[Buletin Kaffah No. 075_19 Jumadil Awwal 1440 H – 25 Januari 2019 H]
Setidaknya dalam beberapa bulan ke depan, suasana perpolitikan di Tanah Air dipastikan makin dinamis. Bahkan suasananya bisa makin panas. Terutama tentu karena faktor Pilpres pada bulan April 2019 mendatang.
Saat ini Pilpres menjadi satu-satunya ajang bagi rakyat di negeri ini untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Namun sayang, faktanya, dari beberapa kali Pilpres, pemimpin yang terpilih tidak selalu yang terbaik. Bahkan sering lebih buruk daripada para pemimpin sebelumnya.
Mengapa demikian? Sebab yang paling utama, kapasitas dan kualitas para calon pemimpin tidak diukur, ditakar atau ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah; tetapi oleh konstitusi dan perundangan yang ada, yang sama sekali tidak merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Misal, tak ada satu pun pasal atau ayat dalam konstitusi maupun perundangan (UU Pemilu/Pilpres), misalnya, yang menyatakan bahwa para Capres dan Cawapres wajib bisa membaca al-Quran. Apalagi wajib berkomitmen untuk menerapkan syariah Islam setelah mereka terpilih menjadi pemimpin. Padahal inilah sesungguhnya yang dituntut di dalam Islam. Dalam Islam, seorang pemimpin (imam/khalifah) dipilih dan dibaiat tidak lain untuk menerapkan al-Quran dan as-Sunnah atau syariah Islam. Hanya dengan menerapkan syariah Islamlah, kepemimpinan tidak akan—sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi saw.—menjadi imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh).
Pemimpin Bodoh/Dungu
Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw. pernah bersabda:
«أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ…»
“Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara yaitu (salah satunya, red.): kepemimpinan orang-orang bodoh/dungu…” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Dalam hadis di atas, ada enam perkara yang dikhawatirkan Rasul saw. terjadi atas umat ini. Salah satunya—dan yang paling pertama disebut oleh beliau—adalah imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh). Imârah as-sufahâ disebut di urutan pertama karena boleh jadi perkara inilah yang paling dikhawatirkan oleh Nabi saw. terjadi atas umat ini.
As-Sufahâ` bentuk jamak dari safîh. Artinya: orang bodoh/dungu, kurang akal dan keahlian, ahlu al-hawa (biasa memperturutkan hawa nafsu), sembrono/gegabah serta buruk tindakan dan penilaiannya. Di dalam Islam, as-sufahâ` ini tidak boleh diberi kepercayan untuk mengelola sendiri hartanya (QS an-Nisa’ [4]: 5). Islam memerintahkan agar diangkat seorang washi’ yang mengurusi harta milik as-sufahâ` ini. As-Sufahâ` juga di-hijr (dilarang untuk melakukan transaksi apapun). Jika mengelola harta sendiri dan bertransaksi apapun dilarang, lalu bagaimana as-sufahâ` bisa dipercaya untuk mengelola harta orang lain, apalagi harta publik? Bagaimana mungkin pula mereka bisa dipercaya untuk mengurusi nasib orang banyak? Jika itu terjadi, pasti kerusakan dan kehancuranlah hasilnya.
Dalam hadis lain, Rasul saw. menggambarkan dengan sangat gamblang apa yang dimaksud imârah as-sufahâ`. Beliau bersabda kepada Kaab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ: َمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ :أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِى لاَ يَقْتَدُونَ بِهَدْيِى وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى…»
“Semoga Allah melindungi kamu dari imârah as-sufahâ`.” Kaab bertanya, “Apa itu imârah as-sufahâ`, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunnahku…” (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Karena itu kepemimpinan penguasa manapun—baik yang IQ-nya rendah maupun yang IQ-nya tinggi—yang tidak merujuk pada petunjuk dan Sunnah Nabi saw. terkategori sebagai imârah as-sufahâ` (pemimpin bodoh/dungu). Tegasnya, pemimpin yang meninggalkan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah, seraya menjalankan sistem dan perundangan yang bukan syariah Islam, pada dasarnya itulah imârah as-sufahâ`.
Lalu bagaimana cara menyikapi imâratu as-sufahâ` itu? Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya dalam hadis di atas:
«فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلاَ يَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى…»
Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka dia bukan golonganku, aku bukan pun bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga). Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka dia termasuk golonganku, aku pun termasuk golongannya dan dia akan masuk ke telagaku (di surga)…” (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. mengajari kita agar tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka. Membenarkan jelas tingkatannya di bawah menaati. Jika membenarkan kebohongan mereka saja dilarang, apalagi menaati dan membanntu kezaliman mereka; apalagi memberikan justifikasi, pembenaran atau stempel atas kezaliman mereka.
Sabda Rasul saw. “maka dia bukan golonganku, aku pun bukan bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga)” adalah ancaman amat keras terhadap siapapun yang membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman imârah as-sufahâ`. Bayangkan, saat semua manusia sangat mengharapkan diakui sebagai golongan Rasul saw., justru beliau berlepas diri dan menolak mereka.
Pemimpin Pembohong dan Zalim
Pertanyaannya: Siapa yang dimaksud pemimpin pembohong yang haram untuk dibenarkan? Siapa pula pemimpin zalim yang tidak boleh didukung?
Pertama: Pemimpin pembohong. Pemimpin pembohong pada dasarnya adalah pemimpin yang suka menipu dan mengkhianati rakyat. Terkait ini Rasulullah saw. bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Tidaklah seorang hamba—yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat—mati pada hari dia menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kata ghâsysy[in] maknanya khâ`in (khianat) atau khâdi’ (penipu). Artinya, membohongi/mengelabuhi rakyat atau mengkhianati amanah untuk mengurus urusan rakyat.
Hadis ini, menurut Ibn Bathal di dalam Syarh Ibn Bathal, merupakan penjelasan dan ancaman keras terhadap para pemimpin keji (a’immah al-jûr). Karena itu siapa saja yang menelantarkan orang-orang yang telah Allah SWT percaya untuk mengurus rakyat, atau dia mengkhianati rakyat atau menzalimi mereka, maka dia akan dituntut atas kezaliman-kezalimannya terhadap hamba-hamba-Nya pada Hari Kiamat kelak.
Qadhi ‘Iyadh berkata, seperti dikutip oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawi, “Maknanya jelas, ini adalah peringatan untuk tidak membohongi/menipu (mengkhianati) kaum Muslim.”
Kedua: Pemimpin zalim. Pemimpin zalim yang tidak boleh didukung adalah yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah SWT turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 55).
Pemimpin Sesat
Selain memperingatkan kita agar tidak membenarkan pemimpin pembohong dan membantu pemimpin zalim, Rasulullah saw. pun mengkhawatirkan kita jika sampai dipimpin oleh para pemimpin yang sesat dan menyesatkan. Beliau bersabda:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ اَلْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ»
“Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah para pemimpin yang sesat/menyesatkan.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Menurut al-Munawi di dalam At-Taysîr bi Syarh Jâmi’ ash-Shaghîr, para pemimpin sesat/menyesatkan (al-a’immah al-mudhillûn) dalam hadis di atas adalah para pemimpin yang melenceng dan menyimpang dari kebenaran. Kebenaran tentu saja apa saja yang datang dari Allah SWT atau yang tertuang dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dengan demikian, pemimpin mana pun yang menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah terkategori al-a’immah al-mudhillûn.
Dalam konteks ini, Ziyad bin Hudair menuturkan: Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepadaku, “Apakah engkau tahu apa yang menghancurkan Islam?” Aku jawab, “Tidak.” Umar ra. berkata:
يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ اْلأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ.
“Yang menghancurkan Islam adalah ulama yang tergelincir (dalam kesalahan), kaum munafik yang biasa berdebat dan para pemimpin sesat yang memerintah.”
Semoga kita dijauhkan dari para pemimpin yang dicela sekaligus dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. memimpin umat beliau.
Agar hal demikian tidak terjadi maka marilah kita pilih pemimpin terbaik menurut kriteria Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak lain adalah pemimpin yang mau, mampu dan berani menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ».
“Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian doakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian laknat mereka dan mereka melaknat kalian”. (HR Muslim).