[Buletin Kaffah] Politisasi Masjid
[Buletin Kaffah No. 38, 11 Sya’ban 1439 H – 27 April 2018 M]
Sebagaimana diberitakan, saat ini ada program “Antipolitisasi Masjid”. Gerakan ini digagas oleh Gerakan Nasional Jutaan Relawan Dukung Jokowi. Program itu diwujudkan melalui ceramah dan pengajian yang digelar relawan. Para ustadz dan takmir akan berbicara mengenai Islam yang benar. “Bukan Islam yang dipakai untuk tujuan tertentu yang tidak baik,” kata koordinator gerakan, Sylver Matutina (Hidayatullah.com, 23/4).
Sontak, program yang digagas gerakan pro Jokowi ini mendapat kecaman umat Islam (Eramuslim.com, 25/4).
Bermotif Politik
Gampang diduga, program “Antipolitisasi Masjid” ini justru bermotif politik. Alasannya antara lain karena: Pertama, Sylvester Matunina, koordinator gerakan ini, adalah non-Muslim yang mengidap islamophobia (membenci Islam).
Kedua, program ini digagas oleh Gerakan Nasional Jutaan Relawan Dukung Jokowi yang akan mencalonkan kembali pada Pilpres 2019. Gerakan ini adalah simbol ketakutan kubu Jokowi yang tak ingin jagoannya kalah di Pilpres 2019. Mereka tak ingin kasus kekalahan Ahok di Pilkada DKI—salah satunya karena menjelang Pilkada sikap anti Ahok merebak dibicarakan di masjid-masjid oleh para tokoh Islam—menimpa Jokowi di Pilpres mendatang,
Ketiga, sebagaimana dinyatakan oleh KH Rahmat S. Labib, gerakan ini secara sengaja ingin mengamputasi Islam. Pasalnya, dalam Islam fungsi masjid jelas bukan sekadar tempat untuk shalat, tetapi juga digunakan untuk membicarakan segala urusan umat, termasuk urusan politik. Karena itu menjauhkan umat dari politik, termasuk dari pembicaraan politik di masjid, sama saja dengan menjauhkan umat dari salah satu bagian terpenting dalam Islam, yakni politik.
Gerakan ini tidak berbeda dengan kebijakan zaman kolonial Belanda dulu. Menurut Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Pemerintahan kolonial Belanda tempo dulu juga melarang politisasi masjid. Dengan mengikuti arah Snouck Hurgronje, Pemerintahan kolonial Belanda mengizinkan eksistensi masjid dan kaum Muslim itu hanya untuk soal ritual dan ibadah saja (Republika.co.id, 23/4). Alhasil, program “Antipolitisasi Masjid” sama dengan program penjajahan dulu.
Islam dan Politik
Menurut KH Shiddiq al-Jawi (2015), istilah politisasi agama (tasyis ad-din) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) Barat, yaitu sekularisme. Dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan politik dari agama adalah suatu keniscayaan. Karena itu politisasi agama dipandang ilegal.
Ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak memisahkan agama dari urusan kehidupan masyarakat, termasuk politik. Politik (as-siyasah) adalah bagian integral dari Islam. Dikatakanlah, Al-Islam din[un] wa minhu ad-dawlah (Islam adalah agama dan politik adalah bagian dari agama).
Dalam Islam, politik (as-siyasah) didefinsikan sebagai: pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan luar negeri berdasarkan syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh Negara Islam (Khilafah) serta diawasi oleh individu dan rakyat (Lihat: Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, hlm. 1).
Itulah makna politik yang di-istinbath (digali) dari berbagai dalil, di antaranya dari sabda Nabi saw.:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Dulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Saat men-syarh (mengomentari) hadis ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari (VI/497) menyatakan, “Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa, tidak boleh tidak, rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka, membawa mereka ke jalan yang baik dan menolong orang yang dizalimi dari orang yang berbuat zalim.”
Jelaslah, berdasarkan ini, politik bukan saja merupakan bagian integral dari Islam, tetapi juga perkara yang agung dalam Islam. Karena itu sama dengan shalat, politik—dalam makna mengurus urusan masyarakat dengan syariah Islam—tak bisa dipisahkan dari Islam.
Karena itu tidak aneh jika banyak ulama menekankan bahwa politik dan agama adalah ibarat dua saudara kembar (taw`amani) atau seperti dua sisi mata uang. Inilah yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Bahkan kata Imam al-Ghazali, “Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang.” (Lihat: Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 199).
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah yang berkata, “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Lihat: Ibnu Timiyah, Majmu’ al-Fatawa, 28/394).
Sayangnya, apa yang disyaratkan oleh Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah di atas justru terjadi sekarang ini. Seluruh sendi kehidupan masyarakat saat ini rusak dan hancur akibat agama dipisahkan dari kekuasaan (sekularisasi). Sekularisme inilah—yang antara lain mewujud dalam sistem demokrasi—yang menjadi biang kehancuran kehidupan manusia di segala bidang: akhlak (moral), ekonomi, pendidikan, politik, hukum, dll. Akibat politik yang dijauhkan dari agama (Islam) wajar jika kemudian tumbuh subur kerusakan moral, korupsi, suap-menyuap, penjualan aset-aset milik rakyat oleh penguasa, jual-beli hukum, lahir banyak kebijakan penguasa yang menindas rakyat, dsb.
Ini jelas tidak dikehendaki Islam. Apalagi Islam telah menentukan sistem politik tertentu untuk mengatur kehidupan masyarakat agar menjadi baik dan diridhai oleh Allah SWT. Itulah sistem Khilafah.
Menurut Imam an-Nawawi, ulama terkemuka mazhab Syafii, dalam Syarh Shahih Muslim, seluruh imam mazhab tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan kewajiban menegakkan Khilafah ini. Hal senada juga ditegaskan oleh banyak ulama lain (Lihat, misalnya: Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, V/308; Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, 8/265; dll).
Fungsi Masjid pada Zaman Rasulullah saw.
Masjid adalah bangunan pertama yang didirikan Rasulullah saw. saat tiba di Yatsrib (Madinah) dalam peristiwa hijrah, yaitu Masjid Quba. Masjid ini hingga kini masih berdiri kukuh di Kota Madinah, Arab Saudi.
Setelah Masjid Quba, Nabi Muhammad saw. mendirikan Masjid Nabawi pada 18 Rabiul Awal tahun pertama Hijrah.
Di masjid inilah shalat dan ibadah pada mulanya banyak dilakukan. Di masjid itu pula Rasulullah saw. menyampaikan ajaran Islam, nasihat dan pidatonya kepada umat Islam. Di sini juga beliau bertindak sebagai hakim yang memutuskan ragam persengketaan di kalangan umat, bermusyawarah dengan para sahabat, bahkan mengatur siasat perang dan siasat bernegara. Ringkasnya, Masjid Nabawi justru menjadi basis politik dan pusat pemerintahan Islam.
Keadaan ini tidak banyak berubah setelah Nabi saw. wafat. Masjid tetap merupakan pusat kegiatan politik dan pemerintahan. Di sanalah Abu Bakar menerima baiat (pengangkatan sebagai khalifah) setelah disetujui dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Masjid-masjid yang didirikan di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam tidak lama setelah Nabi Muhammad saw. wafat juga mempunyai fungsi yang tidak banyak berbeda dengan fungsi masjid di Madinah.
Mengembalikan Fungsi Masjid
Sejarah mencatat setidaknya ada sepuluh fungsi masjid pada zaman Nabi saw. yaitu: tempat ibadah ritual (shalat, zikir. tilawah al-Quran); tempat konsultasi dan komunikasi umat tentang berbagai persoalan kehidupan; tempat pendidikan; tempat pembagian zakat, ghanimah, sedekah, dll;
tempat latihan militer/perang; tempat pengobatan dan perawatan para korban perang; tempat pengadilan sengketa; tempat menerima tamu; tempat menawan tahanan; dan pusat penerangan Islam.
Alhasil, masjid saat ini pun harus dikembalikan fungsinya sebagaimana pada masa Nabi saw., bukan sekadar tempat shalat saja.
Selain itu masjid harus dimakmurkan oleh kaum beriman, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Sungguh yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (QS at-Taubah [9]: 18).
Lebih dari itu, masjid dibangun di atas dasar takwa (Lihat: QS at-Taubah [9]: 108). Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw. meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid karena bangunan tersebut tidak difungsikan untuk membangun ketakwaan, tetapi malah untuk memecah-belah umat.
Karena itu saat ini pun jangan sampai kita membiarkan masjid “dimakmurkan” oleh kaum munafik yang di satu sisi menolak politisasi masjid, tetapi di sisi lain justru menjadikan masjid sebagai ajang pencitraan menjelang Pemilu, baik Pilkada ataupun Pilpres. []
Hikmah:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
(Di antara kaum munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadaratan (atas kaum Mukmin), karena kekufuran, untuk memecah-belah kaum Mukmin serta demi menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dulu. Mereka benar-benar bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Padahal Allah menyaksikan bahwa mereka itu adalah para pendusta (dalam sumpahnya) (TQS at-Taubah [9]: 107). []