Bukan Ahli Fiqih, Membantah Ulama Fiqih Mu’tabar

Oleh: Ust. Rokhmat S. Labib

Sungguh ironis. Berani bicara tentang hukum syara dan membantah para fuqaha’ mu’tabar. Namun ketika ditanya dalilnya, tidak bisa menunjukkannya. Kemudian berkelit bahwa ia bukan ahli fiqh. Dengan jawaban tersebut, dia tidak boleh dicecar pertanyaan untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya.

Itulah yang terjadi pada Dr. Zuli Qodir, ahli yang didatangkan oleh pemerintah dalam Sidang Gugatan HTI kepada Menkumham di PTUN pada Kamis 5/4 yang lalu.

Di awal sidang Zuli Qodir diperkenalkan kuasa hukum pemerintah sebagai ahli sosiologi politik Islam. Setelah itu dia membacakan makalah seputar NKRI, Pancasila, Khilafah, dan HTI.

Ketika menjelaskan tentang khilafah, dia menuduh bahwa HTI telah memperkosa ide khilafah. Padahal, pendapat HTI tentang khilafah tidak berbeda dengan penjelasan para ulama mu’tabar.

Dalam sesi tanya jawab, Jubir HTI Ustadz Ismail Yusanto menyampaikan beberapa pertanyaan kepadanya. “Apa hukum menegakkan khilafah di Indonesia?” tanya Ustdaz Ismail. “Tidak perlu. Juga tidak boleh,” kata Zuli Qodir. Ustadz melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud tidak perlu?” Dia jawab, “Ya, tidak boleh.” Ustadz Ismail bertanya lagi, “Apa maksud tidak boleh itu, apa haram?” Zuli Qodir pun menjawab, “Ya, haram. Begitulah menurut istilah Anda”

Setelah itu Jubir HTI menyampaikan pendapat para ulama yang menjelaskan tentang wajibnya khilafah, seperti Imam al-Nawawi, Abdurrahman al-Jaziri, Ibnu Khaldun, Wahbah al-Zuhaili, KH Sulaiman Rosyid, KH Munawar Cholil, dan lain-lain. “Mereka semua menyatakan wajibnya khilafah. Bagaimana menurut Anda?” tanya Jubir HTI. Dia pun menjawab, “Ada juga ulama lain yang tidak mewajibkannya.” Tanpa menyebut satu orang pun ulama yang dikatakannya tidak mewajibkan khilafah, apalagi mewajibkannya.

Jubir meneruskan pertanyaan, “Jika Anda katakan haram, apa dalilnya?” Mendapatkan pertanyaan tersebut, dia tidak segera memberikan jawaban. Hakim kemudian berkata kepada Ustadz Ismail, “Pertanyaan disesuaikan dengan keahliannya.” Lalu dijawab, “Saya menanyakan apa yang tadi dikatakan.”

Mendengar perkataan tersebut, Zuli Qodir pun berkata, “Ya, biarkan saja dia bertanya. Ini kan hanya lucu-lucuan. Ini hiburan saja, kan?” sambil tertawa-tawa merasa tak bersalah.

Hakim pun berkata kepadanya, “Kalau itu di luar keahlian Saudara, Saudara tidak perlu menjawabnya. Sebab, kalau Saudara menjawab, akan terus ditanya,”

Mendengar pernyataan hakim itu, Zuli Qodir pun berkata, “Ya, itu bukan keahlian saya. Saya tidak harus menjawabnya.”

Sungguh ironis. Kalau tidak ahli, semestinya tahu diri. Tidak akan menyampaikan sesuatu yang tidak diketahuinya, apalagi menentang pendapat para ulama fiqh mu’tabar. Menjadi lebih parah ketika dia berkata, “Itu hanya lucu-lucuan, hiburan saja.”

Apakah dia tidak sadar bahwa perkataannya itu disampaikan kepada hakim dalam sebuah persidangan resmi dan dia diambil keterangannya dengan sumpah?

Apakah tidak sadar bahwa dia sedang berbicara tentang halal dan haram yang itu menjadi hak Allah Swt semata untuk menetapkannya dan tidak boleh diserahkan kepada hawa nafsu manusia? Allah Swt berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (QS al-Nahl [16]: 116).

Maka siapa pun tidak boleh mengatakan ‘ini halal’ atau ‘ini haram’ kecuali memiliki sandaran dalil syara’ yang mendasarinya. Ingatlah, hukum wajiib, sunnah, haram, makruh, dan mubah berkaitan dengan pahala dan dosa, ridha dan murka Allah Swt, serta surga dan neraka. Bagaimana bisa menyebutsebuah perbuatan mendapatkan pahala atau dosa, ridha atau murka, dan pahala atau surga jika tidak memiliki sandaran dari Allah Swt?

Sungguh ada ancaman keras bagi orang yang berfatwa tanpa ilmu:

«مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ»

“Barangsiapa yang bertafwa tanpa ilmu maka dosanya ditanggung orang yang berfatwa.” ( HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah ra).

Bandingkan dengan Sikap Para Fuqaha’

Para ulama mu’tabar tidak meremehkan dalam urusan ini. Jika mereka tidak tahu tentang suatu urusan, mereka tidak segan dan tidak malu untuk menjawab tidak tahu.

Imam Malik adalah seorang ulama besar, Tak ada yang meragukan keluasan ilmunya. Ketika ditanya tentang sesuatu, tidak semuanya dijawabnya. Diceritakan oleh al-Haitsam bin Jumail yang berkata. “Saya menyaksikan bahwa Malik bin Anas ditanya sebanyak 48 masalah. Terhadap 32 masalah dia berkata, “La adri (saya tidak tahu).” (Abu Umar al-Namiri al-Qurthubi, al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’, I/73).

Al-Qashim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq ditanya lalu menjawab tak tahu. Orang-orang memprotesnya lalu dia berkata:

إِنَّا وَاللَّهِ مَا نَعْلَمُ كُلَّ مَا تَسْأَلُونَ عَنْهُ، وَلَوْ عَلِمْنَا مَا كَتَمْنَاكُمْ، وَلَا حَلَّ لَنَا أَنْ نَكْتُمَكُمْ

“Demi Allah, sesungunhnya kami tak mengetahui semua yang kalian tanyakan. Andai kami tahu, kami tidak akan menyembunyikannya. Tidak halal bagi kami menyembunyikan (ilmu) dari kalian.” (HR. Ad-Darimi dalam Sunan).

Al-Sya’bi pernah ditanya tentang sesuatu, lalu dia menajwab: “La adri (saya tidak tahu)”. Kemudian dia ditanya, “Apakah kamu tidak malu mengatakan tidak tahu, sementara Anda adalah orang yang faqih di kalangan penduduk Irak?” Dia pun menjawab. “Malaikat tidak merasa malu ketika mereka barkata “Subahnaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana (Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, al-Baqarah [2]: 32).” (al-Imam al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, I/74).

Bahkan Ibnu Mas’ud berkata:

إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتونه لمجنون

Sesungguhnya orang yang memberikan fatwa terhadap semua perkara yang ditanyakan kepadanya, sungguh dia gila (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din, 1/74).

al-Imam al-Ghazali berkata, “Di kalangan para fuqaha, oran yang mengatakan ‘La adri (saya tidak tahu)’ lebih banyak daripada yang mengatakan “Saya tahu.” Di antara mereka adalah Sufyan al-Tsauri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, al-Fudhail bin Iyadh, dan Bisyr bin al-Harits.” (Ihya` ‘Ulum al-Din, I/75).

Al-Sya’bi berkata, “La adri (saya tidak tahu) adalah setengah dari ilmu. Barang siapa yang diam disebabkan tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka pahalanya tidak lebih sedikit daripada orang yang mengatakan (karena dia tahu). Sebab, mengakui ketidaktahuan lebih berat bagi jiwa. Inilah yang menjadi adat kebiasaan para sahabat dan salafus shlih rahimahullah (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din, 1/69).

Sikap sangat hati-hati itu disebabkan karena mereka mengetahui benar akibat perkataannya. Ibnu Umar pernah ditentang sesuatu, dia menjawab, “Saya tidak tahu.” Kemudian dia berkata:

أتريدون أن تجعلوا ظهورنا لكم جسورا في جهنم ، أن تقولوا أفتانا ابن عمر بهذا

Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami sebagai jembatan di neraka Jahannam dengan mengatakan “Ibnu Umar telah berfatwa kepada kami tentang ini”? (al-Khatib al-Baghdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, III/ 200).

Itulah sikap para fuqaha dalam menyampaikan hukum. Mereka tidak sembarangan. Mereka sangat berhari-hati dalam mengeluarkan suatu hukum.

Maka sungguh aneh jika ada orang yang berani dan lancang membantah pendapat para fuqaha’, sementara dia sendiri mengaku tidak memiliki keahlian dalam bidang itu.

Jika demikian, layakkah pendapat dan keterangannya bisa dipertimbangkan hakim untuk memutuskan perkara? WaL-lah a’lam bi al-shawab.[]

Share artikel ini: