[Buletin Kaffah] Menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah Sebagai Pegangan dan Pedoman Hidup

 [Buletin Kaffah] Menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah Sebagai Pegangan dan Pedoman Hidup

Holy koran

[Buletin Kaffah No. 15_28 Shafar 1439 H-17 November 2017 M]

Setiap manusia mutlak harus memiliki pegangan dan pedoman dalam menempuh hidup dan mengelola kehidupan. Tanpa pegangan dan pedoman hidup niscaya dia akan tersesat dan tidak akan sampai pada tujuan hidupnya. Tanpa pegangan dan pedoman hidup dia akan terombang-ambing layaknya bulu yang diterbangkan angin sehingga dia tidak akan meraih kemajuan dalam hidup.

Apalagi seorang Muslim yang memiliki tujuan hidup yang sudah jelas, yakni meraih kebahagian di dunia dan akhirat dalam naungan ridha Allah SWT. Ia tentu harus memiliki pegangan dan pedoman hidup. Bahkan pegangan dan pedoman hidup bukan hanya harus dimiliki oleh seorang Muslim secara pribadi, tetapi juga oleh kaum Muslim secara umum dalam kehidupan bermasyarakat.

Allah SWT telah menentukan dan mewajibkan kaum Muslim untuk menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup mereka. Siapapun yang berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah tidak akan tersesat. Ibnu Abbas ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw., saat berkhutbah pada Haji Wada’, antara lain bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»

Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan Malik).

Menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup mensicayakan antara lain: Pertama, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan. Kedua, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai standar (tolok ukur). Ketiga, memberlakukan semua hukum yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Menjadikan al-Quran dan as-Sunnah Sebagai Rujukan

Maknanya, dalam segala perkara, al-Quran dan as-Sunnahlah (Islam dan syariahnya) yang dijadikan acuan. Ketika terjadi perelisihan dan perbedaan pendapat dalam hal apapun, yang harus dirujuk juga al-Quran dan as-Sunnah, bukan yang lain. Dengan kata lain, al-Quran dan as-Sunnahlah yang menjadi pemutus dalam semua perkara yang diperselisihkan.

…فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Menurut Imam as-Samarqandi dalam tafsirnya, Bahr al-‘Ulûm, frasa kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul bermakna: kembalikanlah pada perintah Allah SWT yang Dia perintahkan dengan wahyu dan pada perintah Rasul saw. dalam apa saja yang beliau beritakan dari wahyu. Karena wahyu telah terputus sejak Rasul saw. wafat, maka semua perkara dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang beliau tinggalkan.

Dalam Tafsîr Ibnu Katsîr juga dijelaskan bahwa Mujahid dan bukan hanya satu ulama salaf menyatakan bahwa “kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” bermakna “kembalikanlah pada Kitabullah dan as-Sunnah”. Apa yang diputuskan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta dibuktikan kesahihannya pasti benar. Tidak ada setelah kebenaran kecuali kesesatan. Karena itu Allah SWT berfirman (yang artinya): …jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak ber-tahkîm (berhukum) dalam obyek perselisihan pada al-Quran dan as-Sunnah bukanlah orang yang mengimani Allah SWT dan Hari Akhir.

Dengan demikian bukti akan kebenaran iman kepada Allah dan Hari Akhir, adalah dengan mengembalikan segala perkara pada al-Quran dan as-Sunnah, bukan mengembalikan pada pendapat manusia, atau pendapat mayoritas, atau keputusan badan internasional atau kebijakan pihak asing.

Menjadikan Al-Quran dan as-Sunnah Sebagai Standar

Artinya, yang wajib dijadikan tolok ukur adalah apa saja yang diputuskan dan dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunah. Allah SWT berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Apapun yang kalian perselisihkan, putusannya (kembali) kepada Allah (TQS asy-Syura [42]: 10).

Imam ath-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayan fî Ta’wîl al-Qur’ân menafsirkan ayat di atas, “Apa saja yang kalian perselisihkan, wahai manusia, hingga kalian bersengketa, maka hukumnya kembali kepada Allah. Allahlah yang memberikan keputusan di antara kalian dan menjelaskan hukumnya.”

Hal senada dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya.

Dengan demikian al-Quran dan as-Sunnah, yakni Islam dan syariahnya, harus dijadikan standar dalam menilai, memandang dan memutuskan; bukan sebaliknya, yakni malah menempatkan syariah dan ajaran Islam sebagai perkara yang dinilai. Pemikiran, budaya, norma, nilai-nilai, ajaran, falsafah, aturan dan sebagainya harus diukur dengan Islam. Apakah semua itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika pemikiran, budaya, norma, nilai, ajaran, falsafah, aturan dan sebagainya itu menyalahi syariah Islam maka semua itu harus diubah agar sesuai dengan syariah Islam. Jika tidak maka harus ditolak dan ditinggalkan. Bukan sebaliknya, ajaran dan syariah Islam justru diposisikan sebagai perkara yang dinilai dan distandarisasi dengan selainnya. Lalu jika tidak sesuai, Islam yang diubah agar sesuai; atau Islam berikut ajaran dan syariahnya diterima hanya yang sesuai dengan budaya, pemikiran, norma, nilai, falsafah, atau aturan selain Islam itu. Sikap demikian adalah batil, menyalahi keimanan atas kebenaran Islam dan tidak layak keluar dari seorang Muslim.

Bahkan bukan hanya sesuai atau tidak dengan Islam, tetapi juga apakah didasarkan pada—atau terpancar dari—akidah Islam atau tidak. Pasalnya, meskipun suatu perkara secara fisik dan faktual tidak menyalahi Islam, bukan berarti perkara tersebut pasti diterima di sisi Allah SWT. Hal itu seperti perbuatan orang kafir yang dinilai baik dalam pandangan manusia. Meskipun secara fisik dan faktual sesuai atau tidak menyalahi Islam, tetap tidak diterima di sisi Allah SWT. Alasannya, perbuatan orang kafir tentu tidak terpancar dari akidah Islam atau dilakukan tidak didasarkan pada akidah Islam.

Memberlakukan Semua Hukum al-Quran dan as-Sunnah

Allah SWT telah memerintahkan agar manusia memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya. Secara khusus, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya. Allah SWT pun mensifati penguasa yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-Nya sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47) bahkan bisa kafir (QS al-Maidah [5]: 44). Allah SWT menafikan (kesempurnaan) iman seseorang sampai dia menjadikan Rasul saw. sebagai hakim, yakni menjadikan hukum al-Quran dan as-Sunnah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (lihat QS a-Nisa’ [4]: 65). Allah SWT juga menilai klaim keimanan seseorang yang tetap ingin berhakim kepada thâghût bahwa itu sekadar klaim, bukan iman yang sebenarnya. Allah SWT berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepada kamu dan apa saja yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thâghût. Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 60).

Di dalam al-Quran dan as-Sunah telah dinyatakan banyak hukum yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan. Hukum-hukum itu tidak bermakna sebagai hukum jika hanya diambil nilai-nilai dan substansinya saja. Pasalnya, sebagaimana  hukum apapun secara umum, tidak ada maknanya sebagai hukum kecuali diterapkan secara nyata dalam kehidupan.

Khatimah

Inilah makna menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pegangan dan pedoman hidup. Pertanyaannya: Sejauh mana kita telah menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan? Sejauh mana kita telah menilai segala sesuatu dengan standar atau tolok ukur al-Quran dan as-Sunnah, yakni dengan standar syariah Islam? Sejauh mana kita telah menerapkan hukum-hukum al-Quran dan as-Sunnah dalam semua aspek kehidupan?

Sejauh mana kepedulian kita terhadap al-Quran dan as-Sunnah saat keduanya sering tidak dijadikan rujukan? Sejauh mana kepedulian kita saat al-Quran dan as-Sunnah  tidak dijadikan standar penilaian dan malah sering diposisikan sebagai yang dinilai bahkan diubah dan dikerdilkan untuk disesuaikan dengan selainnya? Sejauh mana pula kepedulian kita saat hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah ditelantarkan sebagaimana saat ini?

Tentu, kelak di akhirat kita semua akan ditanya atas semua itu. Hendaklah kita mempersiapkan jawaban terbaik untuk itu dengan sungguh-sungguh menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman dan pegangan hidup kita. Caranya adalah dengan bersungguh-sungguh menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّ أَحْسَنَ الحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Sungguh ucapan terbaik adalah Kitabullah dan petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad saw. (as-Sunnah) (HR al-Bukhari)

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *