Mediaumat.id – Bukan digali dari budaya bangsa, Filolog Salman Iskandar mengatakan Pancasila justru merupakan ide transnasional. “Pancasila itu justru merupakan ide transnasional,” ungkapnya dalam video berjudul Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Kamis (2/6/2022).
Menurutnya, klaim yang kemudian dibesar-besarkan bahwasannya Pancasila digali dari tanah budaya bangsa, apabila diperhatikan isi dari pidato politik Bung Karno 1945, maka akan mendapatkan penjelasan bahwa Bung Karno justru terinspirasi mengusulkan berkenaan dengan lima asas terpengaruh dengan hasil penelaah dialektika intelektual Bung Karno dengan khasanah pemikiran yang berasal dari para tokoh-tokoh yang ada di luar bangsa.
“Artinya ide-ide yang dirumuskan Bung Karno justru tidak digali dari khasanah budaya bangsa namun justru kemudian ini menjadi bukti bahwa ide yang dikemudian dipidatokan oleh Bung Karno merupakan ide transnasional. Kalau ada pernyataan klaim Pancasila merupakan digali khasanah budaya bangsa itu bertabrakan dengan isi pidato politik Bung Karno,” tegasnya.
Akar Pemikiran
Menurut Salman, Bung Karno terpengaruh dengan San Min Chu I dari Dr. Sun Yat Seng. Kemudian terpengaruhnya international cosmopolite ataupun humanism cosmopolite (dari) Adolf Baars. Selanjutnya terpengaruh pernyataan Mohandas Mahatma Gandhi bahkan terpengaruh dengan pemikiran Mustapa Kemal dari Turki.
Ia menyebutkan, dalam buku yang berjudul Lahirnya Pancasila yang diterbitkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia tahun 1960, dijelaskan dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di antaranya mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka harus berasaskan nationalism ataupun kebangsaan atau faham kebangsaan yang mewujud dalam bentuk nation state.
“Kedua Bung Karno demi untuk meredam berkenaan dengan kehawatiran bentuk dari nationalism itu mengarah ke bentuk ultranationalis atau fasism atau cauvinism maka kemudian Bung Karno mengusulkan asas yang kedua, dasar yang kedua mengacu ke bentuk yang mengarah ke humanism cosmopolite atau internationale,” sambungnya.
Menurutnya, Bung Karno dalam bukunya yang berjudul Sukarno an Autobiography as told to Cindy Adams yang diterjemahkan sangat patriotik Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mengakui Adolf Baars adalah tutornya ketika berkuliah di ITB. Adolf Baars adalah orang yang memperkenalkan ide-ide marxisme, komunisme, leninisme.
“Adolf Baars adalah anak didik atau kader terbaik bagi Henk Sneevliet, kemudian membawa ide-ide progresif revolusioner marxisme, sosialisme komunisme ke negeri kita kemudian yang mendidik kalangan muda di Sarekat Islam (SI) di wilayah Semarang seperti Semaun, Darsono, bahkan Datuk Ibrahim Tan Malaka untuk bergabung di dalam Indische Sociaal Democratische Vereenigin (ISDV) yang kemudian itu menjadi cikal bakal dari persyarikatan komunis di Hindia atau yang kita kenal Parta Komunis Indonesia,” paparnya.
Lanjut ia menjelaskan, dalam buku Pancasila, Bung Karno mengaku ketika mengusulkan lima asas tadi terpengaruh dengan salah seorang tokoh Freemasonry dari Tiongkok Dr. Sun Yat Seng. “Dia (Sun Yat Seng) menulis buku kemudian kita kenal sebagai San Min Chu I yang kalau diterjemahkan Tiga Prinsip Bagi Rakyat,” ungkap Salman.
Salman menyebutkan, tiga prinsip berkenaan dengan rakyat tadi itu dan kemudian ini menginspirasi Bung Karno untuk mengusulkan lima asas, lima dasar dikenal dengan Pancasila dan Bung Karno kemudian demi untuk menjadikan paham kemanusiaan atau humanism cosmopolite mengakar ke dalam karakteristik bangsa Indonesia dan menentang berkenaan dengan ultranationalism ataupun fascism ataupun chauvinism.
Kemudian ia mengatakan bahwa Bung Karno juga terpengaruh dengan sosok Mohandas Mahatma Gandhi, salah seorang bapak bangsa dari tanah India.
“Bung Karno sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Mohandas Mahatma Gandhi bahwa ‘my nationalism is humanity’ bahwa kebangsaan kami ini adalah kemanusiaan. Yang dalam konteks ini menghormati, menghargai bangsa di luar bangsa Indonesia bukan mengedepankan keegosentrisan kami sebagai Bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Ia mengatakan, kebangsaan yang dianut oleh Bung Karno, serta yang diperjuangkan adalah kebangsaan netral agama, akan tetapi berpijak pada semua agama.
“Ini adalah bentuk tidak langsung apa yang kita ketahui sebagai bagian dari secularism yang memang itu kemudian dipopulerkan dan diusung oleh Musthapa Kemal Bapak Turki modern,” ungkapnya.
“Bahkan di dalam buku Bung Karno sendiri yang kita ketahui sebagai Di Bawah Bendera Revolusi, sosok Bung Karno adalah sosok yang ternyata merupakan pengagung berat dari sosok Musthapa Kemal dalam upaya pembaruan menjauhkan Islam, menjauhkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Turki dan itu yang kemudian menginspirasi Bung Karno untuk kemudian menjadikan dasar negara netral terhadap agama,” pungkasnya.[] Alfia Purwanti