Mediaumat.info – Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menegaskan, yang dituntut dalam Islam bukan hanya kesadaran dan ketaatan kepada Allah SWT secara individu tetapi ketaatan atau ketakwaan yang totalitas.
“Bukan saat kita shalat saja, bukan saat kita di masjid saja, bukan saat kita puasa di bulan Ramadhan ini saja, tapi ketaatan yang totalitas,” ujarnya dalam Tausiah Hari Ke-5: Ketakwaan Totalitas, Rabu (5/3/2025) di kanal YouTube One Ummah TV.
Dengan kata lain, wujud aplikasi ketakwaan umat Islam bukan hanya ketika beribadah mahdhah yang hanya berhubungan dengan Allah SWT, seperti shalat, zakat, puasa, haji, wudhu, tayammum, mandi hadas, umrah, adzan, maupun iqamah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketakwaan totalitas sendiri adalah ketaatan kepada batasan-batasan yang telah Allah SWT tentukan dalam seluruh aspek kehidupan. “Itu adalah ketaatan kita kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan,” sambung Farid menjelaskan.
Dengan kata lain pula, dalam hal perekonomian hingga penyelenggaraan negara pun harusnya bersandarkan pada aturan-aturan Allah SWT.
Menurutnya, tak hanya kewajiban puasa sebagaimana termaktub di dalam QS Al-Baqarah: 183, di ayat 216, Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk berperang di jalan-Nya. Begitu juga di ayat 178, masih di surat yang sama, diwajibkan atas orang-orang beriman qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.
“Ini sama-sama wajib,” ungkap Farid, seraya menekankan bahwa hanya pihak yang memiliki otoritas dalam hal ini negara yang boleh menerapkan hukum tersebut.
Bahkan seputar perekonomian, negara berkewajiban memastikan distribusi harta kekayaan tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
“…Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya,” demikian penggalan QS al-Hasyr, ayat 7.
Tentang kondisi ini, Farid mengambil contoh kondisi pendistribusian kekayaan di negeri ini yang secara kasatmata sangat jelas hanya beredar pada segelintir orang kaya. Sementara di sekitar mereka masih terdapat puluhan juta rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.
Celakanya, hal ini justru terjadi di tengah potensi sumber daya alam (SDA) negeri ini yang meliputi tanah, air, hutan, laut, dan tambang sangat melimpah.
“Ini akibat apa? Akibat tidak diatur pendistribusiannya berdasarkan aturan-aturan Allah SWT,” sebut Farid, kembali menyinggung sistem ekonomi Islam yang notabene sarat dengan keadilan saat ini malah dipandang sebelah mata oleh negara.
Meski di dalam QS an-Nisa’ ayat ke-59 Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk taat kepada ulil amri dalam hal pemerintah, namun sebagian besar para ulama menyatakan bahwa yang harus ditaati adalah pemerintah atau kepala negara yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan Allah SWT, di kelanjutan ayat tersebut, mengingatkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila di kemudian hari terjadi perselisihan tentang suatu perkara.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” demikian bunyi QS an-Nisa’: 59.
Makanya, pungkas Farid, tidak bisa tidak, ketaatan dan ketakwaan seperti inilah yang harus diwujudkan umat, yaitu ketakwaan yang sifatnya totalitas yang akan membawa perubahan mendasar di tengah-tengah umat.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat