[Buletin Kaffah_No. 045_15 Syawal 1439 H-29 Juni 2018 M]
Ramadhan sudah berlalu. Yang tersisa bagi umat hari ini adalah pertanyaan: bagaimana cara memelihara dan menyempurnakan ketakwaan? Ini adalah pertanyaan amat penting karena memang hikmah dari shaum Ramadhan adalah mencapai derajat takwa.
Tak ada keraguan lagi bahwa ketakwaan adalah status tertinggi seorang hamba di hadapan Allah SWT. Bukan kekayaan, status sosial, warna kulit, suku bangsa, dll. Islam telah menghilangkan status dan prestise yang melekat pada manusia dan menggantikannya takwa. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kalian (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Imam ath-Thabari rahimahulLâh dalam tafsirnya mengatakan, “Sungguh yang paling mulia, wahai manusia, di sisi Tuhan kalian, adalah yang bertakwa, yakni yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi kemaksiatan; bukan yang paling mewah rumahnya dan paling banyak keturunannya.”(Tafsîr ath-Thabari, 7/86).
Allah SWT Bersama Orang Bertakwa
Takwa oleh sebagian sahabat didefinisikan sebagai:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل
Takut kepada Allah Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran, merasa puas dengan yang sedikit dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi Hari Penggiringan (Hari Akhir).
Sebagian ulama juga memberikan pengertian takwa dengan: menaati semua perintah Allah SWT dan menjauhi segenap larangan-Nya. Hamba-hamba Allah yang bertakwa tidak pernah memilah dan memilih perintah maupun larangan-Nya. Perkara yang fardlu akan ia kerjakan sekuat tenaga sekalipun membutuhkan pengorbanan besar. Sebaliknya, perkara yang haram akan ia tinggalkan meskipun dipandang biasa di tengah masyarakat. Ia akan bergegas untuk mendapatkan ampunan dan surga yang dijanjikan Allah SWT.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (TQS Ali Imran [3]: 133).
Allah SWT akan selalu bersama kaum yang bertakwa:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sungguh Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (TQS an-Nahl [16]: 128).
Allah SWT akan menjadi wali/penolong kaum yang bertakwa:
وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
Allah adalah Pelindung orang-orang yang bertakwa (TQS al-Jatsiyah [45]: 19).
Allah SWT pun akan memberikan jalan keluar atas setiap persoalan dan memberikan rezeki dari cara yang tak diduga bagi orang yang bertakwa:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan beri dia jalan keluar dan rezeki dari jalan yang tak diduga (TQS ath-Thalaq [65]: 2-3).
Keberkahan pun akan dibukakan oleh Allah SWT manakala penduduk satu negeri beriman dan bertakwa.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Penyimpangan dari Ketakwaan
Sayang, hari ini sekularisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) telah menyimpangkan makna takwa yang hakiki. Sekularisme menempatkan takwa sekadar ketaatan dalam urusan ibadah dan akhlak semata. Tidak sedikit orang yang seksama dan khusyuk dalam ibadah dan berperilaku baik pada sesama. Namun, mereka mengabaikan banyak perintah dan larangan Allah yang lain. Padahal Allah SWT telah menjadikan Islam sebagai risalah paripurna, mengatur semua aspek kehidupan.
Kaum Muslim bersemangat melaksanakan perintah shaum (QS al-Baqarah [2]: 183). Namun, terhadap ayat lain yang juga diawali dengan kata “kutiba” umat seperti tidak peduli. Umat seperti tak tersentuh dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (TQS al-Baqarah [2]: 178).
Demikian pula dengan firman-Nya:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
Diwajibkan atas kalian berperang (TQS al-Baqarah [2]: 216).
Ketidakpekaan umat atas perintah-perintah Allah SWT tersebut karena menerapkan paham sekularisme terhadap ajaran Islam. Akibatnya, Islam menjadi mirip ajaran kerahiban yang hanya mengatur tatacara ibadah ritual dan moral. Padahal Islam adalah sistem kehidupan yang luas. Islam mengatur hubungan manusia dengan Al-Khâliq, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, juga hubungan manusia dengan sesamanya.
Penjajahan atas Dunia Islam telah menjadikan ajaran Islam mengalami sekularisasi. Umat dijauhkan dari risalah Islam yang hakiki. Akidah Islam dijadikan hanya sebatas membahas masalah keakhiratan. Tidak menjadi asas dalam kehidupan dunia. Syariahnya hanya dibatasi dalam masalah ibadah ritual dan akhlak. Tidak dipakai untuk mengatur bidang sosial, ekonomi, politik dan negara.
Distorsi makna takwa ini membuat kehati-hatian dalam beramal karena takut pada Allah SWT kian pudar dalam kehidupan sehari-hari. Praktik riba merajalela. Kecurangan bisnis terus terjadi. Perzinaan dan LGBT menjadi-jadi. Kezaliman dan kebohongan dalam politik dan pemerintahan tak kunjung henti.
Bahkan sebagian Muslim juga mengkriminalisasi ajaran agama dan orang-orang yang memperjuangkan agama. Muslim yang berusaha istiqamah menjalankan agama dan menyerukan pelaksanaan agama dilabeli sebagai kaum radikal. Mereka dipersekusi. Sementara itu syariah Islam dan penegakan Khilafah yang telah dibahas kewajiban hukumnya oleh para ulama Aswaja dipandang sebagai ancaman bagi umat manusia.
Akibat hilangnya takwa, sifat amanah dan menepati janji pun kian menghilang. Sebagai contoh, menurut Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM, ada 66 janji pemerintahan Jokowi-JK ketika kampanye yang belum terealisasikan. Sejumlah janji diingkari begitu saja. Janji tidak akan menambah utang. Yang terjadi justru menambah utang sebanyak Rp 1.166 triliun dan sudah menembus angka Rp 4 ribu triliun. Janji tidak menaikkan harga BBM, tarif listrik, dsb. Yang terjadi justru sebaliknya.
Demikian dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan sekularisme hingga orang tidak merasa berdosa dan hilang rasa takutnya kepada Allah SWT ketika merusak kehidupan bernegara. Padahal dalam ajaran Islam, negara itu ada untuk menjaga dan melindungi masyarakat dan melindungi ketakwaan mereka. Dalam Târikh al-Khulafâ’ dituliskan bahwa Ibnu Saad berkisah: Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab pergi ke mimbar. Saat itu ia sedang dalam keadaan sakit. Orang-orang lalu mengatakan bahwa obatnya adalah madu. Di Baitul Mal ada satu geribah (kantong dari kulit) berisi madu. Khalifah Umar kemudian bertanya, ”Kalau kalian mengizinkan aku mengambilnya, akan aku ambil. Bila tidak, kunyatakan haram bagiku.” Orang-orang kemudian mengizinkan Umar untuk mengambilnya. Demikian hati-hatinya Khalifah Umar menggunakan harta rakyat bahkan sampai sekantung madu pun tak mau ia gunakan bila tidak mendapatkan izin dari rakyatnya.
Demikianlah sikap pemimpin yang bertakwa. Amat berhati-hati menjalankan pemerintahan karena terdorong rasa takut mereka akan hisab Allah SWT.
Memelihara Ketakwaan
Penyimpangan dari ketakwaan berdampak buruk bagi umat (Lihat: QS ar-Rum [30]: 41). Karena itu Rasulullah saw. telah mengingatkan kaum Muslim agar memelihara perintah dan larangan Allah SWT:
إِنْ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا
Sungguh Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban. Karena itu jangan kalian menyia-nyiakannya. Allah pun telah menetapkan berbagai larangan. Karena itu jangan kalian melanggarnya (HR al-Baihaqi).
Langkah yang bisa dilakukan untuk memelihara dan menyempurnakan ketakwaan kepada Allah SWT antara lain: Pertama, menjadikan akidah Islam bukan sekadar akidah ruhiyyah, tetapi juga akidah siyasiyah, yakni asas dalam kehidupan dunia. Dengan itu semua urusan dunia maupun akhirat selalu dilandasi oleh dorongan keimanan kepada Allah SWT.
Kedua, senantiasa menjadikan Islam sebagai standar untuk menilai perbuatan terpuji-tercela dan baik-buruk. Pertimbangan dalam beramal hanyalah halal dan haram, bukan manfaat atau madarat; bukan pula ridhau atau benci manusia. Yang ia cari semata-mata adalah keridhaan Ilahi sekalipun orang-orang mencaci dirinya.
Ketiga, bersabar dalam menjalankan ketaatan pada Allah SWT sebagaimana para nabi dan rasul, juga orang-orang salihh dalam menjalankan perintah dan larangan Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلاً يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ
Sungguh di belakang kalian adalah masa kesabaran. Bersabar pada masa itu seperti menggenggam bara api. Pahala bagi yang melakukannya seperti 50 orang yang mengerjakan amalnya (HR Abu Daud).
Keempat, berdakwah mengajak umat untuk sama-sama meniti jalan ketakwaan dan menghilangkan kemungkaran. Ia takut bila berdiam diri justru akan mendatangkan bencana dari Allah SWT (Lihat: QS al-Anfal [8]: 25).
Kelima, segera memohon ampunan kepada Allah SWT dan kembali pada ketaatan manakala telah melakukan kemungkaran (Lihat: QS Ali Imran [3]: 135).
Keenam, menumbuhkan kerinduan pada ridha Allah dan surga-Nya. Dengan begitu ia tak akan tergoda untuk menggadaikan agama demi mendapatkan sekeping dunia yang ia pandang remeh. Seluruh hidupnya akan digunakan untuk meneguhkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. []
Hikmah:
Nabi saw. bersabda:
السَّعَادَةُ كُلُّ السَّعَادَةِ طُولُ الْعُمُرِ فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Kebahagiaan dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Musnad asy-Syihab Imam al-Qudhay, hadis marfû’). []