Bukan Rivalitas, Persaingan AS-Cina di Asia-Pasifik Sekadar Persinggungan Kepentingan

 Bukan Rivalitas, Persaingan AS-Cina di Asia-Pasifik Sekadar Persinggungan Kepentingan

Mediaumat.id – Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana melihat, persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina di kawasan Asia-Pasifik akhir-akhir ini, hanyalah ketegangan akibat persinggungan kepentingan, bukan rivalitas seperti AS dengan Uni Soviet saat Perang Dingin.

“Sekadar persinggungan kepentingan case by case. Bukan dalam konteks rivalitas seperti apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Uni Soviet pada saat Perang Dingin,” ujarnya dalam Kabar Petang: AS-Cina, Persaingan Strategis di Asia-Pasifik, Kamis (9/12/2021) di kanal YouTube Khilafah News.

Ia menerangkan, AS adalah negara yang sudah establish ratusan tahun sejak kemerdekaannya tahun 1776. Sehingga tak heran apabila negara yang kini disebut adidaya itu sudah memiliki pola atau pattern dari kenegaraan yang mapan sebagai sebuah negara.

Sehingga, tak heran pula bahwa sangat kecil kebergantungannya kepada perubahan di tingkat elite sekalipun. Semisal pergantian presiden. “Itu sangat tidak signifikan pada perubahan kepemimpinan itu mengubah pattern kenegaraan dari Amerika Serikat,” terangnya.

Sekalipun pemerintahan Donald Trump meninggalkan berbagai kekacauan dan kebijakan, namun tidak menggoyahkan posisi AS sebagai negara adidaya di level global.

Sebut saja, ketika Trump menjadikan AS meninggalkan sekutunya dalam kesepakatan di bidang iklim dan dalam konteks nuklir. Atau dalam penyelesaian isu Suriah, Trump juga meninggalkan sekutunya di sana sehingga banyak yang kecewa.

Bahkan di dalam negeri, lanjut Budi, Trump juga sangat kental dengan slogan American first yang dianggap sebagai white supremacy. Sehingga memunculkan diskriminasi terhadap warga non kulit putih.

Belum lagi soal pandemi Covid-19, yang menurut Budi, di samping Trump sendiri juga kena, pandemi telah mengakibatkan lebih dari 700.000 jiwa penduduk AS meninggal dunia.

Namun, secara garis besar AS dengan sekutunya yang mungkin merasa kecewa, masih dalam satu arah yang sama. “Masih on the track,” timpalnya.

Hal itu bisa dilihat dari peran Trump yang menjadikan dunia Islam dekat dengan AS bahkan Israel. Berikut upaya normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab yang nyatanya diacungi jempol oleh para sekutu AS di Eropa.

Meski AS lebih konsentrasi menguatkan Atlantik dengan NATO dan Eropanya pasca Perang Dingin, dan kemudian bergeser ke Timur Tengah ketika di sana ditemukan sumber daya minyak yang luar biasa besar, Budi mengatakan bahwa sekarang Amerika bergeser ke Pasifik ketika ada persinggungan kepentingan dengan Cina.

Padahal seperti diketahui, justru Pasifik menjadi titik lemah AS ketika dulu pernah diserang Jepang pada Perang Dunia II. Maka itu, AS mengunci Pasifik melalui tangan sekutu-sekutunya yang didukung dengan kuat.

“Jepang itu dulu lawan Amerika pada saat Perang Dunia Kedua. Tetapi sekarang menjadi sekutu kuat Amerika di Pasifik. Kemudian Korea Selatan itu juga sekutu kuat. Dulu ada Filipina, kemudian juga ada Thailand, ada Singapura, kemudian juga di selatan ada Selandia Baru dan Australia,” bebernya

Bahkan belakangan, terang Budi, pada 15 September 2021, tiga negara membentuk pakta keamanan trilateral atau perjanjian internasional keamanan tiga pihak bernama AUKUS, akronim dari Australia, United Kingdom (Inggris), dan United States (Amerika Serikat) tentang kesepakatan soal kapal selam nuklir.

Di sisi lain, Amerika sudah teruji sebagai negara adidaya pasca Perang Dunia II yang ia sebut maraton pada saat Perang Dingin dengan Uni Soviet berikut strateginya yang luar biasa.

“Saya muji-muji Amerika bukan berarti saya pro Amerika. Tapi kita bisa melihat kelihaian Amerika itu. Proses strateginya bisa dipelajari untuk mengimbangi kekuatan global Uni Soviet sehingga bisa melemahkan tanpa melakukan sebuah peperangan,” tuturnya.

“Tidak seperti pada masa Perang Dunia I atau II, dunia dibuat khawatir dengan meletusnya perang dunia ketiga. Tetapi itu tidak terjadi,” imbuhnya.

Cina Sekutu AS

Budi mengatakan, sebenarnya hubungan AS dengan Cina adalah sekutu. Bahkan ketika Perang Dunia II, Cina bersekutu dengan AS untuk menghadapi Jepang.

Di saat bersamaan, walaupun Cina dengan ideologi komunisnya, tetapi AS melihat berbeda secara tipikal dengan Uni Soviet yang pernah menjadi rivalnya di level global. “Justru keberadaan Cina itu dijadikan oleh Amerika untuk melemahkan posisi Uni Soviet sebagai rival Amerika pada masa Perang Dingin,” ungkapnya.

Malah, ia menilai, ketika akhirnya Uni Soviet runtuh dan kemudian Cina sendiri mengalami kenaikan dalam konteks ekonomi di dua dekade terakhir, sebenarnya kepentingan AS dengan Cina masih sejalan.

“Amerika punya kepentingan untuk mendapatkan semacam buruh murah di Cina. Sehingga banyak industri yang dikembangkan di Cina itu justru adalah industri yang men-support dari kepentingan kapitalisme global Amerika,” tuturnya.

Dengan demikian, jelas Budi sekali lagi, rivalitas AS dengan Cina hanya dalam kepentingan tertentu di kawasan Asia-Pasifik. Kasus Laut Cina Selatan (LCS) atau pembangunan infrastruktur di Indonesia hanyalah menjadi salah satu contohnya.

“Orang awam meliihat mereka itu bertarung seperti dulu, antara AS dengan Uni Soviet. (Padahal) saya melihatnya tidak sampai seperti itu,” ujarnya.

Cina, yang meski memiliki kapabilitas besar dengan jumlah penduduk terbanyak, luas wilayah terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada, kemudian kemajuan ekonomi yang signifikan selama dua dekade terakhir, namun dari segi kiprah ideologis (komunisme) di luar negeri, belum ada pengalaman. “Cina itu, dia tidak punya pengalaman politik yang memadai di level global,” ucapnya.

Maka, selama masih di dalam koridor yang menurut AS wajar, apa pun yang dilakukan Cina akan didiamkan. Atau dengan kata lain, AS tak akan tinggal diam terhadap tindak tanduk Cina.

Sehingga, ia mengatakan bahwa dalam konteks kapitalisme global, Cina memang belum menjadi ancaman ideologis bagi kapitalisme global yang dipimpin oleh Amerika saat ini.

Maka itu, secara Asia-Pasifik, Budi juga membenarkan sebagaimana laporan Indeks Kekuatan Asia dari Lowy Institute yang mengukur kemampuan ekonomi dan militer, hubungan ekonomi dan jaringan pertahanan, serta pengaruh di bidang kebudayaan, memunculkan nama Negara AS dan Cina sebagai superpower.

Umat Islam

Sedangkan sebagai negeri Muslim, termasuk Indonesia, agar tidak menjadi pembebek atau pelayan dari kepentingan-kepentingan negara adidaya, kata Budi, umat Islam butuh kehadiran negara superpower yang senantiasa membawa kepentingan Islam serta nilai-nilai agung yang selain diterapkan juga disebarkan sebagai rahmatan lil ‘alamin.

“Islam harus dibawa dengan institusi sendiri yang dulu disebut sebagai Khilafah Islam yang pada masa itu, setidaknya terakhir, Kekhilafahan Turki Utsmani, kepentingan Islam itu dibawa, diperjuangkan dan dihadap-hadapkan dengan Barat pada saat itu,” bebernya.

Sehingga, selama dunia Islam belum menjadikan prinsip ideologis dari Islam dalam bernegaranya, maka peran yang bisa diambil hanya mengikuti bayang-bayang ideologi yang sedang eksis saat ini yaitu kapitalisme global.

Persoalan Palestina yang sampai sekarang seolah-olah tidak ada solusi, menurut Budi bisa menjadi contoh. Karena memang tidak ada yang membawa kepentingan berdasarkan prinsip Islam untuk penyelesaiannya. “Tidak ada satu pun yang bisa kita harapkan untuk menjadi pembela,” pungkasnya.[] Zainul Krian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *