Blok Masela Milik Siapa!

Oleh: Lukman Noerochim (Stafsus FORKEI)

Pada Rabu (20/11/2019) dikabarkan Presiden Joko Widodo menerima delegasi Japan Indonesia Association yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Fukuoda di Istana Merdeka, Jakarta membahas proyek blok gas Masela.

Presiden Jokowi menyampaikan perancangan serta pembebasan lahan proyek Masela sedang dipersiapkan. Proyek tersebut ditargetkan mulai berjalan pada 2022 dan akan selesai pada 2027.

Terkait pengerjaan proyek Blok Masela, dikabarkan sebelumnya oleh liputan6.com, Inpex Corporation menyiapkan sumber pendanaan untuk menggarap Blok Masela. Nilai investasi proyek lapangan gas abadi tersebut hampir USD 20 miliar yaitu sekitar USD 18,5-USD 19,8 miliar atau setara dengan Rp 267,8 triliun (kurs Rupiah 13.949 per dolar AS).

Inpex Corporation menyiapkan sumber pendanaan untuk menggarap Blok Masela. Nilai investasi proyek lapangan gas abadi tersebut hampir USD 20 miliar yaitu sekitar USD 18,5-USD 19,8 miliar atau setara dengan Rp 267,8 triliun (kurs Rupiah 13.949 per dolar AS).

‎Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, ‎pendanaan untuk menggarap Blok Masel berasal dari beberapa sumber, diantaranya dari kas internal perusahaan untuk memodali kegiatan pencarian migas.

Pada kesempatan terpisah, President dan CEO Inpex Takayuki Ueda menambahkan ‎untuk sumber pendanaan fasilitas pengolahan gas menjadi gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) berasal dari pinjaman dengan skema Trustee Borrowing Scheme (TBS).

Setelah POD Blok Masela disetujui Pemerintah Indonesia, Inpex Masela anak usaha Inpex Corporation yang ditugaskan mengelola ‎Blok Masela akan melanjutkan membuat desain rinci (Front End Enginering Design/FEED). ‎‎

Menurut Ueda,‎ setelah menempuh tahap FEED, kemudian dilanjutkan dengan tahapan FID dan pengadaan teknis konstruksi (Enginering, Procurment and Construction/EPC) kemudian dilanjutkan dengan produksi pada periode 2027 atau 2028. Ia menargetkan untuk memulai produksi pada paruh kedua dekade 2020-an.

‎Total kapasitas produksi gas yang akan diproduksi oleh Inpex setiap tahunnya adalah sebesar 10,5 juta Metrik Ton (MT) dengan rincian sebanyak 9,5 juta MT per tahun untuk gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dan sebanyak 150 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) disuplai untuk kebutuhan domestik.

Sudut Pandang

Maluku memiliki 25 Blok Migas, setelah ditemukan cekungan baru minyak dan gas (Migas) di Blok Masela. Lima belas diantaranya sudah dikelola swasta dan 10 sisanya, masih belum dikelola. Cekungan tersebut dipredikasi memiliki potensi terbesar di dunia.

Di Blok Masela ini ada 10 sumur, jika semuanya berproduksi 1-2 tahun lagi, akan menghasilkan 7.5 juta kubik fit gas per tahun. Belum lagi kandungan minyaknya. Jadi sangat luar biasa. Sebagai informasi, sebagai salah satu blok yang cadangan gasnya terbesar di Indonesia, Blok Masela memiliki cadangan mencapai 10,73 Trillion Cubic Feet (TCF). Begitu besarnya jumlah cadangan tersebut, hingga Blok Masela juga biasa disebut Lapangan Abadi. Saat ini proyek pengolahan gas Blok Masela di bawah kendali Inpex Masela Ltd (65%) dan Shell Upstream Overseas Services Ltd (35%).

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Masela ditandatangani pada 16 November 1998 dan direncanakan berakhir pada tahun 2028. Kontrak ini mencantumkan persetujuan Plan of Development (POD) I pada Desember 2010. Pengelolaan blok Masela 10 tahun pertama adalah masa eksplorasi. Sedangkan 20 tahun sisanya adalah masa produksi. Pada kontrak tersebut, disebutkan 15% hasil gross penjualan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. (rmol.co, 27/9/15)

Ironisnya, liberalisasi sektor migas menjadikan SDA milik rakyat diserahkan kepada swasta. 15 Blok Migas Maluku yang kini sudah dikelola investor asing adalah Blok Amborip VI, Blok Arafura Sea, Blok Aru Trough, Blok Aru, Blok West Aru I, Blok West Aru II, Blok South East Seram, Blok Kuwama, Blok East Bula, Blok Seram Kode 1/05. Blok Seram (non Bula), Blok Bula, Blok Masela, Blok Babar Selaru, dan Blok Offshore Pulau Moa Selatan. Sedangkan 10 blok Migas yang kini sedang ditawarkan kepada investor asing adalah Blok South Aru, Blok North Masela, Blok West Abadi, Blok Tatihu, Blok Arafura Sea II, Blok Aru Trough II, Blok South Aru, Blok Yamdena, Blok Sermata, Blok South East Palung Aru.

Kandungan minyak dan gas di perairan Maluku Selatan telah ditemukan sejak lama, tapi proses ekplorasi tidak kunjung terjadi karena terjadi perdebatan pada tahun 2008 hingga 2010 terkait lokasi kilang. Selama perdebatan tersebut, Inpex Corporation yang diizinkan menjadi operator pengelola oleh pemerintah. Namun pemerintah tidak mengambil keputusan dan meminta saran dari pihak ketiga yakni melibatkan UI, ITB, ITS, Gamma, juga melibatkan konsultan dari luar. Rekomendasi dari studi ini adalah floating LNG.

Liberalisasi Migas Jadi Biang Keladi

Biang keladi kebijakan yang anti terhadap rakyat adalah liberalisasi migas yang sekarang seolah-olah tidak dipermasalahkan lagi, baik liberalisasi di sektor hulu maupun hilir. Liberalisasi migas dampaknya lebih besar dibandingkan mafia migas. Legitimasi praktik liberalisasi ini adalah dengan disahkannya Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 yang draft-nya dibuat oleh USAID dan didukung oleh IMF serta Bank Dunia kemudian disahkan oleh anggota DPR.

Menghentikan mafia migas tanpa mencabut UU Migas No. 22 Tahun 2001 hanyalah retorika untuk menutupi pengkhianatan penguasa dan anggota DPR yang sangat merugikan rakyat dan menguntungkan para kapitalis.

UU Migas jelas-jelas mengokohkan liberalisasi sektor migas yaitu melepaskan monopoli negara atas migas melalui BUMN, dalam hal ini Pertamina kepada swasta. Pada Pasal 9 ayat 1, berbunyi:

Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.

Kata “dapat” pada pasal 9 ayat 1 inilah yang menyebabkan adanya liberalisasi migas karena ekplorasi migas itu boleh dilakukan oleh BUMN dan swasta yang selama ini dikuasai oleh pemerintah melalui Pertamina, bahkan kedudukan baik pertamina ataupun swasta sama.

Hasilnya hampir 90 persen sumber minyak kita dikuasai oleh swasta, baik lokal maupun asing. Di pemerintah Jokowi, liberalisasi migas sudah totalitas dilaksanakan dengan menyerahkan harga ke mekanisme pasar tanpa ada subsisdi.

Kini asing makin menguasai sektor hulu migas dengan mengasai hingga 80%. Pertamina sebagai milik negara dengan UU tersebut dibiarkan berebut bahkan bergelut dengan asing untuk bisa mengelola migas di negerinya sendiri. Ibaratnya, negara sebagai bapak justru mengharuskan Pertamina sebagai anaknya untuk bergelut dengan anak orang asing yang lebih besar, untuk bisa mengelola kekayaan keluarga di pekarangan sendiri.

Liberalisasi migas ini sepenuhnya perintah asing yang dipaksakan IMF, dituangkan di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000). Juga diperintahkan oleh Bank Dunia dengan menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum di dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001). Langkah strategisnya adalah dengan dibuat UU Migas yang mengamanatkan liberaliasasi. Untuk memastikannya, mereka kawal sejak penyusunan rumusan UU.

Dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 menyebutkan, “Tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta…” Juga disebutkan “ADB dan USAID bekerja sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. Melengkapi upaya USAID itu, Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan harga …

Selama pemerintah masih menyerahkan pada para kapitalis internasional dan pasar, maka Indonesia bersiap jatuh dalam krisis energi. Selanjutnya, asing akan semakin rakus untuk mengeruk kekayaan alam. Maka, Indonesia akan menjadi negeri yang terjajah dan rakyatnya mati di negeri sendiri. Sungguh terlalu.

Selamatkan!

Jelaslah, Blok Masela adalah milik rakyat. Harus dikelola oleh negara untuk rakyat secara total. Kebijakan kapitalistik yang beruoa liberalisasi migas baik di sektor hilir termasuk kebijakan harganya, maupun di sektor hulu yang sangat menentukan jumlah produksi migas, dan kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Ini semua merupakan bukti bahwa rezim pemerintah abai terhadap urusan rakyat. Sebagai solusi final atas permisalahan ini; migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai dengan syariah.

Migas dan sumber daya alam lain yang begitu melimpah di negeri ini wajib dikelola secara benar. Yakni sesuai dengan syariah Islam. Dalam pandangan Islam, migas masuk dalam kategori barang milik publik (al milkiyyah al-ammah). Pengelolaan milik umum harus dilakukan oleh negara, karena negaralah dengan segenap kewenangannya mampu mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.

Menyerahkan kepada individu atau kumpulan individu (perusahaan swasta, apalagi swasta asing) hanya akan membuat kekayaan alam milik rakyat ini dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya, ketimpangan pendapatan makin menganga dan kesejahteraan masyarakat menjadi tidak terwujud. Inilah ironi Indonesia. Rakyat dari negara kaya SDA, tapi hidup dalam kemiskinan. Rakyat harus sadar dan menyelamatkan bangsa ini dengan sistem yang adil[]

Share artikel ini: