[Buletin Kaffah, No. 062_17 Safar 1440 H/26 Oktober 2018 M]
Saat ini, tiba-tiba banyak Muslim geram. Dadanya bergolak. Darahnya mendidih. Amarahnya membuncah. Bagaimana umat tidak marah. Di tengah-tengah acara Peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober lalu, sekelompok oknum berseragam Banser dengan sengaja dan bahkan dengan bangga membakar bendera kebanggaan seluruh kaum Muslim. Itulah Bendera Tauhid. Bendera Ar-Rayah. Bendera bertuliskan kalimat: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.
Peristiwa pembakaran Bendera Tauhid itu terjadi di Garut, Jawa Barat. Ketika dikonfirmasi, Ketua Ansor Yaqut Cholil Qoumas atau yang sering disapa Gus Yaqut membenarkan peristiwa itu. Bahkan, menurut Gus Yaqut, itu dilakukan untuk menghormati dan menjaga kalimat tauhid (DetikNews, 23/10/2018).
Seputar al-Liwa dan ar-Rayah
Tindakan di atas tentu sulit diterima akal sehat. Pasalnya, banyak hadis shahih atau minimal hasan yang menjelaskan seputar al-Liwa dan ar-Rayah ini. Di antaranya Rasulullah saw. bersabda:
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Sungguh aku akan memberikan ar-Rayah ini kepada seseorang yang melalui kedua tangannya diraih kemenangan. Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain dinyatakan:
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa-nya berwarna putih (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thabarani dan Abu Yala).
Di dalam riwayat lain juga dinyatakan:
أَنَّ رَايَة رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ سَوْدَاء مُرَبَّعَة مِنْ نَمِرَة
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam, persegi empat, terbuat dari kain wol Namirah (HR at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Lebih tegas dinyatakan dalam hadis lain:
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ فِيْهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa-nya berwarna putih. Tertulis di situ Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh (HR Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlâq an-Nabiy saw.).
Semua hadis di atas shahih. Hadis-hadis tersebut dinyatakan di dalam banyak kitab hadis. Para ulama sudah membahas hal ini saat mereka menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarh dan takhrîj-nya. Sebut saja seperti Kanz al-Ummal, Majma al-Zawâid, Fath al-Bâri, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qâri, Faydh al-Qâdir, dll. Belum lagi dalam kitab sirah dan maghâzi yang di antaranya memiliki sanad kuat.
Terkait tulisan dan khat serta ukuran, itu hanyalah perkara teknis saja. Dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menolak ar-Rayah dan al-Liwa. Itu juga yang terjadi pada khat penulisan al-Quran. Ketidakpastian khat al-Quran tidak boleh menjadi dasar penolakan terhadap al-Quran.
Keagungan Kalimat Tauhid
Kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh merupakan alamah atau ciri keagungan Islam. Misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT ini. Kalimat ini pula yang tertulis dalam ar-Rayah dan al-Liwa. Artinya, ar-Rayah dan al-Liwa adalah simbol tauhid. Keduanya merupakan syiar pemersatu. Ini berbeda dengan bendera-bendera lain yang acap memecah-belah.
Kalimat tauhid adalah harga bagi surga. Suatu saat Nabi saw. mendengar muadzin mengucapkan: Asyhadu an Lâ ilâha illalLâh. Lalu beliau berkata kepada muadzin tersebut:
خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ
Engkau terbebas dari neraka (HR Muslim).
Beliau juga pernah bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Siapa saja yang akhir ucapannya (sebelum wafat) adalah Lâ ilâha illalLâh maka dia pasti masuk surga (HR Abu Dawud).
Kalimat tersebut juga merupakan kalimat zikir yang paling utama. Sabda Nabi saw.:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Zikir yang paling utama adalah bacaan Lâ ilâha illalLâh (HR at-Tirmidzi).
Memuliakan Panji Rasulullah saw.
Pada awalnya, Ar-Rayah adalah panji-panji perang, dan al-Liwa adalah simbol kepemimpinan umum. Namun demikian, ar-Rayah dan al-Liwa berfungsi sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayy Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera. Menurut al-Kattani, jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtimâi kalimatihim) sekaligus tanda persatuan hati mereka (ittihâdi qulûbihim) (Al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah [At-Tarâtib al-Idâriyyah], I/266).
Jelas, makna Rayah dan Liwa Rasul saw. itu bukan terbatas dalam peperangan saja. Apalagi berhenti sekadar simbol. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. Liwa dan Rayah Rasulullah saw. merupakan lambang akidah Islam karena di dalamnya tertulis kalimat tauhid: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran. Kalimat ini pula yang bakal menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Maka dari itu, sebagai simbol syahadat, panji tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Panji ini disebut sebagai Liwa`al-Hamdi. Rasulullah saw. bersabda:
«أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَبِيَدِى لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِىٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِى…»
Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan tidak ada kesombongan. Di tanganku ada Liwa` al-Hamdi dan tidak ada kesombongan. Tidak ada nabi pada hari itu, Adam dan yang lainnya, kecuali di bawah Liwa-ku (HR at-Tirmidzi).
Karena itu tentu aneh sekali jika ada sekelompok orang menghinakan Rayah dan Liwa Rasulullah saw. ini. Padahal mereka Muslim. Bagaimana mungkin seorang Muslim melecehkan Panji Tauhid, padahal kalimat tauhid itulah yang akan menyelamatkan dia di akhirat kelak dari siksa neraka?
Jelas, pembakaran ar-Rayah yang bertuliskan kalimat tauhid merupakan tindakan pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Keliru juga jika diqiyaskan dengan pembakaran al-Quran pada masa Utsman. Pasalnya, pembakaran mushaf pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ra. itu: (1) Tujuannya adalah untuk standarisasi mushaf sehingga yang dipakai hanya mushaf yang diproduksi Pemerintah saat itu; (2) Standarisasi mushaf dilakukan oleh pemegang otoritas syariah, yakni Khalifah, yang wajib ditaati. Apa yang diputuskan Khalifah masuk dalam bagian hukum syariah. Karena itu kalau diqiyaskan dengan pembakaran bendera tauhid oleh salah satu oknum ormas tertentu adalah salah kaprah (qiyâs maa al-farîq).
Terlalu dipaksakan juga jika diqiyaskan dengan hukum pembakaran al-Quran agar tidak tercecer dan terhinakan. Jika mushaf atau lembaran bertuliskan al-Quran itu sudah tidak terpakai, dan dikhawatirkan terhinakan jika masih dalam bentuknya, maka dianjurkan dibakar. Ini sebagai penghormatan terhadap al-Quran dan menjauhkan al-Quran dari penghinaan. Sebaliknya, jika mushaf atau lembaran al-Qur’an itu masih terpakai, kemudian dibakar karena kebencian terhadap al-Quran atau kebencian terhadap Muslim yang menggunakan al-Quran, ini jelas haram. Hal ini berlaku juga dengan kalimat tauhid. Bahkan dalam pandangan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary, seorang ulama besar abad ke-17, dalam kitab Fasad al-Iman atau Penyebab Rusaknya Iman dalam bahasa Arab Melayu, tindakan demikian bisa menjadikan seseorang keluar dari Islam (murtad).
Karena itu Liwa dan Rayah Rasul saw. itu harus diagungkan dan dijunjung tinggi. Sebab keduanya merupakan syiar Islam yang malah harus menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat ashabiyah. Allah SWT berfirman:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).
Syaikh an-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H), menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar Dîn-Nya (An-Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam at-Tawfiq, hlm. 103).
Alhasil, seperti dinyatakan oleh Imam Muhammad asy-Syaibani dalam As-Siyar al-Kabîr dan oleh Imam as-Sarakhsi dalam Syarh as-Siyar al-Kabîr, Liwa kaum Muslim selayaknya berwarna putih dan Rayah mereka berwarna hitam sebagai bentuk peneladanan kepada Rasul saw. Umat Islam juga seharusnya selalu menjunjung tinggi dan menghormati Liwa dan Rayah Rasul saw. itu. Lebih dari itu, mereka seharusnya berjuang bersama untuk mengembalikan kemuliaan keduanya sebagai panji tauhid, identitas Islam dan kaum Muslim, sekaligus pemersatu mereka.
WalLâhu alam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasul saw. bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أُمَّتِى يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِى بِذِى عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya, maka dia bukanlah bagian dari golonganku (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai).