Jamaah haji Indonesia tahun ini kembali gagal berangkat. Pemerintah melalui Kemenag membatalkan pemberangkatan calon jamaah haji. Alasannya, masih pandemi.
Pembatalan ini menimbulkan persoalan lain, yakni menambah panjang daftar antrian keberangkatan calon jamaah haji di Tanah Air. Sampai tahun ini, antrian terlama di Indonesia adalah pada tahun 2055.
Haji: Kewajiban Agung
Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam Islam. Sabda Nabi saw.:
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; haji dan shaum Ramadhan (HR al-Bukhari).
Ibadah haji merupakan kewajiban dari Allah SWT atas kaum Muslim:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (TQS Ali Imran [3]: 97).
Imam Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lainnya, tentang firman Allah, “Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” maknanya, “Siapa saja yang mengingkari kewajiban haji sungguh telah kafir dan Allah tidak memerlukan dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 2/84).
Ibn Abbas ra. berkata:
قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ الْحَجُّ كُلَّ عَامٍ؟ قَالَ: (لاَ بَلْ حَجَّةً)؟ قِيْلَ: فَمَا السَّبِيْلُ، قَالَ: (الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ).
Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah haji wajib setiap tahun?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi sekali (seumur hidup).” Ada yang bertanya, “Lalu, apa yang dimaksud dengan jalan (ke Baitullah)” Beliau menjawab, “Bekal dan kendaraan.” (HR ad-Daruquthni).
Prof. DR. Wahbah Zuhaili merangkum keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud batas kemampuan di sini adalah mampu badaniyah, maliyah dan amaniyah (Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, 3/25).
Mampu secara badaniyah adalah sehat sehingga mampu menempuh perjalanan dan bisa melaksanakan semua rukun haji dengan sempurna.
Mampu secara maliyah adalah adanya kecukupan harta untuk berangkat ke Tanah Suci dan kembali ke negeri asalnya, untuk bekal perjalanan serta untuk keluarga yang wajib dinafkahi. Kewajiban haji tidak berlaku bagi Muslim yang tidak mampu sampai ia punya harta yang mencukupi.
Selain itu, juga ada istitha’ah dalam keamanan (amaniyah). Artinya, keamanan calon jamaah haji terjamin baik dari gangguan penjahat seperti perampok, begal, ataupun peperangan. Termasuk aman dari gangguan alam seperti badai di lautan, juga wabah penyakit yang berbahaya.
Karena itu jika ada kondisi yang merintangi dan mengancam keselamatan kaum Muslim dalam perjalanan haji, sementara halangan tersebut tidak bisa dihilangkan, maka hal demikian jadi pembatal syarat istitha’ah dalam berhaji. Dalam sejarah, beberapa kali memang terjadi pembatalan ibadah haji, misalnya karena wabah pada tahun 1814, juga pada tahun 1837 dan kolera tahun 1846.
Khilafah Pelayan Tamu Allah
Ibadah haji sejatinya adalah fardhu bagi setiap Muslim yang mampu atau istitha’ah. Namun demikian, syariah Islam juga menetapkan Imam/Khalifah untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan para jamaah haji. Sebabnya, Imam/Khalifah adalah ra’in (pengurus rakyat). Sabda Nabi saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jamaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Khilafah dalam melayani para jamaah haji ini. Pertama: Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin. Rasulullah saw. pernah menunjuk ‘Utab bin Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra., untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Rasulullah saw. juga pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat Haji Wada’. Pada masa Kekhilafahan Umar ra., pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra. hingga masa akhir Kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra., pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.
Kedua: Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga: Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.
Keempat: Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].
Kelima: Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dsb. Semua itu dimaksudkan agar bisa menampung banyak jamaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jamaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangunan saluran air bagi jemaah haji itu diinisiasi oleh istri Khalifah Harun ar-Rasyid yang bernama Zubayda. Diriwayatkan untuk proyek itu ia mengeluarkan uang hingga 1,7 juta dinar atau setara dengan tujuh triliun dua ratus dua puluh lima miliar rupiah!
Keenam: Pada masa pandemi atau wabah, Khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga medis yang memadai.
Khilafah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.
Semua aktivitas Khilafah dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dsb.
Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Tanpa pelayanan dari pemimpin yang bertumpu pada syariah, pelaksanaan ibadah haji sering terkendala, dan bukan tidak mungkin menjadi ajang mencari keuntungan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.[]
—*—
HIKMAH:
Rasulullah saw. bersabda:
والحَجُّ المَبْرُورُ ليسَ له جَزَاءٌ إلَّا الجَنَّةُ
Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. (HR al-Bukhari dan Muslim). []