَحّجُ وَ بِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوْتَ وَ أَنَا مَمْلُوْكٌ
Demi Zat Yang jiwa Abu Hurairah ada di tangannya, andai bukan karena jihad di jalan Allah, haji dan berbuat baik kepada ibuku, aku lebih suka mati dalam keadaan menjadi budak (Tafsîr al-Qurthubi, 5/191, ‘Awn al-Ma’bûd, 11/189, Faydh al-Qadîr, 5/371).
Wajar pula jika Saad bin Abi Waqas ra. pernah berkata, sebagaimana dinukil dalam Kitab Nûrul Yaqîn:
كُنَّا نُعَلِّمُ أَوْلاَدَنَا سِيْرَةَ الرَّسُوْلِ وَ مَغَازِيْهِ كَمَا نُعَلِّمُهُمْ الْقُرْآنَ
Sungguh kami mengajari anak-anak kami Sirah Rasul dan peperangan-peperangan beliau sebagaimana kami mengajari mereka al-Quran.
Faktanya, dalam Sirah Rasulullah saw., sebagaimana bisa dibaca dalam Kitab Ghazwah ar-Rasûl wa Sarayah karya Ibnu Saad, Rasulullah saw. mengirim pasukan tidak kurang dari 62 kali. Bahkan 27 kali perang yang dilakukan oleh kaum Muslim dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. sebagai kepala negara saat itu.
Fakta juga berbicara, justru karena jihadlah Islam unggul dibandingkan dengan umat-umat lain. Kaum Muslim pun tak mudah dihinakan dan ditundukkan oleh bangsa-bangsa kafir. Ini pula yang pernah dibuktikan di Tanah Air. Bangsa Indonesia mampu mengusir Sekutu pada masa lalu. Salah satunya karena dipicu oleh ‘Resolusi Jihad’ yang dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1945 oleh pendiri NU, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, saat itu.
Khatimah
Alhasil, dengan seluruh kemuliaan Islam dan syariahnya di atas—termasuk khilafah dan jihad—tidak layak seorang Muslim, apalagi pejabat negara yang mengaku Muslim, terus-menerus menistakan apalagi mengkriminalisasi ajaran Islam. Mereka justru harus turut memuliakan serta mengagungkan Islam dan semua ajarannya. Karena itu mulai sekarang: stop menistakan ajaran Islam! []
Hikmah:
Hanzhalah ar-Rabi ra. bertutur:
عَجَبْتُ لِمَا يَخُوْضُ النَّاسُ فِيْهِ – يَرُوْمُوْنَ الْخِلاَفَةَ أَنْ تَزُوْلاَ وَ لَوْ زَالَتْ لَزَالَ الْخَيْرُ عَنْهُمْ – وَ لاَقُوْا بَعْدَهَا ذُلاًّ ذَلِيْلاً و َكَانُوْا كَالْيَهُوْدِ أَوْ النَّصَارَى – سَوَاءً كُلُّهُمْ ضَلُّوْا السَّبِيْلاَ
Aku heran dengan apa yang menyibukkan orang-orang ini/Mereka berharap Khilafah lenyap/Padahal andai Khilafah lenyap, lenyap pula segala kebaikan dari mereka/Setelah itu mereka akan menjumpai kehinaan yang luar biasa/Mereka seperti kaum Yahudi atau Nasrani/Semuanya sama-sama tersesat jalan.
(Tahdzîb al-Kamâl, 7/441, Al-Kâmil fî at-Târîkh, 2/541, Târîkh ath-Thabari, 3/417). []