[Buletin Kaffah] Renungan Maulid: Totalitas Meneladani Nabi SAW

 [Buletin Kaffah] Renungan Maulid: Totalitas Meneladani Nabi SAW

[Buletin Kaffah no. 065, 8 Rabiul Awwal 1440 H – 16 November 2018 M]

Mengenang momentum kelahiran Nabi saw. sangatlah penting. Terutama sebagai upaya memfokuskan kembali perhatian kita pada sosok manusia yang paling berjasa sepanjang peradaban. Tidak lain agar kita mampu menjadikan beliau sebagai satu-satunya sosok pegangan, model perilaku dan suri teladan (uswah) dalam semua aspek kehidupan.

Sungguh dalam diri Rasulullah saw. terdapat suri teladan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Mengenang kelahiran Nabi saw. juga agar kita bisa merealisasi teladan beliau dalam menjalani hidup dan menata kehidupan. Dengan itu kita bisa sukses dunia dan akhirat. Semua teladan itu bisa kita dapati pada diri Rasul saw. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah (TQS al-Ahzab [33]: 21).

Nabi saw. adalah orang yang paling keras mujâhadah-nya dalam beribadah. Padahal beliau adalah sosok yang maksum (terbebas dari dosa) dan dijamin surga. Mujâhadah beliau dalam beribadah itu agar beliau menjadi hamba yang bersyukur.

Beliau juga adalah pribadi yang paling mulia akhlaknya. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau adalah al-Quran. Aisyah ra. berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad).

Beliau pun paling baik terhadap wanita. Beliau juga teladan terbaik dalam bertetangga, bergaul, berteman, berkawan dan bermuamalah. Dalam semua itu kita diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai teladan dan model panutan.

Teladan Rasul saw. bukan hanya dalam aspek akidah, spiritual, moral dan sosial saja. Tidak boleh keteladanan beliau hanya dibatasi pada aspek-aspek itu saja. Sebab jika demikian, hal itu sama saja mengerdilkan sosok beliau. Beliau juga memberikan teladan kepemimpinan dalam bernegara, berpolitik dalam dan luar negeri, menjalankan pemerintahan, menerapkan hukum dan menyelesaikan persengketaan.

Teladan Rasul saw. dalam semua aspek itu harus kita contoh. Kita harus berusaha merealisasikan keteladanan beliau di dalam menjalani hidup dan mengelola kehidupan. Hal itu sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kita:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Topik pembicaraan ayat ini memang berkenaan dengan harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun demikian, sebagaimana penjelasan Imam az-Zamakhsyari (w. 538 H), makna ayat ini bersifat umum. Meliputi segala yang Rasul saw. berikan dan segala yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Maka dari itu, kita harus total menjadikan Rasulullah saw. sebagai panutan dan suri teladan dalam segala aspek, baik dalam aspek individu, keluarga maupun negara; kecuali tentu saja hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau saja (khawâsh al-Rasûl) sebagaimana diterangkan oleh para ulama ushul.

Salah satu aspek teladan Rasul saw. yang saat ini penting untuk diaktualisasikan adalah teladan kepemimpinan Rasul saw. Teladan kepemimpinan Rasul saw. itu, ketika diaktualisasikan di tengah kehidupan, akan bisa menyelesaikan problem-problem yang mendera masyarakat modern ini, sekaligus membawa pada kehidupan yang dipenuhi ketenteraman dan berkah. Bagi kita, kaum Muslim, hal itu tentu kita yakini seiring dengan keyakinan kita terhadap Islam yang Rasul saw. bawa kepada kita.

Rasulullah Muhammad saw. bukan hanya pemimpin spiritual (za’îm rûhi), tetapi juga pemimpin politik (za’îm siyâsi). Dalam konteks saat ini, beliau dapat disebut sebagai pemimpin negara (ra’îs ad-dawlah). Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk ditaati dengan izin Allah (TQS an-Nisâ` [4]: 64).

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah saw. tidak sebatas penyampai risalah semata. Beliau sekaligus juga pemimpin yang wajib untuk ditaati setiap perintah dan larangannya. Hal ini ditegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa di antara bukti kesempurnaan iman adalah menjadikan Rasul saw. sebagai hakim dan keputusan beliau diterima tanpa ada keberatan sedikitpun. Sepeninggal Rasul saw., hal itu adalah dengan menjadikan syariah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (lihat: QS an-Nisâ` [4]: 65).

Rasul saw. juga memberikan teladan bagaimana menjalankan sistem pemerintahan Islam. Beliau membangun struktur Negara. Beliau menunjuk dan mengangkat para penguasa baik mu’awin, wali maupun ‘amil. Beliau menunjuk dan mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Beliau membentuk kepolisian dan mengangkat kepala polisinya. Beliau mengangkat qâdhi (hakim) untuk berbagai wilayah. Beliau juga mengangkat para pegawai administratif yang disebut kâtib untuk berbagai urusan. Semua itu merupakan penjelasan atas kewajiban menerapkan hukum-hukum Islam.

Sebagai kepala negara di Madinah, Rasul saw. menerapkan syariah Islam secara menyeluruh sejak awal Negara Islam berdiri. Hal itu tertuang nyata di dalam Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah):

“Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw…Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504).

Dalam menerapkan syariah Islam itu, Rasul saw. sangat konsisten. Misalnya, beliau menolak permintaan untuk meringankan hukuman terhadap wanita terpandang yang mencuri, meski permintaan itu disampaikan oleh orang yang sangat dekat dengan beliau. Bahkan ketika itu beliau bersabda, “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan. Namun, bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.” (HR Muslim).

Rasul saw. juga menyatukan dan melebur masyarakat yang beliau pimpin menjadi satu kesatuan umat dengan ikatan yang kokoh, yakni ikatan akidah Islam. Beliau sekaligus melenyapkan ikatan-ikatan ‘ashabiyyah jâhiliyah, seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan.   KH Hasyim Asy’ari rahimahulLâh melukiskan:

“Lalu hilanglah perbedaan-perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian dan kezaliman. Masyarakat pun–atas nikmat Allah–berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah. Tujuan mereka semua hanya satu, yaitu menjadikan kalimat Allah menjadi unggul dan kalimat setan menjadi hina. Mereka mengabdi demi Islam dengan ikhlas. Semoga Allah mengganjar mereka dengan sebaik-baik balasan. Inilah Salman al-Farisi, Shuhaib ar-Rumi, Bilal al-Habasyi, dan yang lainnya. Mereka adalah di antara yang beriman kepada Allah dengan ikhlas, memperjuangkan dan menolong Islam dengan segala kekuatan yang mereka miliki, memprioritaskan kepentingan Islam di atas kepentingan bangsa dan kaum mereka. Ini karena mereka memandang bahwa ketaatan kepada Allah adalah di atas segalanya dan bahwa kebaikan atas kemanusiaan ada pada pengabdian mereka pada Islam.” (KH Hasyim Asy’ari, Irsyâd al-Mu`minîn ilâ Sîrah Sayyid al-Mursalîn, hlm 44).

Rasul saw. juga memimpin umat untuk menjalankan misi agung menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Islam dan penerapannya secara totalitas akhirnya merambah ke berbagai negeri menebarkan rahmat di setiap jengkalnya.

Ketika Rasul saw. wafat pada 12 Rabiul Awwal 11 H, kepemimpinan beliau itu dilanjutkan oleh para sahabat dalam sistem khilafah selama era Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan itu merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin yang yang juga Rasul saw. perintahkan untuk kita pegangi.

Walhasil, semua keteladanan Nabi saw. itu harus diteladani secara totalitas, termasuk keteladanan dalam kepemimpinan. Meneladani kepemimpinan Nabi saw. bukan hanya meneladani beliau sebagai sosok pemimpin, tetapi juga meneladani dan merealisasikan sistem yang beliau gariskan dan contohkan, yaitu sistem Islam, melalui penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Termasuk syariah Islam tentang Khilafah. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

«…فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…»

“…Sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.  Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham….”
(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *