[Buletin Kaffah] Puasa dan Takwa

[Buletin Kaffah_041_2 Ramadhan 1439 H – 18 Mei 2018]

Alhamdulillah, sepantasnya kita bersyukur karena kita sudah berada pada bulan suci Ramadhan 1439 H. Tentu kita berharap puasa Ramadhan kali ini benar-benar bisa mewujudkan ketakwaan hakiki sebagaimana yang Allah SWT kehendaki:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Tentu Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar (sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud dalam dirinya.

Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan ayat di atas, antara lain mengutip Al-Hasan yang  menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Lihat: Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Qur’an, I/232-233).

Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap murka Allah SWT. Lalu ia berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Ia berupaya menjauhi kesyirikan. Ia senantiasa menjalankan ketaatan. Ia takut untuk melakukan perkara-perkara yang haram. Ia senantiasa berupaya menjalankan semua kewajiban yang telah Allah SWT bebankan kepada dirinya.

Menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat. Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kaffah.

Berkaitan dengan takwa pula, saat menafsirkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 1-5, Syaikh Ali ash-Shabuni mengutip pernyataan Ibnu ‘Abbas ra. yang menyatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang takut berbuat syirik (menyekutukan Allah SWT) sembari menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/26).

Takut berbuat syirik maknanya adalah takut menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam konteks aqidah maupun ibadah, termasuk tidak meyakini sekaligus menjalankan hukum apapun selain hukum-Nya, karena hal itu pun bisa dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Pasalnya, Allah SWT telah berfirman:

اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ…

Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).

Terkait ayat ini, ada sebuah peristiwa menarik. Diriwayatkan bahwa saat Baginda Rasulullah saw. membaca ayat ini, kebetulan datanglah Adi bin Hatim kepada beliau dengan maksud hendak masuk Islam. Saat Adi bin Hatim—yang ketika itu masih beragama Nasrani—mendengar ayat tersebut, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Nasrani, pen.) tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Akan tetapi, Baginda Nabi saw. membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya dengan pertanyaan retoris, “Bukankah  para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun menaatinya?” Jawab Adi bin Hatim, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu tegas menyatakan, “Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap para pendeta kalian.” (Imam al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, IV/39)

Saat ini posisi para pendeta dan para rahib itu telah digantikan oleh para penguasa maupun wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya, merekalah saat ini yang biasa membuat hukum. Faktanya, banyak hukum yang mereka buat menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Mereka, misalnya, menghalalkan riba dan zina—meski dengan dalih lokalisasi—yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkam. Sebaliknya, mereka mengharamkan syariah dan khilafah diterapkan di negeri ini karena dituding bertentangan dengan Pancasila. Padahal jelas, syariah dan khilafah adalah perkara halal bahkan wajib karena memang telah diperintahkan secara tegas oleh Allah SWT di dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Tentu, sebagai wujud dari ketakwaan kita, kita dilarang menaati apapun produk hukum buatan manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan syariah-Nya. Di sinilah pentingnya kita senantiasa hanya menaati Allah SWT dan Rasul-Nya dengan hanya mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya. Itulah esensi ketakwaan kita, yang sejatinya kita petik sebagai buah dari puasa Ramadhan kita.

Harusnya Kita Bertakwa

Bagi sebagian orang, puasa Ramadhan kali ini bukanlah yang pertama. Bisa jadi Ramadhan kali ini bagi mereka adalah puasa yang ke sekian puluh kalinya. Pertanyaannya: Apakah puluhan kali puasa Ramadhan yang dijalani benar-benar telah mewujudkan takwa? Ternyata tidak semuanya. Faktanya, yang terjadi kadang sebaliknya.

Pertama: Setelah Ramadhan, banyak Muslim—yang sebelumnya berusaha ber-taqarrub kepada Allah SWT selama Ramadhan—justru kembali jauh dari Allah SWT. Mereka kembali melakukan ragam kemaksiatan kepada-Nya. Banyak wanita Muslimah, misalnya, yang kembali memamerkan aurat mereka, padahal saat Ramadhan mereka tutup rapat-rapat. Banyak masjid kembali sepi, padahal saat Ramadhan ramai dikunjungi. Acara-acara di televisi kembali menampilkan acara-acara berbau pornografi/pornoaksi, padahal selama Ramadhan menyiarkan acara-acara religi. Banyak tempat-tempat maksiat dibuka kembali, padahal selama Ramadhan ditutup. Penguasa dan banyak pejabat kembali melakukan korupsi dan mengkhianati rakyat, padahal selama Ramadhan mungkin mereka berusaha berhenti dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Orang-orang semacam ini tentu puasanya sia-sia. Inilah yang diisyaratkan oleh Baginda Nabi saw.:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa laparnya saja (HR Ahmad).

Kedua: Setelah Ramadhan, sekularisme tetap mendominasi kehidupan kaum Muslim. Setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para penguasanya, untuk bersegera menegakkan syariah Allah SWT secara formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Padahal Allah SWT tegas telah berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ…

Hukumilah mereka dengan hukum yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka… (TQS al-Maidah [5]: 49).

Perlu Pemimpin Bertakwa

Di tengah sistem kehidupan yang tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah saat ini, kaum Muslim tentu membutuhkan pemimpin yang bertakwa. Pemimpin yang bertakwalah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai wujud ketaatan total kepada Allah SWT.

Karena itu pemimpin bertakwa tidak akan mungkin mengkriminalisasi Islam dan kaum Muslim. Pemimpin bertakwa juga tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariah dan penegakan khilafah yang merupakan taj al-furudh (mahkota kewajiban) dalam Islam.

Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zur) karena kedustaan hanya akan membuat puasa mereka sia-sia. Nabi saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya (HR al-Bukhari).

Bagaimana bukan perkataan dusta bila sebelum berkuasa berjanji tidak akan menyusahkan masyarakat, semisal tidak akan menaikkan tarif BBM dan listrik, tidak akan menambah utang keluar negeri, dll; kemudian tanpa malu melanggar semua janjinya itu. Bukankah ini perkataan dusta?

Oleh karena itu ketakwaan bukanlah sebatas jargon atau tontonan yang penuh pencitraan, melainkan amal nyata yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT.

Teladan Ketakwaan

Pada masa lalu ketakwaan benar-benar melekat pada diri para pemimpin umat, yakni para khalifah. Ketakwaan mereka mengantarkan umat pada keberkahan dan kesejahteraan. Karena takwa, Khalifah Umar bin Khathtab ra., misalnya, pernah menangis karena takut kepada Allah SWT saat mendengar kabar ada seorang ibu mempercepat masa menyapih bayi agar bisa segera mendapatkan insentif dari negara demi memenuhi kebutuhan anaknya itu. Pasalnya, pada waktu itu Khalifah Umar membuat kebijakan hanya memberikan insentif untuk anak kecil yang telah disapih. Khalifah Umar, sambil menangis menyesali keputusannya, berkata, “Celakalah Umar! Berapa banyak bayi yang telah dibunuh oleh Umar!” Kemudian ia pun mencabut kebijakannya yang keliru tersebut. Begitulah karakter pemimpin yang bertakwa.

Dalam sistem pemerintahan sekular saat ini, adakah pemimpin seperti Khalifah Umar ra.?! []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).

Share artikel ini: