[Buletin Kaffah_No. 053_12 Dzulhijjah 1439 H-24 Agustus 2018 M]
Dalam suasana Hari Tasyriq, hari-hari penyembelihan hewan kurban, sangat relevan untuk kita renungkan hikmah, ibrah dan pelajaran dari peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. Kisah keduanya Allah abadikan dalam bentuk syariat kurban. Peristiwa ini menunjukkan teladan akan pengorbanan, kesabaran dan ketundukan serta bersegera dalam menjalankan dan menerapkan perintah Allah SWT.
Nabi Ibrahim as. hingga usia senja (dalam sebagian riwayat hingga usia 80 tahun) belum dikaruniai anak yang akan menjadi penerus beliau. Beliau selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang sangat beliau harapkan dan idamkan. Allah SWT pun menjawab harapan Nabi Ibrahim as.
﴿رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (١٠١)﴾
Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang salih. Lalu Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101).
Kehadiran Nabi Ismail as., yang sudah diidamkan selama puluhan tahun, kemudian tumbuh menjadi seorang anak remaja yang menjadi tumpuan harapan masa depan; menjadi penerus generasi bagi Nabi Ibrahim as. Tentu bagi Nabi Ibrahim as., keberadaan Ismail as. sangat berarti dan berharga. Nilainya sulit untuk dideskripsikan. Namun, saat itu justru datang ujian dari Allah SWT dalam bentuk perintah kepada beliau untuk menyembelih Ismail as., putranya.
﴿فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣) وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧) ﴾
Tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis-(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Kami memanggil dia, “Hai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sungguh demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Lalu Kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102-107).
Peristiwa itu sungguh sarat dengan hikmah, ibrah, pelajaran dan teladan yang relevan untuk kita saat ini. Di antaranya, bersegera melaksanakan perintah Allah tanpa menunda-nunda. Untuk bisa melakukan itu, kita perlu mengorbankan “Ismail” kita. “Ismail” kita adalah apa saja yang kita cintai, yang demi dia, kita rela mengorbankan apa saja. “Ismail” kita adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan iman kita, yang dapat menghalangi diri kita menuju taat kepada Allah, yang dapat membuat diri kita tidak mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail” kita adalah setiap sesuatu menghalangi kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita; yang menyebabkan kita mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini, kita harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali itu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orangtua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga berupa ideologi dan pandangan hidup sekular seperti kapitalisme dan sosialisme atau komunisme, serta ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid. Bisa juga itu adalah akal kita, perasaan kita, kemaslahatan dan kepentingan kita atau berbagai kenyamanan yang kita nikmati.
Terkait perintah menyembelih Ismail as., Nabi Ibrahim as. tentu dihadapkan pada pilihan sulit itu. Saat itu setan memanfaatkan kesempatan. Setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim as., istrinya Hajar dan putranya Ismail as., agar mengabaikan perintah Allah itu. Namun, Nabi Ibrahim as. segera mengusir setan itu dengan keras.
Hal itu juga memberi teladan kepada kita untuk mengusir bisikan dan godaan setan dengan keras. Bisikan, ajakan, dorongan untuk menyalahi ketentuan Allah, mengabaikan perintah-Nya dan menelantarkan syariah-Nya—apapun bentuk bisikan dan ajakan itu; juga berasal dari siapapun, dari cendekiawan dan ulama sekalipun—semua itu hakikatnya merupakan bisikan dan ajakan setan. Yang demikian itu, seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT, merupakan sesuatu yang nyata dan jelas sehingga mudah untuk dikenali. Seperti yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim as, kita harus mengusir semua bisikan dan ajakan setan itu dengan keras.
Dalam semua itu mutlak diperlukan kesabaran. Di situlah Nabi Ismail as. memberikan teladan. Meski perintah Allah agar ayahandanya menyembelih dirinya secara manusiawi terasa sangat berat, Nabi Ismail as. tetap sabar menjalani perintah itu dan bahkan menguatkan ayahandanya untuk melaksanakannya. Kesabaran seperti itulah yang harus kita wujudkan untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya di tengah kehidupan kita saat ini.
Pelajaran dan teladan lainnya yang tak kalah penting adalah bagaimana akal pikiran dan perasaan ditundukkan pada cara pandang imani, cara pandang tauhid. Itu sesungguhnya merupakan kunci utama untuk bisa bersegera menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta menerapkan syariah-Nya di tengah kehidupan.
Nabi Ibrahim as. dan Ismail as. mengedepankan cara pandang keimanan, cara pandang tauhid ini. Keimanan bahwa Allah tidak akan mencelakakan hamba-Nya, bahwa di dalam perintah Allah itu pasti tersimpan kebaikan, bahwa Allah pasti menyelamatkan hamba-Nya, dan sebagainya. Ternyata benar, Allah SWT menyelamatkan keduanya dan memberikan kepada keduanya balasan yang baik.
Bayangkan, bagaimana seandainya pandangan akal pikiran dan perasaan serta hawa nafsu dikedepankan dalam menyikapi perintah Allah SWT ini. Boleh jadi perintah penyembelihan itu akan diabaikan dengan berbagai pembenaran. Boleh jadi akan dikedepankan pandangan bahwa perintah itu mendatangkan madarat (bahaya), padahal madarat harus dihindari; atau pandangan bahwa perintah itu tidak sesuai, tidak manusiawi, kejam atau bahkan barbar; atau bahkan pandangan bahwa perintah itu keliru; atau pandangan lainnya yang lantas menjadi pembenaran untuk mengabaikan perintah itu. Boleh jadi pula, perintah itu diabaikan dengan pembenaran pandangan bahwa perintah dan larangan Allah SWT, yakni syariah-Nya, itu mesti bersifat rahmatan lil alamin, bukan sebaliknya.
Bandingkan dengan apa yang berseliweran di atmosfer pemikiran umat saat ini. Betapa tak jarang penilaian, anggapan dan pandangan seperti itu dijadikan dalih sehingga syariah Allah tidak kunjung diterapkan. Bahkan ada tuduhan-tuduhan seperti: penerapan syariah akan menjadi ancaman, menyebabkan perpecahan, deskriminatif, menyebabkan kezaliman, tidak sesuai dengan peradaban modern dan dalih serta tuduhan lainnya.
Padahal Allah SWT dalam banyak ayat menegaskan bahwa Allah sekali-kali tidak menzalimi hamba-Nya (Lihat, misalnya: QS Fushshilat [41]: 46). Allah SWT bahkan menegaskan:
(وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِّلْعِبَاد(
Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya (TQS Ghafir [40]: 31).
Karena itu syariah Allah SWT mustahil akan mendatangkan kezaliman terhadap umat manusia. Allah SWT menegaskan bahwa syariah Islam justru akan menjadi rahmat untuk umat manusia. Sebaliknya, saat manusia berpaling dari syariah-Nya, itulah yang menjadi sebab munculnya berbagai kesempitan hidup yang dirasakan oleh umat manusia. Allah SWT berfirman:
﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴾
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…(TQS Thaha [20]: 124).
Makna, “berpaling dari peringatan-Ku” adalah menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, V/323).
Penghidupan yang sempit itu, selain di akhirat, juga di dunia. Di antaranya dalam bentuk kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya. Ini sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.
Karena itu agar kita terhindar dari segala kesempitan di dunia maupun di akhirat, hendaknya kita bersegera kembali kepada al-Quran; kembali menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah wujud ketakwaan paripurna. Ketakwaan paripurna tentu akan mendatangkan keluasan dan keberkahan hidup di dunia serta balasan surga di akhirat. WalLâh alam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ …(
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika dia menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).