Bukan Khilafah, Tapi Fiqih Peradaban yang Bertentangan dengan Maqashid Syariah
Mediaumat.id – Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyatakan yang bertentangan dengan maqashid syariah itu bukan khilafah sebagaimana yang dituduhkan kelompok tertentu, tetapi fiqih peradaban yang menjadikan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai rujukan perdamaian dunia sebagaimana yang diusung kelompok tersebutlah yang bertentangan dengan maqashid syariah.
“Justru yang bertentangan dengan maqashid syariah itu bukan khilafah, yang merupakan kewajiban syariah, tetapi justru fiqih peradaban itu sendiri yang menjadikan Piagam PBB sebagai rujukan perdamaian dunia,” ujarnya dalam Forum Tokoh Umat Daerah Istimewa Yogyakarta: Fiqih Peradaban Bertentangan dengan Maqashid Syariah di kanal YouTube ALMIQYAS Indonesia, Senin (20/3/2023).
Walhasil, yang wajib ditolak kaum Musilm, menurut Kiai Shiddiq adalah fiqih peradaban.
“Fiqih peradaban secara syariah wajib ditolak, karena justru fiqih peradaban itu yang bertentangan dengan maqashid syariah, yaitu: bertentangan dengan prinsip menjaga agama (hifzhud din), prinsip menjaga akal (hifzhul ‘aql), prinsip menjaga nyawa (hifzhun nafs), prinsip menjaga harta (hifzhul mal), dan prinsip menjaga keturunan/keluarga (hifzhun nasl),” tegasnya.
Dalam forum tersebut, Kiai Shiddiq pun merincikan kelima poin dimaksud.
Pertama, bertentangan dengan hifzhud din. Cikal bakal PBB adalah aliansi negara-negara Kristen Eropa untuk menghadapi futuhat yang dilakukan oleh Khilafah Utsmaniyyah pada akhir abad ke 15 dan awal abad 16 Masehi. Pada tahun 1856, Khilafah Turki usmani bergabung dengan aliansi tersebut dengan syarat tidak melaksanakan jihad.
“Jika kita mendukung PBB, berarti bertentangan dengan prinsip hifzhud din. Karena, akan ada sebagian hukum Islam, khususnya syariat yang terkait hubungan internasional (yaitu jihad), tidak bisa diamalkan oleh negara yang bergabung dengan PBB. Ini bertentangan dengan prinsip menjaga agama, karena menjaga agama itu berarti tidak boleh ada syariat yang ditanggalkan atau dikorbankan demi mencapai sesuatu,” tegasnya.
Kedua, bertentangan dengan hifzhul ‘aql. Fiqih peradaban bertentangan dengan prinsip hifzhul ‘aql karena telah memaksakan sesuatu yang mustahil secara akal, yaitu menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam. Karena, hukum Islam itu harus bersumber dari wahyu (Maa anzalallah yaitu Al-Qur’an dan Sunnah), maupun derivasinya (Ijma Shahabat dan Qiyas Syar’iyyah).
“Mempercayai sesuatu yang mustahil itu berarti merusak akal kita,” tegasnya.
Ketiga, bertentangan dengan hifzhun nafs. Fiqih peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga nyawa, karena PBB terbukti gagal mencegah jatuhnya korban nyawa yang sangat banyak dalam berbagai konflik dan perang di berbagai kawasan dunia, baik di Asia, di Afrika, maupun di Eropa sendiri.
“Kemana perginya PBB dan Piagam PBB yang mau kalian jadikan sumber fiqih peradaban itu, ketika korban Muslim yang tewas akibat invasi Amerika Serikat dan koalisinya di Irak dalam kurun 19 Maret 2003-Pertengahan 2011 mencapai 461.000 jiwa?” tanyanya.
Keempat, bertentangan dengan hifzhul maal. Fiqih peradaban bertentangan dengan prinsip hifzhul maal, karena justru di bawah PBB banyak harta umat manusia yang lenyap atau berkurang.
Ia pun mencontohkan, lepasnya Timor Timur tahun 1999, tak bisa dilepaskan dari referendum yang diorganisir oleh UNAMET (United Nations Assistance Mission for East Timor), sebuah lembaga yang dibentuk oleh PBB.
“Seperti kita tahu, akhirnya Timor Timur lepas dari Indonesia. Kita akhirnya kehilangan salah satu harta atau aset kita, yang berbentuk wilayah teritori propinsi Timor Timur. Jadi, justru PBB itulah yang menyebabkan kita kehilangan harta atau aset kita, lalu bagaimana mungkin PBB mau dijadikan rujukan dan dipercaya untuk menjaga harta?” tanyanya.
Kelima, bertentangan dengan hifzhun nasb. Fiqih peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga keturunan/keluarga, karena PBB yang dijadikan rujukan saat ini justru telah memberikan proteksi dan dukungan kepada BGTL (biseksual, gay, transeksual, dan lesbian), sesuatu yang akan mengacaukan nasab keturunan umat Islam.[] DRW
.