[Buletin Kaffah] Melegalkan Khamr, Mengundang Dharar

 [Buletin Kaffah] Melegalkan Khamr, Mengundang Dharar

[Buletin Kaffah No. 27, 23 Jumada al-Ula 1439 H – 9 Februari 2018 M]

Ketua MPR Zulkifli Hasan, saat berbicara pada acara Tanwir I Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya, mengungkapkan bahwa terdapat delapan partai di DPR yang setuju minuman keras (miras) dijual bebas. “Sekarang ini sudah ada delapan partai politik di DPR RI yang menyetujui minuman keras dijual di warung-warung,” ucap Zulkifli sebagaimana dilansir Antara, Sabtu (20/1).

Namun demikian, Ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol DPR RI, Arwani Thomafi, membantah pernyataan Zulkifli Hasan tersebut. Menurut Arwani, pihaknya masih melakukan pembahasan RUU ini. Menurut dia, semua fraksi dan Pemerintah secara bulat setuju untuk melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat bebas. “Saya tegaskan seluruh fraksi dan Pemerintah sepakat untuk menertibkan penjualan minuman beralkohol,” tandas Arwani (news.okezone.com, 21/1/2018).

Meski sudah dibahas dalam Pansus sejak Juli 2015, masih ada hal-hal yang masih diperdebatkan. Di antaranya adalah soal nomenklatur penamaan judul. Fraksi PPP, Fraksi PKS DAN Fraksi PAN tetap setuju dengan judul awal yaitu RUU Larangan Minuman Beralkohol. Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura dan Fraksi NasDem setuju dengan judul RUU Pengendalian dan Pengawasan Miuman Beralkohol. Pemeritah juga setuju dengan judul ini. Dua fraksi lainnya, yaitu Fraksi Golkar dan Fraksi PKB, mengusulkan judul tanpa embel-embel “larangan” dan “pengendalian dan pengawasan”. Tampaknya, jalan keluar kompromi akan tercapai dengan menghilangkan kata larangan dari judul RUU tersebut.

Perubahan itu tentu akan membawa perubahan mendasar. Yang sebelumnya berupa pelarangan akan berubah menjadi sekadar pengendalian dan pengaturan.  Dengan begitu pasal-pasal dalam draft awal RUU yang melarang setiap orang untuk mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman beralkohol (minol) akan berubah menjadi membolehkan setiap orang untuk menjual dan memproduksi minol dengan syarat tertentu. Misalnya, dalam Pasal 8 dinyatakan, “Setiap orang yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki izin usaha industri.”

Pasal tentang konsumsi minol yang dalam draft awal dilarang tampaknya juga akan berubah menjadi dibolehkan asal tidak berlebihan. Dalam Pasal 7 draft awal RUU disebutkan, “Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan.” Pasal ini akan berubah menjadi “Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan atau terus-menerus sehingga menimbulkan ketergantungan.”

Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan sejauh ini tampak bahwa minol atau miras tidak akan dilarang secara mutlak, tetapi hanya dikendalikan, diatur dan diawasi saja peredarannya. Tegasnya, kata Ketua Pansus RUU Minol Arwani Thomafi, RUU Minol tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. RUU ini hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol agar tidak di sembarang tempat, yang bisa membahayakan anak-anak.

Tampaknya RUU Minol tidak akan jauh dari pengendalian dan pengaturan distribusi minol yang ada dalam peraturan yang ada saat ini, yaitu Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang disahkan 6-12-2013. Alasan ekonomi tampaknya menjadi salah satu yang ada di balik semua itu, yakni untuk mempertahankan pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan cukai etil alkohol. Sebagaimana diketahui, pemasukan negara dari cukai MMEA sebesar Rp 6,4 triliun (target RAPBN 2016). Bila dibandingkan dengan cukai etil alkohol (bila tidak diproduksi sebagai minol) cukainya hanya Rp 171,2 miliar. Besaran cukai MMEA ini melonjak bila dibandingkan dengan tahun 2013 (Rp 4,6 triliun) dan 2014 (Rp 5,3 triliun). Pada tahun 2018 ini Pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai etil alkohol sebesar Rp 170 miliar dan dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6,5 triliun (kontan.co.id, 2/11/2017).

Selain alasan penerimaan, juga ada alasan investasi. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Willem Petrus Riwu, mengatakan RUU minuman beralkohol harus disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara investasi yang sudah ada dan kemungkinan penyalahgunaan produk tersebut. Menurut dia, “Investasi yang sudah ada tentu tidak bisa disudahi begitu saja.”

Hal itu sejalan dengan apa yang diinginkan oleh para pengusaha minol. Mereka menginginkan tidak ada pelarangan minuman beralkohol. Mereka mendukung sikap Pemerintah untuk mengatur dan mengawasi saja peredaran minuman keras. Anggota Komite Eksekutif Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ronny Titiheruw, berharap RUU ini hanya berisi pengawasan dan pengaturan minol. “Dengan berisi pengawasan dan pengaturan minol, UU tersebut akan memenuhi tujuan pengawasan, tetapi tidak mematikan industri resmi minol,” ujarnya (bisnis.com, 21/10/17).

Mengundang Dharar  

Jika RUU di atas benar-benar disahkan, berarti Pemerintah dan DPR memberikan legalitas dan jaminan kepastian hukum bagi produksi, distribusi, penjualan dan konsumsi miras. Padahal melegalkan peredaran miras, apapun alasannya, sama saja dengan mengundang bahaya (dharar) besar bagi masyarakat. Fakta-fakta yang ada jelas membuktikan bahwa miras menjadi sumber berbagai kejahatan dan kerusakan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan dan kejahatan lain yang nyata-nyata terjadi akibat pelakunya dalam pengaruh minuman keras.

Apalagi pelegalan produksi, distribusi, penjualan dan konsumsi miras jelas menyalahi syariah. Islam tegas mengharamkan miras. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung (TQS al-Maidah [5]: 90).

Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman (cairan) yang memabukkan adalah khamr dan khamr itu haram baik sedikit maupun banyak:

«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»
Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram (HR Muslim).

«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»
Apa saja (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram (HR Ahmad dan Ashhâb as-Sunan).

Harus Dibabat Habis

Karena itu khamr harus dibabat habis dari masyarakat. Hal itu bisa dipahami dari laknat Rasulullah saw. terhadap 10 pihak terkait khamar:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمشْتَرِي لَهَا، وَالمشْتَرَاةُ لَهُ»
Rasulullah saw. telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Hadis ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak itu telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah. Peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. menuturkan:

«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَضْرِبُ فِي الخَمْرِ باِلجَرِيْدِ وَالنَّعَالِ أَرْبَعِيْنَ»
Nabi Muhammad saw. pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Ali bin Abi Thalib ra. juga menuturkan:

«جَلَّدَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ، وَأبُو بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وعُمَرُ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وهَذَا أحَبُّ إِليَّ»
Rasulullah saw. pernah mencambuk (peminum khamar) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai (HR Muslim).

Adapun pihak selain peminum khamr dikenai sanksi ta’zîr, yakni hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera. Produsen dan pengedar khamr selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminumnya karena keberadaan mereka lebih besar dan lebih luas bahayanya bagi masyarakat.

Dengan syariah seperti itu, masyarakat akan bisa diselamatkan dari ancaman yang timbul akibat khamr atau miras. Semua itu hanya akan terwujud jika syariah diterapkan secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di dalam sistem Khilafah Rasyidah, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi saw., serta dipraktikkan oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim setelah mereka. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Rasul saw. bersabda:

«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Khamr itu adalah induk segala keburukan. Siapa saja yang meminum khamar, Allah tidak menerima shalatnya selama 40 hari. Jika peminum khamr mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliah (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Qudha’i).

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *