[Buletin Kaffah No. 36, 26 Rajab 1439 H — 13 April 2018 M]
Peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad saw. sangat sarat dengan makna, mengandung banyak sekali hikmah dan memberikan banyak hukum. Di antaranya, dalam Isra Mikraj itulah disyariatkan kewajiban shalat lima waktu.
Shalat: Amal yang Utama
Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menjelaskan, “Pada malam Isra Mikraj (sekira) satu setengah tahun sebelum hijrah, Allah SWT memfardhukan kepada Rasul-Nya saw. shalat lima waktu. Setelah itu Allah SWT merinci syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta apa saja yang berkaitan dengan shalat, secara berangsur-angsur…” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, 7/164).
Rasulullah saw. menceritakan secara detil peristiwa Isra Mikraj dalam hadis yang panjang. Anas bin Malik dan Ibnu Hazm menuturkan bahwa Rasul saw. telah bersabda: “…Allah memfardhukan atas umatku 50 shalat. Aku kembali dengan perintah itu sampai aku melewati Nabi Musa. Lalu ia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Aku jawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.” Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya. Aku pun kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan separuhnya.” Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya lagi. Aku pun kembali kepada Musa. Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa. Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu.” Namun, aku berkata, “Aku sudah malu kepada Rabb-ku.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rincian tersebut juga diriwayatkan oleh Anas bi Malik dari Malik bin Shashaah (Lihat: Al-Bukhari no. 3887, an-Nasai no. 447, Ahmad no. 17987, 17989 dan lainnya).
Allah SWT memposisikan kewajiban shalat lima waktu secara khusus. Allah SWT menurunkan kewajiban itu pada malam saat mikraj Nabi saw. Allah SWT pun menempatkan shalat sebagai amal yang dihisab paling awal. Jika shalat fardhu seseorang ada kekurangan maka akan dilengkapi dengan pahala shalat sunnahnya hingga sempurna. Amal-amal lainnya dihisab menurut kaidah ini. Hal itu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., seperti yang diriwayatkan oleh Ashhâb as-Sunan.
Bahkan, sebagaimana penuturan Anas bin Malik, Rasul saw. menjelaskan:
«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ»
Yang pertama dihisab dari hamba Allah pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya (HR ath-Thabarani).
Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar
Baik-buruknya shalat seseorang bisa mempengaruhi baik-buruknya amal-amal lainnya. Pasalnya, di antara hikmah pelaksanaan shalat lima waktu adalah mencegah pelakunya dari perbuatan al-fahsyâ` dan al-munkar. Al-Fahsyâ` adalah sesuatu yang sangat dicela oleh syariat. Al-Munkar adalah apa yang tidak dimakrufkan oleh syariah, artinya sesuatu itu diingkari oleh syariah. Bisa juga dimaknai, al-fahsyâ` adalah dosa-dosa besar, sedangkan al-munkar adalah segala bentuk kemungkaran, yakni segala bentuk kemaksiatan secara umum.
Allah SWT berfirman:
﴿…وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ﴾
…Dirikanlah shalat. Sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Sungguh mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan (TQS al-Ankabut [29]: 45).
Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadîr menjelaskan, “Maknanya, tegakkanlah shalat dan terus tunaikan shalat itu seperti yang diperintahkan… Lalu dinyatakan: Sungguh shalat itu mencegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar. Ini merupakan alasan untuk perintah sebelumnya. Al-Fahsyâ` adalah amal yang dicela. Al-Munkar adalah apa yang tidak dimakrufkan dalam syariah, yakni perkara yang dilarang oleh syariah berupa kemaksiatan kepada Allah. Dalam hal ini, shalat menjauhkan semua itu. Mencegah perbuatan keji dan mungkar bermakna bahwa pelaksanaan shalat itulah yang menjadi sebabnya. Yang dimaksud di sini adalah shalat-shalat fardhu.”
Imam al-Baihaqi mengatakan, “Shalat mencegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar. Tercegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar itu merupakan bagian dari takwa. Hal ini karena siapa saja yang Allah jadikan shalat itu dia cintai, Allah beri dia taufik serta Allah tundukkan anggota-anggota tubuhnya dan lahiriahnya, maka dia akan tercegah dari kekejian dan kemungkaran.” (Al-Baihaqi, Syuab al-Iman, 3/287).
Imam al-Badhawi di dalam Anwâr at-Tanîl wa Asrâru at-Ta`wîl menjelaskan, shalat itu menjadi sebab bagi pelakunya untuk berhenti (tercegah) dari kemaksiatan manakala ia menyibukkan diri dengan shalat. Hal ini karena shalat mengingatkan pelakunya kepada Allah dan mewariskan pada jiwanya rasa takut dari (azab)-Nya.
Dengan demikian shalat itu harus bisa menyuruh kemakrufan kepada pelakunya dan mencegah dia dari kemungkaran. Dalam hal ini Ibnu Abbas dan Ibnu Masud ra. mengingatkan:
مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ صَلاتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَهُ عَنِ الْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلا بُعْدًا
Siapa yang shalatnya tidak menyuruh kemakrufan kepada pelakunya dan tidak mencegah dia dari kemungkaran maka tidak menambah bagi dirinya kecuali semakin jauh dari Allah (HR Ibnu Jarir dalam Tafsîr-nya, ath-Thabarani dalam Mujam al-Kabîr, al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman).
Dengan demikian shalat yang ditunaikan dengan baik sesuai dengan ketentuan syariah akan membuat Muslim yang menunaikannya menjadi sosok yang menaati syariah-Nya. Dia akan bersegera melaksanakan apa yang Allah perintahkan serta menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Dia akan gemar memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dia pun akan membenci kemungkaran. Bahkan dia senantiasa berusaha menghilangkan dan mengubah kemungkaran itu sesuai dengan kemampuannya.
Sebaliknya, jika seseorang shalat secara lahiriah, tetapi justru dia suka bermaksiat, tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, malah melakukan amar mungkar nahi makruf (menyerukan kemungkaran dan melarang kemakrufan), berarti dia memiliki karakter orang-orang munafik.
Kemakrufan dan Kemungkaran Terbesar
Bentuk-bentuk kemakrufan tentu sangat banyak dan berbeda-beda tingkatannya. Di antara kemakrufan yang paling agung setelah keimanan adalah kewajiban penerapan syariah secara kâffah. Pasalnya, penerapan syariah secara kâffah menjadi kunci bagi perwujudan berbagai kewajiban syari dan ragam kemakrufan lainnya.
Bentuk kemungkaran juga banyak dan berbeda tingkatannya. Di antara kemungkaran paling besar setelah syirik dan kekafiran adalah mengabaikan penerapan syariah secara kâffah apalagi menolaknya. Sebabnya, hilangnya penerapan syariah secara kâffah menjadi pintu bagi penyebaran berbagai kemungkaran dan kemaksiatan lainnya di masyarakat.
Penerapan syariah secara kâffah tidak akan terwujud kecuali dengan pengangkatan seorang imam atau khalifah, yakni dengan tegaknya Khilafah. Hilangnya Khilafah, dengan begitu, termasuk kemungkaran paling besar. Bahkan hilangnya Khilafah—yang mengakibatkan hilangya penerapan syariah secara kâffah—oleh para ulama disebut sebagai ummul jarâ`im (induk kejahatan) dan menjadi bencana terbesar yang menimpa umat Islam.
Yang menyedihkan, kemungkaran paling besar dan ummul jarâ`im itu benar-benar terjadi pada 28 Rajab 1342 H. Saat itu Mushthafa Kamal lanatulLah alayh memecat dan mengusir Khalifah. Dia lalu menghapus Khilafah Utsmani dan mendeklarasikan negara Turki sekular. Hal itu dia lakukan demi memenuhi perintah kaum kafir. Menteri Luar Negeri Inggris yang sekaligus merupakan koordiator delegasi Inggris, Italia dan Perancis, Lord Curzon, dalam Konferensi Lausanne 1922, menyatakan empat syarat bagi pengakuan atas kemerdekaan Turki yaitu: penghapusan total Khilafah, pengusiran Khalifah, perampasan hartanya dan deklarasi sekularisme negara.
Khatimah
Karena itu dalam momen memaknai Isra Mikraj sekaligus kewajiban shalat lima waktu yang diperintahkan pada malam Isra Mikraj itu, semestinya setiap Muslim bersegera melaksanakan ketaatan, merealisasi dan memerintahkan kemakrufan serta mencegah dan menghilangkan kemungkaran. Hendaklah setiap Muslim mengakhiri kemungkaran paling besar, yaitu hilangnya penerapan syariah secara kâffah serta tidak adanya khalifah dan Khilafah. Caranya adalah dengan berupaya secara sungguh-sungguh menyerukan penerapan syariah secara kâffah, pengangkatan seorang khalifah dan penegakan Khilafah yang termasuk kemakrufan dan kewajiban paling agung. Hendaknya seorang Muslim tidak melakukan hal sebaliknya: menolak penerapan syariah secara kâffah dan penegakan khilafah, apalagi menghalangi dan merintanginya. Pasalnya, tindakan demikian, selain bisa membuat dia dekat dengan karakter orang munafik, juga—seperti ungkapan Ibnu Abbas dan Ibnu Masud ra.—justru akan bisa menambah dirinya jauh dari Allah SWT.
WalLâh alam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208). []