Bukan Islam, Prof. Suteki: “Musuh Bersama Kita adalah Komunisme”
Mediaumat.id – Terkait temuan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) dan pengakuan Jokowi atas Tragedi 1965, Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkapkan, musuh bersama kita adalah komunisme.
“Musuh bersama kita adalah komunisme dengan segala pengejawantahannya. Bukan Islam dengan segala ajarannya, termasuk fiqih siyasah perihal kekhalifahan,” ulasnya dalam Islamic Lawyer Forum (ILF) Jawa Timur: PKI Dimaafkan? di kanal YouTube LBH Pelita Umat Jawa Timur, Sabtu (14/1/2023).
Sehingga imbuhnya, umat ini seharusnya memahami bagaimana menempatkan fiqih untuk diyakini, dipelajari, didakwahkan. Yang penting tidak pernah ada pemaksaan, kekerasan, apalagi makar.
Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini mencermati bahwa menghidupkan kembali komunisme di Indonesia itu sesuatu yang sangat mungkin. “Baik dengan kembali mengaktifkan organisasinya atau menunggangi kendaraan organisasi masyarakat (ormas) dan organisasi politik (orpol) yang ada,” tunjuknya.
Ia mengingatkan, Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 dan UU No. 27 Tahun 1999 masih berlaku, maka di negeri ini tetap tidak ada tempat untuk persemaian komunisme dan bangkitnya organisasi PKI.
Jika mau jujur, menurutnya, penyelesaian kasus penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956.
“Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus penumpasan PKI ‘65,” ujarnya.
Ia memandang, rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan,” bebernya.
Ia menyatakan, sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini.
“Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi?” tanyanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Ia mengutip pernyataan Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel, bahwa suatu bangsa tidak akan bisa bangkit kembali ketika tidak peduli dengan sejarahnya, tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail, serta tidak memiliki literasi tinggi (malas baca).
“Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya, dan membiarkan sejarah pilu terus berulang,” pungkasnya.[] Puspita Satyawati