Mediaumat.id – Bantuan langsung tunai bahan bakar minyak atau BLT BBM yang disalurkan pemerintah sejak akhir Agustus 2022, dinilai sekadar penyenang hati masyarakat untuk menutupi kebobrokan tata kelola negara.
“Bantuan bantalan sosial itu atau bantuan sosial itu ya, sekadar gula-gula saja, menutupi kebobrokan tata kelola keuangan negara kita sebenarnya,” tutur Analis senior Pusat Analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan kepada Mediaumat.id, Jumat (9/9/2022).
Padahal sangat jelas pertanyaan publik terkait klaim pemerintah bahwa besaran angka subsidi energi meningkat berkali lipat menjadi Rp502,4 triliun itu dari mana. “Itu dari mana angkanya?” herannya.
Sebagai informasi, terdapat 20,65 juta keluarga miskin yang akan menerima dana sebesar Rp12,4 triliun dan 16 juta pekerja berpenghasilan rendah mendapatkan bantuan Rp9,6 triliun.
Terlepas mekanisme pembagiannya, setiap penerima bansos akan mendapatkan total Rp600 ribu dalam tempo empat bulan.
Tak ayal, Fajar pun menilai pemerintah telah melakukan pembohongan publik atas sikap mereka yang kurang transparan.
Makin menegaskan, pos belanja subsidi sebesar itu, menurutnya tidak ada di dalam APBN Perubahan sekalipun. “Yang ada hanyalah sekitar 289 triliun (rupiah) yang memang itu adalah keseluruhan subsidi energi. Baik subsidi BBM maupun subsidi untuk listrik,” ungkapnya.
Kalaupun pemerintah menggembar-gemborkan telah mengeluarkan Rp502,4 triliun, kata Fajar, hal itu akal-akalan saja untuk melegitimasi keputusan pemerintah yang di belakangnya berdiri oligarki.
“Kalau kita bayar utang 400 triliun (rupiah) itu ada memang,” bebernya, mengenai utang ribawi yang semestinya dianggap sebagai beban terberat APBN tiap tahun.
“Jangan katakan bahwa subsidi energi itu membebani anggaran,” imbuhnya.
Di sisi lain, ia mengatakan, pemerintah juga terkesan tidak melakukan efisiensi dari sisi pengeluaran-pengeluaran lainnya.
Sebut saja anggaran proyek ibu kota negara (IKN) baru yang mencapai ratusan triliun rupiah. “Kenapa IKN tetap dilanjutkan? Apa urgensinya IKN?” lontarnya.
“Lebih urgen mana, memenuhi kebutuhan masyarakat menjaga harga BBM agar tetap terjangkau oleh masyarakat dengan tetap melanjutkan proyek IKN, lebih penting mana?” tambahnya.
Pikiran waras, menjaga harga BBM tetap terjangkau masyarakat di tengah volatilnya kondisi ekonomi global lebih penting. “Ini saya kira adalah pilihan yang paling masuk akal,” timpalnya.
Sebaliknya, orang enggak berakal sehat pasti memandang proyek-proyek mercusuarlah yang harus dilanjutkan. “Padahal apa esensinya bagi rakyat kebanyakan?” tanyanya lagi.
Kalau tetap ingin membangun IKN baru misalnya, Fajar berharap ditunda dahulu hingga benar-benar memiliki kemampuan untuk itu. “Wong kita membangun saja enggak punya anggaran kok, malah membebani APBN,” cetusnya.
Jauh
Lantas menjawab apakah skema BLT BBM mampu menutupi semua beban tambahan masyarakat akibat penaikan harga BBM, sekali lagi ia menegaskan, sangat jauh. “Apakah itu bisa meng-cover? Tentu jauh,” lugasnya.
Perlu diketahui, ungkap Fajar, jumlah warga yang berada sedikit di atas garis kemiskinan justru diperkirakan di atas 50 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
“Artinya bisa mendekati 130 sampai 140 juta (jiwa) yang sesungguhnya, yang akan betul-betul merasakan dampak dari kenaikan harga BBM ini,” terangnya.
Taruhlah bantuan Rp150 ribu sebagai pengganti uang transportasi sebulan. Lantas dari mana masyarakat mendapatkan tambahan untuk menutupi harga kebutuhan lain yang juga naik? “Semuanya itu pasti dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM,” pungkasnya.[] Zainul Krian