Situs Al-Quds Al-Arabi, Sabtu, 28 Syaban 1442 H./10 April 2021 M. menerbitkan berita yang berbunyi: “Penulis Pragya Agarwal membenarkan dalam laporan yang diterbitkan di surat kabar Inggris, The Independent (9/4), bahwa rezim Prancis menderita karena keretakan dan kontradiksi yang besar. Dalam hal ini, penulis mengacu pada rancangan undang-undang yang diajukan ke Parlemen, di mana isinya melarang anak perempuan memakai hijab sebelum usia 18 tahun, sementara di sisi lain anak perempuan usia 15 diberi kebebasan menjalin hubungan seksual!”
Penulis menekankan bahwa rancangan undang-undang yang baru ini bertentangan dengan slogan negara Prancis, “Kebebasan … Kesetaraan … Persaudaraan”, karena undang-undang tersebut sama sekali tidak memiliki prinsip keadilan dan persamaan, bahkan undang-undang tersebut membatasi hak-hak perempuan terkait masalah kebebasan menjalin hubungan seksual!
Penulis menilai bahwa upaya pelarangan cadar dan hijab bertentangan dengan klaim Prancis tentang pemberdayaan perempuan, sebuah langkah yang terutama didasarkan pada retorika anti-Islam, yang mengadopsi gagasan bahwa semua wanita Muslim ditindas, dan mengenakan jilbab bukan dari keinginannya, bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk menghadapi otoritas laki-laki.
Penulis menekankan bahwa proposal baru untuk melarang mengenakan hijab adalah episode lain dari kebijakan rasis yang menargetkan kaum Muslim pada umumnya, dan wanita Muslim pada khususnya, serta merampas hak mereka dengan dalih menghormati nilai-nilai Republik Prancis, dan pembenaran lainnya.
Penulis kembali ke latar belakang “obsesi Prancis” ini, di mana ia mencatat bahwa kampanye Prancis melawan hijab sebenarnya dimulai pada Februari 2004, ketika Majelis Nasional Prancis meluncurkan serangkaian diskusi untuk memberlakukan undang-undang yang bertujuan melarang simbol-simbol agama di sekolah, termasuk Hijab Islami, Topi Yahudi dan Salib Kristen. Itu diawali dengan sejumlah negara bagian Jerman yang melarang guru perempuan mengenakan hiijab pada September 2003.
Pada tahun 2011, Prancis menjadi negara pertama di dunia yang melarang wanita mengenakan segala jenis penutup wajah di tempat umum. Larangan cadar saat itu menimbulkan banyak pertanyaan tentang posisi Prancis terhadap warganya yang beragama Islam.
Pada tahun 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa meratifikasi undang-undang Prancis tentang larangan cadar, dan menegaskan bahwa dengan undang-undang tersebut Prancis tidak melanggar atas privasi warga Muslim, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan mereka. Dan pada 2016, beberapa kota pesisir Prancis memberlakukan larangan pakaian “burkini” di pantai.
Penulis menganggap bahwa pemerintah Prancis menderita kompleksitas dalam memainkan “peran penyelamat”. Sebab Prancis mengklaim mendukung wanita etnis minoritas, namun Prancis menentukan apa yang harus mereka pakai. Jadi, apakah masuk akal mengklaim memberdayakan wanita, namun merampas kebebasan dan hak pilihnya?! (hizb-ut-tahrir.info, 14/4/2021).