[Buletin Kaffah] Menegakkan Khilafah Wujud Ketaatan Kepada Allah SWT
[Buletin Kaffah No. 32_28 Jumadul Akhir 1439 H – 16 Maret 2008 M]
Ada sebagian orang saat ini yang seolah menganggap ajaran Islam harus dipegang teguh jika dinyatakan secara tekstual di dalam al-Quran. Jika tidak, maka seolah itu bukan ajaran Islam. Jika pun dianggap sebagai ajaran Islam, ia tidak perlu diutamakan dan diamalkan; boleh saja ditinggalkan.
Contohnya adalah tentang Khilafah. Mereka menolak Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Mereka berdalih, Khilafah tidak ada di dalam al-Quran. Yang ada dalam al-Quran, kata mereka, adalah khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30), bukan khilafah.
Lalu ada yang menyatakan bahwa khalifah itu tidak ada hubungannya dengan Islam. Pasalnya, kata dia, Nabi Adam as. menjadi khalifah karena dua hal: Pertama, karena mengetahui nama-nama, dan itu artinya adalah profesional. Kedua, karena menang tanding melawan malaikat. Karena itu, menurut dia, siapapun adalah khalifah jika memenuhi dua kualifikasi: memiliki profesionalisme dan menang tanding. Seorang hakim adalah khalifah karena memiliki profesionalisme dan menang tanding menyingkirkan sarjana hukum lainnya. Menurut dia pula, Donald Trump adalah khalifah tingkat dunia, sedangkan Jokowi adalah khalifah tingkat nasional.
Pernyataan di atas jelas ngawur! Pasalnya, banyak ajaran Islam yang tidak disebutkan secara tekstual di dalam al-Quran. Penolakan terhadap Khilafah dengan alasan tidak ada dalam al-Quran juga menyiratkan penolakan terhadap apa yang tercantum dalam as-Sunnah. Seandainya mau melihat as-Sunnah, tentu akan mudah menemukan banyak nas yang menyatakan dan membicarakan Khilafah dan khalifah atau imam.
Kalaulah Khilafah dianggap sebagai hal yang masih diperselisihkan, tetap hal itu harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Pasalnya, kaum Muslim memang wajib mengembalikan semua perkara pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:
﴿فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ…﴾
Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari akhir… (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah SWT berfirman (yang artinya): Kembalikanlah persengketaan dan ketidaktahuan itu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berhukumlah pada keduanya dalam apa yang kalian perselisihkan jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam obyek perselisihan pada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak merujuk pada keduanya bukanlah orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir.”
Sebagaimana ayat di atas, banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan hukum Islam. Contohnya adalah firman Allah SWT:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
Putuskan hukum di antara mereka berdasarkan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).
Perintah semacam ini bertebaran dalam al-Quran seperti dalam: QS al-Maidah [5]: 48-49; an-Nisa’ [4]: 59, 60, dan 65; al-Hasyr [47]: 7; al-Ahzab [33]: 36; an-Nur [24]: 63; dan lain-lain.
Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullah saw. diutus hingga Hari Kiamat (lihat: QS Saba` [34]: 28 dan al-A’raf [7]: 158).
Banyak kewajiban yang Allah SWT perintahkan di dalam al-Quran, misalnya dalam perkara kepemimpinan; dalam perkara ibadah yang memerlukan peran penguasa seperti pemungutan zakat, masalah ekonomi, jihad, hudûd dan jinâyat dan sebagainya. Penerapan hukum-hukum itu memerlukan penguasa sebagai pelaksananya. Sejak hijrah ke Madinah, Rasul saw. adalah pihak yang mengimplementasikan semua hukum itu sebagai seorang kepala negara. Sebagai kepala negara, beliau juga mengangkat para pejabat dalam struktur Daulah Islam yang beliau dirikan untuk menjalankan hukum dan mengurus urusan umat seperti wali (gubernur), qâdhi (hakim), para kâtib (sekretaris) dan polisi. Beliau juga membentuk angkatan perang, menunjuk panglima dan sebagainya. Pasca beliau, para khalifahlah yang melanjutkan kepemimpinan atas umat. Hal ini beliau jelaskan dalam sabda beliau:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ»
Bani Israil dulu dipimpin dan diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR Muslim).
Dalam hadis ini, Rasul saw. menyatakan bahwa beliau mengurusi umat sebagaimana para nabi terdahulu mengurusi Bani Israel. Lalu seolah Rasul saw. menjawab pertanyaan yang bisa muncul tentang siapa yang menjalankan peran pengurusan umat itu sepeninggal beliau. Pasalnya, tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Beliau lalu secara gamblang menyatakan, tugas dan peran itu dijalankan oleh para khalifah. Jadi penerapan hukum, penjagaan agama dan pengurusan umat sepeninggal Nabi saw. dijalankan oleh para khalifah.
Di sinilah Ibnu Khaldun menyatakan, “Ketika telah jelas bagi kita hakikat jabatan tersebut, bahwa jabatan itu merupakan wakil dari pemilik syariah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia, disebut Khilafah dan Imamah. Adapun pelaksananya adalah khalifah atau imam.” (Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 97).
Maka dari itu, mudah dipahami kewajiban mengangkat seorang khalifah/imam. Pasalnya, semua hukum yang wajib diterapkan—seperti hudûd, jinâyat, dan sebagainya—akan terlantar ketika tidak ada khalifah seperti sekarang. Imam Hasan an-Naisaburi berkata:
أَجْمَعَتْ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنَّ اْلمخَاطَبَ بِقَوْلِهِ ﴿فَاجْلِدُوْا﴾ هُوَ اْلإِمَامُ حَتَّى احْتَجُّوْا بِهِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ اْلإِمَامِ فَإِنَّ مَا لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dengan firman-Nya: “Cambuklah oleh kalian…” adalah Imam (Khalifah) hingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat imam (khalifah). Pasalnya, suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib (An-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465).
Kewajiban mengangkat imam/khalifah sama dengan kewajiban menegakkan Khilafah. Hal itu juga ditegaskan dalam sabda Rasul saw.:
«مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Hakikat ini dipahami betul oleh para Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Imam Thahir ibnu ‘Asyur dalam Tafsir At-Tahrîr wa at-Tanwîr juga menegaskan, “Para Sahabat telah bersepakat setelah Nabi saw. wafat untuk mengangkat seorang khalifah demi menegakan sistem umat dan menjalankan syariah. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama dan umat secara umum yang menentang ijmak ini kecuali orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelasnya petunjuk kepada mereka, yaitu kalangan bangsa Arab yang keras kepala dan para penyeru fitnah. Berdebat dengan orang-orang seperti mereka adalah sia-sia.”
Ijmak Sahabat itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14). Jadi Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah tidak bisa dibatalkan oleh kesepakatan orang sesudahnya, termasuk kesepakatan orang zaman sekarang, kalaupun benar ada kesepakatan itu.
Apalagi faktanya Ijmak Sahabat tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini dikuatkan oleh kesepakatan para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).
Imam an-Nawawi juga menegaskan hal yang sama dalam Syarh Shahîh Muslim.
Karena merupakan kewajiban berdasarkan syariah, berarti menunaikan kewajiban ini mendatangkan pahala dan upaya mengabaikannya berkonsekuensi dosa. Dengan demikian perjuangan untuk mewujudkan Khilafah dan mengangkat khalifah jelas merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT bahkan merupakan bagian ketaatan yang utama. Jika ada yang menganggap upaya menegakkan Khilafah sebagai pembangkangan kepada Allah SWT, jelas itu adalah anggapan yang keblinger!
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
Tentang apa saja kalian berselisih maka hukum (putusan)-nya kembali kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada Dialah aku bertawakal dan kepada dia pula aku kembali (TQS asy-Syura [42]: 10). []