BPJS Naik, Rakyat Tambah ‘Sakit’

Layanan kesehatan merupakan kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang harus dipenuhi secara langsung melalui dana APBN bukan melalui mekanisme asuransi.

Rezim Jokowi-JK kembali memberikan kado pahit kepada rakyat. Setelah sebelumnya menaikkan tarif dasar listrik, awal Januari lalu rezim yang mengaku pro rakyat itu menaikkan iuran BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial) Kesehatan.

Pemerintah bersama DPR RI telah menyetujui kenaikan iuran PBI sebesar Rp 23 ribu. Keputusan yang tertulis dalam APBN 2016 ini sendiri jauh di bawah usulan resmi Kemenkes, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebelumnya, ketiga lembaga itu mengajukan usulan kenaikan sebesar  Rp 36 ribu per kepala per bulan.

Karena itulah walaupun PBI naik, menurut ketua Indonesia Health Economic Association (Ina-HEA),  Hasbullah Thabrany,  BPJS masih berpotensi defisit dalam jumlah yang cukup besar mencapai Rp 7,4 trilyun. Menurutnya, potensi defisit tersebut  bisa tertutupi dengan dua cara.  Pertama, menaikkan besaran iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri. Dia mengusulkan, kenaikan iuran PBPU kelas III dari saat ini Rp 27.500, diusulkan menjadi Rp 40 ribu, kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 60 ribu, dan kelas I dari Rp 59.600 menjadi Rp 70 ribu.  Usulan kedua, pemerintah menaikkan cukai rokok hingga tiga kali lipat dan diperuntukkan untuk Jaminan Kesehatan Nasional.

Selain dua faktor tersebut, suntikan dana juga diharap datang dari bertambahnya peserta dari golongan pekerja formal. Sebab, jumlah pekerja formal yang cukup besar akan mampu memberi angin segar dalam perputaran keuangan BPJS Kesehatan. Hingga saat ini, baru 20 juta dari 80 juta pekerja formal yang telah terdaftar sebagai peserta JKN.

Sementara  itu Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro  meminta kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem JKN ke depan supaya mengurangi moral hazard dan menyelamatkan BPJS Kesehatan. Bambang menjelaskan, beban pengeluaran atau klaim di BPJS Kesehatan membengkak akibat melonjaknya peserta menjadi hampir 153 juta orang sampai saat ini.

Dari data BPJS Kesehatan, pendapatan dari iuran yang masuk sebesar Rp 39 triliun, sementara pengeluaran (klaim) menembus Rp 41 trilyun. Paling banyak peserta BPJS Kesehatan adalah pekerja penerima bukan upah atau peserta mandiri.           “Klaim rasio kalau 70-80 persen dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) kan normal, tapi ini klaim rasio peserta mandiri pernah mencapai angka di atas 1.000 persen. Jadi yang melakukan moral hazard itu peserta mandiri, kasusnya baru membayar iuran sekali, bisa cuci darah setelah agak sehatan, dia tidak setor iuran lagi,” ujarnya seperti dikutip liputan6.com.

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Lajnah Maslahiyyah DPP Hizbut Tahir Arim Nasim mengatakan, sebenarnya bukan masyarakat yang melakukan moral hazard, tapi justru  pemerintah yang melakukan moral harzad. Karena, dalam pandangan Islam, layanan kesehatan merupakan kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang harus dipenuhi secara langsung melalui dana APBN bukan melalui mekanisme asuransi.

“Pemerintah telah membohongi rakyat dengan menyebutkan jaminan sosial padahal asuransi sosial yaitu rakyat diberikan pelayanan kalau membayar iuran wajib dalam bentuk premi,” ujarnya.

Karena itulah ketika MUI mengatakan  BPJS itu haram, bukan hanya karena dikelola dengan mekanisme asuransi konvensional  sehingga kalau dikelola dengan pola asuransi syariah menjadi halal.  Haramnya BPJS dalam pandangan Islam juga dikarenakan BPJS esensinya adalah swastanisasi dan komersialisasi pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Menurutnya, BPJS dalam UU berhak memungut iuran dari rakyat dan berhak memaksa dan menjatuhkan sanksi bagi yang tidak membayar premi. “Sehingga BPJS sebenarnya badan pemalak dengan dalih jaminan sosial,” bebernya. [] LM

Share artikel ini: