[Buletin Kaffah] Sertifikasi Da’i dan Deradikalisasi
[Buletin Kaffah No. 160, 07 Safar 1442 H/25 September 2020 M]
Setelah mendapat protes dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk MUI, Kementerian Agama (Kemenag) RI mengganti judul program “Sertifikasi Da’i/Penceramah” menjadi “Da’i/Penceramah Bersertifikat”. Belakangan, program tersebut berganti tajuk lagi menjadi “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. Untuk pertama kalinya, Program Bimtek Penceramah Bersertifikat ini di-launching pada Jumat, 18/9/2020, dan dibuka langsung oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi.
Meski berganti judul, subtansinya tetaplah sama. Persis seperti dilontarkan oleh Menteri Agama RI Fachrul Razi pada rencana awal program ini. Sama-sama dilandasi motif “deradikalisasi”. Saat itu Menag menyatakan bahwa program Penceramah Bersertifikat dimaksudkan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (Cnnindonesia, 03/09/2020).
Dengah redaksi berbeda, Wamenag Zainut Tauhid, saat membuka Program “Bimtek Penceramah Bersertifikat”, antara lain mengatakan, “Penceramah agama bersertifikat ini bertujuan mengembangkan kompetensi para penceramah agama sehingga dapat memenuhi tuntutan zaman dan sekaligus meneguhkan perannya di tengah-tengah modernitas.” Menurut Zainut, di era modernitas, agama dituntut untuk menjawab perkembangan itu dengan pemahaman moderat (Merdeka.com, 18/09/2020).
Adakah Da’i Radikal?
Da’i/penceramah hakikatnya adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam apa adanya. Islam tentu bukan sekadar agama ritual, moral dan spiritual belaka. Islam pun mengatur ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dll. Alhasil, Islam adalah ajaran dan tatacara hidup yang lengkap dan paripurna (Lihat: TQS al-Maidah [5]: 3).
Karena itu merupakan kewajiban para da’i untuk mengajak umat agar mengamalkan seluruh ajaran Islam. Para da’i harus mendorong umat untuk mengamalkan Islam secara total. Tidak setengah-setengah. Tak hanya mengamalkan ajaran Islam seperti shalat, shaum, zakat dan haji saja. Namun juga mengamalkan ajaran Islam yang lain yang terkait muamalah, ‘uqubat (sanksi hukum Islam), jihad, termasuk ajaran Islam seputar kewajiban menegakkan khilafah. Sebabnya, memang demikian yang Allah SWT perintahkan kepada kaum Muslim:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Terkait ayat di atas, Syaikh Abu Bakar al-Jazairi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata “kaffat[an]” bermakna “jami’[an]”. Artinya:
لاَ يُتْرَكُ مِنْ شَرَائِعِهِ وَ مِنْ أَحْكِامِهِ شَيْءٌ
Tidak boleh sedikitpun syariah dan hukum Islam itu ditinggalkan (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97).
Lebih lanjut beliau menegaskan maksud ayat di atas:
يُنَادِيْ الْحَقُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِيْنَ آمِراً إِيَّاهُمْ بِالدُّخُوْلِ فِي اْلإِسْلاَمِ دُخُوْلاً شُمُوْلِيَّا بِحَيْثُ لاَ يَتَّخَيَّرُوْنَ بَيْنَ شَرَائِعِهِ وَأَحْكَامِهِ مَا وَافَقَ مَصَالِحَهُمْ وَأَهْوَاءَهُمْ قَبِلُوْهُ وَعَمِلُوْا بِهِ، وَمَا لَمْ يُوَافِقْ رَدُّوْهُ أَوْ تَركَوُهْ وَأَهْمَلُوْهُ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ أَنْ يَقْبِلُوْا شَرَائِعِ اْلإِسْلاَمِ وَأَحْكَامِهِ كَافَّةً
Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang Mukmin dengan memerintah mereka untuk masuk Islam secara paripurna (total). Artinya, mereka tidak boleh memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukumnya. Apa saja yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Lalu apa saja yang tidak sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak, mereka tinggalkan dan mereka campakkan. Justru wajib atas mereka menerima seluruh syariah dan hukum Islam (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97).
Karena itulah para da’i yang menyampaikan semua ajaran Islam—termasuk khilafah, misalnya—tak layak dicap “radikal” dalam makna yang negatif. Lebih tidak layak lagi jika dilakukan upaya “deradikalisasi” terhadap mereka. Salah satunya melalui Program “Sertifikasi Da’i” atau Program “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. Jelas, jika motifnya “deradikalisasi”, ini adalah program yang ngawur.
Deradikalisasi: Proyek Usang dan Kontraproduktif
Sebagai kelanjutan dari isu terorisme dan kontra-terorisme, isu radikalisme dan upaya deradikalisasi bukanlah hal baru. Sudah dicetuskan sejak sekitar 10 tahun lalu. Pada tahun 2011, misalnya, Pemerintah pernah melakukan pelarangan terhadap buku-buku Islam tertentu yang dituding mengandung konten “radikal”. Saat itu ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia oleh Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI. Kesembilan buku itu rata-rata terkait dengan pembahasan syariah, jihad dan khilafah. Di antaranya adalah Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 (karangan Sayyid Qutbh, Terbitan Gema Insani, 2001; Ikrar Perjuangan Islam (karangan DR Najih Ibrahim, Pustaka Al Alaq dan Al Qowam, 2009; Khilafah Islamiyah-Suatu Realita, Bukan Khayalan (karangan Prof. Dr. Syeikh Yusuf al-Qaradawi, PT Fikahati Aneka, 2000); Syariat Islam-Solusi Universal (karangan Prof. Wahbah Zuhaili, Pustaka Nuwaitu, 2004), dsb (Eramuslim.com, 20/10/2011).
Belakangan, sebelum muncul Program Sertifikasi Da’i/Penceramah, Kemenag di bawah Fachrul Razi juga telah melakukan revisi atas sejumlah buku pelajaran di lingkungan Kemenag yang berkonten khilafah. Lagi-lagi motifnya tidak jauh dari “deradikalisasi”.
Jelas, upaya Pemerintah untuk terus melestarikan program deradikalisasi adalah upaya usang, selain kontraproduktif. Apalagi di tengah banyaknya isu penting yang seharusnya menjadi fokus Pemerintah seperti: penanganan bencana Covid-19 yang carut-marut, ekonomi yang makin loyo bahkan disinyalir sedang menuju resesi, korupsi yang makin menjadi-jadi, utang luar negeri yang makin tinggi, APBN yang terus mengalami defisit yang makin besar, dll.
Tak Relevan
Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi kekerasan (baca: terorisme). Namun, sebetulnya tak ada bukti sama sekali bahwa aksi-aksi kekerasan diinspirasi oleh buku-buku Islam yang bertemakan syariah, jihad dan khilafah. Toh materi tersebut sudah lama terdapat di kitab-kitab di pesantren dan dikaji selama bertahun-tahun oleh para santri. Bakan materi tentang khilafah, misalnya, juga sudah bertahun-tahun dijadikan materi resmi di buku-buku pelajaran Madrasah Aliyah di lingkungan Kemenag. Jika memang kitab-kitab pesantren dan buku-buku pelajaran agama itu memicu radikalisme, tentu harusnya radikalisme terjadi sejak puluhan tahun lalu. Faktanya, isu radikalisme baru muncul belakangan, sebagai kelanjutan dari isu terorisme global, yang dihembuskan AS. Isu ini lalu melahirkan war on terrorism (perang melawan terorisme) yang dilakukan AS. Tentu demi ambisi imperalismenya, khususnya atas Dunia Islam.
Demikian pula para da’i/penceramah yang dituding radikal. Tak satu pun dari mereka yang terbukti pernah melakukan aksi-aksi kekerasan. Apalagi terorisme. Yang ada, dan ini yang barangkali ditakutkan oleh Pemerintah, adalah banyaknya da’i/penceramah yang belakangan makin bersikap kritis terhadap Pemerintah. Tentu karena para da’i/penceramah—sebagai penyambung lidah umat—merasakan betul berbagai kezaliman yang dialami rakyat kebanyakan di bawah rezim sekular saat ini. Baik dalam bentuk kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, ketidakadilan dan diskriminasi atas umat Islam, dll.
Alhasil, program deradikalisasi jelas program usang dan tak relevan untuk terus digulirkan. Termasuk dalam bentuk sertifikasi da’i/penceramah. Apapun judulnya.
Pemerintah Harus Belajar
Jelas, jika Pemerintah—termasuk oleh Kemenag—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menuai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya mendeskreditkan Islam.
Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim. Tentu ini tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah.
Karena itu yang harusnya dilakukan adalah: Pertama, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing dan aseng, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, LGBT, dll), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat.
Kedua, Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera bangsa ini. Bukan malah menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman sekaligus menuding para pengusungnya sebagai kaum “radikal”. Jika itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memang tak mau belajar.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. []
(TQS al-Anbiya’ [21]: 107)