Boros Energi Lstrik di Era Jokowi

Oleh: Muhammad Firdaus | Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (Forkei)

Baru era jokowi terjadi, rakyat diminta untuk boros pemakaian energi listrik “dipaksa” rumah tangga ekonomi rendah sekalipun harus pindah ke kelompok ekonomi borjouis KWH listriknya, sesuai rencana pemerintah untuk menyederhanakan golongan pelanggan listrik 900 VA non subsidi, 1.300 VA, 2.200 VA, dan 3.300 VA menjadi 4.400 VA. Regulasi kebijakan yang sangat aneh di saat lesunya ekonomi masyarakat di lapis menengah ke bawah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, justru masyarakat ditawari iming2 untuk berlomba-lomba dalam menggunakan energi listrik yang sesungguhnya tidak dibutuhkan. Bagaimana mungkin Kementerian ESDM begitu optimistis dalam pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 MW, apa tidak direncanakan sesuai tingkat kebutuhan masyarakat dan industri sehingga over energi listrik ? .

Swastanisasi pembangkit listrik bermasalah

Kebutuhan listrik nasional sesuai RUPTL 2015-2024 dengan komposisi proyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW untuk PLN dan 25 ribu MW untuk swasta telah terjadi liberalisasi di pembangkitan, sementara penyaluran/distribusi tetap dikelola PLN. Kepentingan proyek pembangkitan listrik 35.000 MW dalam skala nasional mulai berdampak sangat luas dan semakin sistemik baik secara teknis maupun keuangan dari PLN. Peran pembangkit listrik swasta (IPP=independen power produce) meningkat terus dari 32% tahun 2019 menjadi 41% pada tahun 2024. Di saat swastanisasi pembangkit listrik swasta dengan kompensasi berupa PPA (power purchase agreement) atau kontrak pembelian listrik dari pembangkit swasta oleh PLN/negara dalam kurun waktu 20-25 tahun.

Kebijakan yang tidak bijaksana

Penyederhanaan golongan tarif listrik yang ditawarkan kepada pelanggan yang notabene adalah masyarakat ekonomi lemah yang terkena dampaknya adalah kebijakan yang sangat sembrono dan sulit dinalar akal sehat. Artinya, pilihan diberikan kepada pelanggan PLN, apakah ingin menambah dayanya jadi 4.400 VA atau tidak. Sementara infrastruktur metering KWH di rumah-rumah pelanggan daya 900 atau 1.300 Watt tidak akan mampu secara teknis untuk dinaikkan ke 4.400 Watt. Berapa anggaran yang akan dikeluarkan PLN untuk penyesuaian daya tersebut ? Hingga Agustus 2017, Jumlah Pelanggan PLN Mencapai 66 Juta. Over listrik 40% dari kebutuhan listrik pada sistem interkoneksi Jawa Madura Bali yang mayoritas berbahan batubara akan menambah parah kerusakan alam pada daerah-daerah penghasil bahan bakar non renewable tersebut. Anjuran untuk mengkonsumsi listrik berlebihan sangat kontraproduktif dengan program terdahulu untuk menggunakan lampu hemat energi, bahkan kantor pemerintah disarankan untuk pakai AC dengan setting temperatur tidak boleh di bawah 25 derajat celcius, karena program hemat energi sekarang tinggal kenangan. Promosi tarif listrik tidak naik sangat tidak transparan dalam mengedukasi masyarakat, karena ada biaya minimum  yang harus dibayar.(listrik dipakai atau tidak), seperti jebakan batman, biaya yang ditanggung masyarakat tiap bulan untuk tarif listrik yaitu minimum Rp. 300 ribu, seakan memang ada kesengajaan untuk memalak masyarakat untuk iuran rutin kepada PLN yang lagi punya masalah dengan keuangannya.

Jargon program pemerintah pro wong cilik tinggal kenangan, dengan  penyederhanaan golongan listrik 4.400 Watt,  faktanya negara semakin mencekik masyarakat menengah ke bawah demi kepentingan kejar setoran untuk menutup keuangan PLN yang lagi bermasalah dengan memperalat konsumen yang paling banyak yaitu kelas menengah-ke bawah.[]

Share artikel ini: