Bulan Safar: Keteguhan Seorang Tawanan
Oleh HM Ali Moeslim
Bismillahirrahmanirrahim
Selama ini bulan Safar seringkali dikaitkan dengan mitos masa-masa kesialan, atau bahkan disebut juga sebagai bulan marabahaya.
Di balik penamaan bulan Safar ada alasan khusus, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H).
Penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini. Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ
“Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).
Umat Islam mengenal bulan Safar sebagai bulan kedua dalam kalender Hijriyah setelah Muharram. Selain karena pada bulan tersebut Nabi Muhammad SAW melakukan Hijrah untuk pertama kalinya.
Banyak peristiwa penting yang bisa memberikan pelajaran bagi seluruh umat Islam untuk mengamalkan banyak kebaikan untuk kemajuan dakwah Islam.
Rasulullah SAW bersabda,
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah .” (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah tersebut terjadi pada bulan Safar. Rasulullah berangkat dari Makkah pada Bulan Safar, dan sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awwal, memang pada bulan Muharram pertama kali tercetus rancangan hijrah.
Dalam buku Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dapat diambil pelajarannya bahwa dakwah dan akidah dapat melepaskan seseorang dari setiap yang dicintainya, dan sebaliknya, segala sesuatu tidak akan dapat melepaskan dakwah dan akidah dari manusia.
Menurut Syaikh Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, hijrah adalah meninggalkan negara menuju negara lain untuk menetap di sana. Jadi hijrah menurut syariah atau dalam pandangan Islam adalah keluar dari wilayah kafir (dâr al-kufr) menuju wilayah Islam (dâr al-Islâm)
Dikutip dari buku Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, sekembalinya Rasulullah SAW dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah, beliau tinggal di Madinah selama beberapa hari pada bulan Muharram, lalu sisa hari dari bulan Muharram ke Bulan Safar itulah Rasulullah SAW pergi menuju Khaibar.
Dengan pasukannya yang berjumlah 1.400 orang disertai 200 pasukan berkuda itu, Rasulullah SAW mampu menaklukan Khaibar yang meliputi benteng-benteng terkenal bernama Naim, Qumush, Syiq, dan Nithah. Perang tersebut terjadi pada tahun ketujuh hijriah di Bulan Safar.
Pada bulan Safar terjadi perang Bi’r Ma’unah (Peristiwa Sumur Maunah). Ringkasnya adalah bahwa Abu Barra’ Amir bin Malik yang disebut ‘Pemain Kepala Tombak’ mendatangi Nabi Muhammad SAW, dia diajak masuk Islam tapi dia tidak bersedia namun juga tidak menjauh.
Dia mengatakan, “Wahai Rasulullah , kirimlah sahabat-sahabatmu ke penduduk Najd mengajak ke agamamu. Saya harap mereka menerimanya.” Beliau mengatakan, “Saya khawatir keselamatan mereka dari penduduk Najd.” Abu Barra’ mengatakan, “Saya yang melindungi mereka.” Maka beliau mengutus 40 orang menurut pendapat Ibnu Ishaq dan dalam riwayat shahih mereka 70 orang.
Yang dijadikan pimpinan adalah Munzir bin Amr salah seorang dari Bani Saidah yang dijuluki ‘Orang yang cepat untuk mati’ mereka termasuk orang pilihan dari kalangan umat Islam yang terbaik, pemimpin dan ahli Al-Qur’an.
Mereka berjalan sampai tiba di Bi’ru Maunah yaitu tempat antara Bani Amir dan Desa Bani Salim. Mereka singgah di sana kemudian mengutus Haram bin Milhan saudara Ummu Sulaim membawa surat Rasulullah kepada musuh Allah Amir bin Tufail. Dia tak melihat lagi apa isi suratnya, tapi justru memerintahkan seseorang untuk menikamnya dengan tombak dari belakang. Ketika dia ditolong, saat melihat darah dia berkata: “Sungguh saya telah menang, dan Demi Tuhan Ka’bah.”
Kemudian musuh Allah mengajak Bani Amir untuk memerangi mereka dan membunuh sisanya. Akan tetapi mereka tidak menerimanya karena terikat perjanjian dengan Abu Bara. Kemudian dia mengajak Bani Salim, dan ternyata direspons oleh kabilah Ashiyah, Ra’il dan Zakwan.
Lalu mereka datang mengepung sahabat Rasulullah SAW dan memeranginya sampai dibunuh yang terakhir kecuali Ka’b bin Zaid bin Najjar karena beliau diangkat saat terluka di antara orang yang meninggal. Dan beliau masih hidup sampai terbunuh pada perang Khandaq.
Ketika bulan Safar sebelum peristiwa Bi’ru Maunah kaum Adhal dan Qorah datang. Mereka menyebutkan di dalam (kaum) mereka ada yang masuk Islam sehingga mereka meminta agar diutus bersama mereka orang yang mengajarkan agama dan membacakan Qur’an.
Sehingga diutuslah oleh Nabi Muhammad SAW bersama mereka sepuluh orang, yang diangkat jadi pemimpinnya adalah Martsad bin Abi Martsad Al-Gonawi. Di dalamnya juga ada Khubaib bin Ady. Mereka pergi bersamanya.
Ketika sampai di mata air Roji’, yaitu mata air kepunyaan Huzail ke arah Hijaz, Adhal dan Qorah berkhianat. Mereka minta tolong suku Huzail lalu mereka datang mengepungnya. Maka para sahabat hampir semuanya dibunuh, sedangkan Khubaib bin Ady dan Zaid bin Datsinah ditawan.
Keduanya dijual di Mekkah dan keduanya pernah membunuh pembesar (Mekkah) waktu perang Badar. (Zadul Ma’ad, 3/244)
Zaid bin Datsinah terbunuh karena penyiksaan, tinggallah sahabat Khubaib bin Adi menjelang dieksekusi oleh orang kafir Mekkah.
Ketenangan yang menakjubkan dan terang tidak pernah hilang dari wajahnya. Tombak-tombak mulai menembus tubuhnya dan pedang pedang pun menggores dagingnya.
Disebutkan dalam buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah, pada saat itu salah seorang pemimpin Quraisy mendekat dan berkata kepadanya, “Apakah engkau senang jika Muhammad menggantikanmu, sedangkan kamu sendiri selamat dan aman bersama keluargamu?
Khubaib menggelengkan kepalanya. Dengan lantang, ia berkata kepada para algojo.
“Demi Allah, aku tidak ingin hidup dalam kesenangan dan keselamatan dunia bersama istri dan anakku, sedangkan Rasulullah mendapat bencana walau hanya tertusuk duri sekalipun.”
Sesuatu yang membuat Abu Sufyan, yang ketika itu belum masuk Islam, sangat keheranan dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat seseorang mencintai orang lain sebagaimana para sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa:
[المرأ مع من أحب]”
(seseorang itu akan bersama siapa yang ia cintai)
Barokallahuli walakum[]