[Buletin Kaffah] Konsekuensi Tauhid: Taat Syariah

[Buletin Kaffah No. 057-11 Muharram 1440 H-21 September 2018 M]

Tauhid (tawhid) dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari fiil (kata kerja) wahhada-yuwahhidu-tawhid[an]. Artinya, mengesakan sesuatu. Dengan demikian tawhidulLah bermakna mengesakan Allah SWT. Tidak mengakui keberadaan tuhan selain Allah SWT. Hanya menyembah Allah Yang Mahaesa.

Tauhid adalah inti semua risalah yang dibawa oleh para nabi dan para rasul ke alam dunia. TawhidulLah adalah inti agama yang mereka bawa. Allah SWT  berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami mewahyukan kepada dia bahwa tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku. Karena itu sembahlah Aku oleh kalian  (TQS al-Anbiya [21]: 25).

Allah SWT juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah oleh kalian Allah saja dan jauhilah thaghut-thaghut itu (TQS an-Nahl [16]: 36).

Konsekuensi Tauhid

Islam adalah agama yang dibangun di atas tauhid. Kalimat dakwah pertama yang disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi saw. adalah ajakan mengesakan Allah SWT dan mengakui dirinya sebagai utusan Allah SWT.

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Jika mereka melakukan semua itu, berarti mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam. Adapun perhitungan atas dosa mereka diserahkan kepada Allah SWT (HR Muttafaq alaih).

Mentauhidkan Allah bukan semata mengakui Dia sebagai Maha Pencipta, tetapi mengesakan Allah SWT dalam ketuhanan-Nya. Hanya Allah SWT yang wajib disembah. Bukan yang lain. Kaum musyrik dulu pun mengakui keberadaan Allah. Mengakui Allah sebagai  Pencipta, namun mereka juga menyembah berhala dan mahluk lain.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Karena itu terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian seru selain Allah jika Allah hendak mendatangkan kemadaratan kepadaku, apakah berhala-berhala kalian itu dapat menghilangkan kemadaratan itu, atau jika Allah hendak memberikan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada Dialah bertawakal orang-orang yang berserah diri (TQS az-Zumar [39]: 38).

Islam datang untuk membongkar kebatilan akidah umat manusia sepanjang masa. Apakah kaum Ahlul Kitab yang meyakini Isa al-Masih sebagai bagian dari tuhan, atau kaum Yahudi yang mempercayai Uzair sebagai anak tuhan, atau kaum paganis yang mempersekutukan Allah SWT dengan berbagai mahluk-Nya. Islam mengajak mereka untuk beribadah dan taat hanya kepada Allah SWT.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, tidak mempersekutukan Dia dengan apapun dan sebagian kita tidak pula menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (TQS Ali Imran [3]: 64).

Berkat kalimat tauhid, umat manusia dibebaskan oleh Islam dari penyembahan kepada sesama mahluk. Mereka hanya tunduk dan taat pada Allah SWT. Tidak ada yang dimintai bantuan dan pertolongan melainkan Allah Azza wa Jalla. Tak ada yang diharapkan ridhanya selain ridha Allah SWT. Tak ada yang ditakuti selain kemurkaan-Nya.

Membuahkan Perjuangan dan Pengorbanan

Ajaran tauhid yang telah merasuk dalam diri seorang manusia akan membuat dirinya bergerak untuk melakukan perubahan melawan kesyirikan dan kezaliman. Dengan modal kalimat tauhid, Nabi Ibrahim as. berani menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya, berhadapan dengan Raja Namrudz yang zalim, bahkan merelakan dirinya dibakar hidup-hidup.

Dengan dorongan kalimat tauhid Nabi Musa as. bersama Nabi Harun as. berani menghadapi Firaun bersama tukang sihir dan pasukannya. Mereka dikejar-kejar oleh pasukan Firaun sampai akhirnya Allah SWT menenggelamkan Firaun yang sombong bersama pasukannya ke dasar Laut Merah.

Demi kalimat tauhid para sahabat dan orang-orang shalih rela mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT. Mushab bin Umair ra. meninggalkan kemewahan hidupnya dan kasih sayang kedua orangtuanya demi memilih berada di barisan pendukung kalimat tauhid. Ia rela hidup sederhana bahkan nyaris kekurangan ketimbang kembali dalam kemewahan tetapi menggadaikan akidahnya.

Karena kalimat tauhid Bilal bin Rabbah ra. sanggup menahan panasnya padang pasir yang membakar punggungnya dan beratnya batu yang ditimpakan di atas dadanya saat ia disiksa oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf. Bibirnya malah terus mengumandangkan kalimat tauhid, “Ahad…ahad!”

Berkat kalimat tauhid pula pasangan suami-istri yang dhuafa, Yasir dan Sumayyah binti Khayyat ra., berani menantang kekejaman Abu Jahal dan para begundalnya saat keduanya mengalami penyiksaan hebat. Saat itu Rasulullah saw. dan kaum Muslim tak dapat menolong mereka. Nabi saw. hanya bisa menyampaikan kabar bawha Allah SWT telah menyiapkan surga sebagai balasan atas keteguhan keimanan mereka di jalan tauhid.

اصْبِرُوا آلَ يَاسِرٍ مَوْعِدُكُمُ الْجَنَّةُ

Bersabarlah keluarga Yasir, tempat kalian yang telah Allah janjikan adalah surga (HR al-Baihaqi).

Mendapatkan kabar menggembirakan demikian, Sumayyah binti Khayyat, bersukacita dengan mengatakan, “Sungguh aku telah melihat surge itu dengan jelas, wahai Rasulullah!”

Sumayyah pun bertahan dalam kalimat tauhid sampai Abu Jahal menikam dirinya dengan tombak hingga syahid. Suaminya, Yassir, juga syahid demi mempertahankan kalimat tauhid.

Pemahaman tauhid yang benar akan membuat orang yang lemah menjadi kuat, bangsa jahiliah menjadi penguasa dunia. Manusia yang berbeda suku bangsa, warna kulit dan bahasa justru bisa disatukan dengan ikatan tauhid. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudara kalian itu dan takutlah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat (TQS al-Hujurat [49]: 10).

Melahirkan Ketaatan Mutlak

Tauhid sejatinya melahirkan ketaatan mutlak hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan hanya kepada Allah SWT tentu menafikan pihak lain untuk ditaati. Tauhid pun meniscayakan bahwa pembuat hukum yang wajib ditaati hanyalah Allah SWT. Dialah sebaik-baik pembuat aturan bagi manusia. Ketika seorang manusia tidak mau berhukum pada hukum Allah dan Rasul-Nya, tentu tauhidnya ternoda. Allah SWT berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan di dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa [4]: 65).

Selain itu Allah SWT juga mengecam orang yang mengada-adakan hukum dengan menyatakan halal-haram untuk membatalkan hukum Allah-Nya.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Janganlah kalian mengatakan apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sungguh orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (TQS an-Nahl [16]: 116).

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi dalam Syarh Aqidah Thahawiyah (2/267) mengatakan, “Sungguh jika seseorang meyakini bahwa hukum yang Allah turunkan tidak wajib, bahwa boleh dipilih, atau ia merendahkannya, padahal ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekufuran yang besar.”

Ketaatan pada hukum Allah SWT adalah refleksi tauhid seorang Muslim. Ia tidak akan menjadikan syariah Islam sebagai perkara yang boleh dipilih sesuka hati. Ia memahami bahwa memilih hanya syariah Islam adalah kewajiban. Ia pun akan menjauhkan diri dari sikap sombong dan meremehkan hukum-hukum Allah. Tak mungkin ia membanggakan sistem demokrasi dan kapitalisme yang notabene lahir dari hawa nafsu manusia. Jika ia mengklaim bertauhid, maka tak ada hukum atau aturan yang wajib ia laksanakan selain aturan-aturan Allah SWT atau syariah Islam. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

Sungguh orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (TQS sl-Araf [7]: 40).

Share artikel ini: