Bolivia Saja Bisa, Indonesia Juga Bisa Kok Lepas dari Utang

 Bolivia Saja Bisa, Indonesia Juga Bisa Kok Lepas dari Utang

Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)

Dalam sebuah unggahan di Twitter resminya pada 22 Juli 2017, Morales mengatakan,  Bolivia telah bebas dari Bank Dunia dan IMF yang dianggapnya memberikan dampak buruk bagi negaranya di masa lalu. “Pada tahun 1944 IMF dan Bank Dunia dibentuk. Organisasi-organisasi ini mendikte nasib ekonomi Bolivia dan dunia. Hari ini kita dapat mengatakan bahwa kita telah sepenuhnya bebas dari mereka,” kicau Morales, seperti yang dilansir American Herald Tribune pada 23 Juli 2017. (tempo.co, 26/7.2017)

Berbeda dengan Bolivia, yang kini upah minimum buruh di Bolivia meningkat 4 kali lipat serta pengembangan infrastruktur dalam komunikasi, transportasi, energi dan industri selain stabilitas politik di negara itu daripada sebelumnya – Hutang luar negeri di negeri ini pada titik kritis. Utang luar negeri Indonesia terus meningkat sampai akhir Mei 2017, mencapai Rp 3.672,33 triliun.

Jumlah hutang sebesar itu tentu saja sudah sangat membebani rakyat Indonesia. Jika jumlah hutang tersebut harus dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 250 juta orang, maka setiap kepala penduduk Indonesia akan menanggung hutang sebesar 14 juta rupiah. Apabila ada sebuah keluarga yang memiliki 3 anak, maka keluarga tersebut akan memiliki tanggungan hutang sebesar 70 juta rupiah.

Namun, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan melihat jumlah tersebut masih dalam posisi aman. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih 27,5%.”Kita punya utang masih tergolong sangat kecil dibanding negara lain, 27,5% dibanding PDB,” kata Luhut, dalam pembukaan Kongres Teknologi Nasional di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (17/7/2017). Ia menambahkan, utang-utang yang diambil pemerintah digunakan untuk sektor produktif, mayoritas untuk proyek infrastruktur. Luhut mencontohkan, utang untuk proyek Light Rail Transit (LRT) yang diyakini bakal terbayar karena proyek infrastruktur itu menghasilkan uang juga. (http://www.teropongsenayan.com/66622-jokowi-tambah-utang-rp-1000-triliun-luhut-sangat-kecil)

Untuk membayar hutang tersebut, pemerintah Indonesia hanya dapat membebankan cicilannya kepada APBN, yang sumber pemasukannya sebagian besar (sekitar 80%) adalah berasal dari pajak yang ditarik dari rakyat. Akibatnya, APBN akan banyak terdistribusikan untuk membayar hutang pokok ditambah dengan bunganya. Beban pajak yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia tentu saja akan semakin besar.

Analisis Dampak Utang Luar Negeri

Pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Selanjutnya, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata negara-negara kapitalis Barat kepada negara-negara lain, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap Negara yang mengikutinya. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka.

Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer.

Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya.
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama Amerika, Eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap hutang ini. Karena dalam alam demokasi, hutang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa hutang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Hingga tertanam bahwa ini sudah menjadi jalan yang lazim dalam kehidupan sekarang ini. Padahal di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.

Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang.

Jika model pembangunan yang diterapkan di Indonesia ke depan lebih banyak mengikuti pada arahan yang diberikan oleh Barat. Dengan model pembangunan ekonomi seperti itu, jutru mampu menyebabkan Indonesia semakin terjebak dalam perangkap. Model pembangunan Indonesia tidak pernah membuat Bangsa Indonesia menjadi negara yang madiri, kuat dan berdaulat secara ekonomi. Sebaliknya, justru telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang semakin bergantung pada Barat, baik dalam bidang teknologi maupun dalam bidang ekonomi.

Sehingga…
Saat ini melimpahnya sumber daya alam yang ada di Indonesia harusnya mampu sebagai andalan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Ironisnya, SDA yang ada di Indonesia sudah banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Hal itu disebabkan kerena telah dibuka selebar-lebarnya kran investasi modal asing di Indonesia, yang telah dimulai dari sejak jaman Orba sampai masa pemerintahan sekarang ini. Dari sektor Migas saja, penguasaan asing sudah mencapai 86 %, sedangkan Pertamina penguasaannya hanya tinggal 16 % saja.

Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri ini.

Pertama, kesadaran akan bahaya utang luar negeri. Kedua, keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Ketiga, menghentikan liberalisasi ekonomi. Kebijakan ini akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk melebarkan sayapnya di sini. Akibatnya, bukan saja keuntungan besar yang mengalir ke luar negeri, namun juga dapat mematikan perusahaan lokal. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membuat rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).

Keempat, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.

Kelima, melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Keenam, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan impor atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri dan membatasi impor dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *