Blak-Blakan HTI: Dari Khilafah sampai Ambil Alih Kekuasaan

Tak ada niat mendirikan Hizbut Tahrir Indonesia ketika Ismail Yusanto dan kawan-kawan bergiat dalam halaqah atau lingkaran kecil pengkajian Islam. Saat itu, tahun 1980-an, halaqah hanyalah salah satu sarana untuk saling berdiskusi, belajar, sekaligus berdakwah bagi para aktivis Islam.

Ismail juga tak bisa mengingat kapan resminya Hizbut Tahrir Indonesia terbentuk.

Juru bicara HTI itu menyebut berdirinya HTI sebagai sesuatu yang bersifat natural, kristalisasi dari pergumulan di halaqah-halaqah kampus dan situasi pada zaman itu. Revolusi Iran, Perang Dingin, dan otoritarianisme Orde Baru, kata dia, menjadi berkah terselubung yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran akan visi masyarakat Islam di lingkaran aktivis Islam.

Hizbut Tahrir Indonesia ibarat anak yang kelahirannya tak direncanakan sama sekali. Namun, seiring dengan perubahan rezim, ‘anak yang tak diinginkan’ itu ternyata mampu menjelma menjadi sebuah organisasi Islam yang saat ini diprediksi memiliki jutaan kader dan simpatisan.

Ismail Yusanto menceritakan semuanya saat CNNIndonesia.com berkunjung ke kantor HTI. Mewakili HTI, dia juga memaparkan pandangannya mengenai gagasan khilafah atau Negara Islam (daulah islamiyah), Perppu Ormas, hingga soal pidato salah satu pengurus HTI yang menyerukan militer mengambil alih kekuasaan. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana HTI berdiri di Indonesia? Semangat atau gerakan apa yang dikobarkan saat itu?

Sebenarnya kalau bicara tentang Hizbut Tahrir kita berbicara tentang dakwah. Ketika berbicara dakwah, maka sebenarnya tidak ada sesuatu yang spesial karena dakwah itu bagian dari ajaran Islam yang sangat esensial, sangat pokok, bahkan para ulama itu menyebut agama Islam adalah agama dakwah…

Itu terjadi sekitar tahun 1980an. Tahun 80, 83, 84, 85. Kalau boleh saya sebut kami mengalami di kampus khususnya itu dakwah pada fase ketiga. Fase pertama kalau dari kampus itu ada yang digerakkan oleh organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI dan sebagainya. Kemudian fase kedua digerakkan oleh dakwah seperti Pengkajian Risalah Tauhid, Forum Studi Islam. Kemudian mulai lah masuk khazanah dakwah dari berbagai belahan dunia seperti Jamaah Tabligh, Salafi, Ikhwanul Muslimin, termasuk Hizbut Tahrir.

Saya sebut itu sebagai dakwah gelombang ketiga. Itu yang kemudian memberi arah baru terhadap dakwah di kampus khususnya. Yang sekarang semakin menjadi Jamaah Tabligh ada, Salafi ada, kemudian Ikhwanul Muslimin, lalu Tarbiyah yang dalam partai mewujud PKS, lalu Hizbut Tahrir.

Itu semacam kesadaran baru anak-anak muda tentang bagaimana mereka memandang umat, melihat faktanya, kemudian idealitanya seperti apa. Ingat pada waktu itu tahun-tahun 80-an ada Revolusi Iran, Perang Vietnam belum selesai, kita juga mengalami proses mobilitas vertikal dimana Orde Baru menginjak tahun ke-10.

Nah, itu yang kemudian kesadaran tumbuh di kalangan anak-anak muda, lalu bacaan juga mulai berkembang. Belum ada Internet, tapi buku-buku yang datang dari luar mulai diterjemahkan, mulai ada kajian kajian. Mereka yang belajar di Timur Tengah juga kembali. Itu yang memberikan pemahaman baru terhadap dakwah.

Jadi sebenarnya ini ada sebuah proses yang terus menerus. Tidak ujuk-ujuk. Tidak ada yang sama sekali baru. Proses sosial begitu kan, tidak pernah betul-betul tunggal begitu. Pasti ada faktor-faktor komplementer.

Sebagai gerakan transnasional bagaimana korelasi HTI dengan Hizbut Tahrir pusat? Terutama terkait dukungan dana atau sokongan politik?

Yang pertama harus dipahami bahwa istilah transnasional baru kita kenal. Ini ingin saya sampaikan supaya tidak ada satu penilaian buruk. Sebab, sekarang ini semuanya coba ada stigmatisasi, monsterisasi. Istilah radikal itu kan menjadi kelihatan mengerikan.

Transnasional juga kelihatan mengerikan. Padahal sesungguhnya, semua yang ada di negeri ini transnasional. Agama kita ini semua transnasional, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha datang dari luar kan. Agama asli Indonesia apa? Begitu juga berbicara mengenai ideologi; sosialisme, kapitalisme, demokrasi dari luar. Bukan hanya itu, makanan juga. Jadi, masuknya dakwah ke negeri ini, istilahnya masuk. Itu pasti dari luar.

Kalau secara organisasi nggak ada-keterkaitan dengan Hizbut Tahrir pusat. Dalam arti begini, kalau tadi ditanyakan bahwa dana, kita self financing, iuran.

Kalau gagasan, buku memang dari Hizbut Tahrir. Kitab-kitabnya itu. Malah kita ini Indonesia tidak mengeluarkan kitab sendiri. Dan itu lagi-lagi sebenarnya suatu hal yang dipandang biasa. Memang, ada yang dibuat oleh orang Indonesia tetapi lebih sedikit dibanding khazanah Islam yang demikian luas.

Anda salah satu aktivis cemerlang dalam lingkungan dakwah lembaga kampus. Bagaimana Anda melihat geliat pergerakan mahasiswa saat itu? Apakah ada semacam perang ideologi di dalam kampus?

Oh iya. Kampus itu kan medan pertarungan. Kalau di masa saya dulu itu ada HMI dan GMNI, antara mahasiswa Islam dengan mahasiwa nasionalis, ditambah lagi dengan mahasiswa sosialis. Itu biasa sekali di kampus.
Kemudian terjadi varian yang lebih detail dalam mahasiswa nasionalis, sosialis nanti macam-macam lagi. Kemudian di Islam juga mulai macam-macam. Di situ Hizbut Tahrir memberikan warna dalam pergulatan pemikiran atau pertarungan di antara mahasiswa Islam. Kemudian akhirnya juga memberikan warna dalam pertarungan pemikiran di kampus secara umum.

Tetapi saya melihat begini. Kenapa mahasiswa tertarik kepada gerakan Sosialisme, misalnya, itu kan sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa Islam. Saya melihat karena mereka merasa konsep sosialis bisa menjawab kebutuhan mengenai pembelaan terhadap orang miskin, terlebih bisa men-challenge dominasi kapitalisme.

Nah, pembinaan yang diberikan Hizbut Tahrir memang di antaranya adalah pembinaan yang bertumpu pada pemahaman mengenai pertarungan ideologi. Jadi dalam kitab Sistem Islam misalnya ada perbandingan ideologi Islam, Kapitalisme dan Sosialisme. Yang kemudian membuat mereka setelah mengkaji itu menjadi mengerti. Oh, ini kapitalis, sosialis.
Kalau yang Islam tidak bisa mengkaji perbandingan ideologi ini, dia gak bisa ikut bertarung dalam pemikiran karena dia enggak mengerti. Apa alternatif Islamnya itu? Dia gak mengerti. Ini yang saya kira, kalau boleh kami sebut sebagai semacam sesuatu yang unik dari HTI.

Tentang Khilafah dan NKRI

HTI punya jumlah anggota yang banyak. Setelah pembubaran ini, apakah ada rencana untuk melebur atau berafiliasi dengan partai atau organisasi lain?

Enggak. Kami tidak mengalami disorientasi karena mengerti apa yang kami hadapi dan apa yang harus kami lakukan. Kemudian secara organisasi kami berkonsentrasi melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ini sudah tahap persidangan.

Kami konsentrasi itu, tapi kami ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian banyak kalangan terhadap masa depan HTI. Termasuk saran untuk gabung dengan partai, termasuk Partai Bulan Bintang.

Kami menyambut penuh hormat, sikap simpatik dari Pak Yusril Ihza Mahendra mengenai saran HTI untuk bergabung dengan PBB. Tapi, saya ingin menegaskan bahwa sampai hari ini kita konsentrasi kepada dua perlawanan itu. Kami masih punya harapan badan hukum Hitzbut Tahir akan pulih.

Konsep khilafah HTI ditentang sebagian orang. Tolong jelaskan apa yang dimaksud khilafah yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia?

Sebenarnya, sekali lagi ini juga bukan sesuatu yang istimewa, maksudnya begini. Khilafah itu ajaran Islam. Itu yang bolak-balik ingin kita katakan. Kalau kita membaca kitab-kitab fikih, gak usah lah kitab fikih yang besar, kitab fikih sederhana Sulaiman Rasyid yang pernah jadi bahan ajar di SMU Islam, itu di lembar-lembar terakhir ada bab khilafah.

Nah, Hizbut Tahrir memahami khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Definisi itu bisa dibaca di salah satu kitab yang menjadi bahan kajian Hizbut Tahrir. Dari definisi itu ada tiga substansi yaitu ukhwah, syariah, dan dakwah.

Jadi ini adalah ajaran Islam. Bahwa ajaran Islam atau khilafah ini tak sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang, kita memahami. Bukan hanya khilafah. Banyak lagi ajaran Islam yang tidak cocok dengan kondisi Indonesia saat ini. Ambil contoh, qisas.

Cuma, pertanyaannya apakah tidak kita sampaikan atau sampaikan? Kita tutup atau kita buka? Yang benar kita buka, sampaikan karena tidak mungkin ajaran islam buruk. Lalu bagaimana dengan ketidaksesuaian ini? Nah, itu proses politik, dinamika masyarakat.

Pemerintah dan sebagian masyarakat menilai kekhilafahan HTI bertentangan dengan Pancasila?

Itu kan tuduhan tudingan. Bertentangannya di mana? Kalau kita memahami tidak bertentangan, karena ajaran Islam tidak pernah bertentangan dengan Pancasila. Malah ada sebagian mengatakan justru khilafah paling cocok dengan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan itu universal, jadi Islam itu ada universalitas, nah universalitas itu ya khilafah.

Universalitas itu sifatnya lintas negara. Apakah tidak akan menegasi NKRI? Lalu bagaimana mendamaikan gagasan khilafah dengan NKRI?

Sekarang begini, kalau khilafah berdiri di Indonesia, Indonesia menjadi pusat khilafah. Indonesia ini berkurang wilayahnya tentu kita tidak mau, tapi kalau bertambah mau tidak? Mau dong. Buktinya Timor Timur masuk kita mau. Selama ini khilafah selalu dipandang di sana, gak pernah di sini. Kan, bisa di sini dan bisa memang. Katanya Indonesia punya bakat jadi pusat peradaban Islam. Kapan menjadi pusat peradabannya kalau Indonesia menjadi pusat kekhilafahan.

Ini kan soal cara pandang, ketika NKRI menjadi lebih besar, NKRI-nya di mana? Sudah tidak ada NKRI karena sudah menjadi besar. Pertanyaannya kita mau berubah atau tidak untuk sesuatu yang lebih besar, lebih bagus, lebih agung, lebih hebat?

Ada upaya untuk mendirikan itu di Indonesia?

Pertama adalah dakwah, itu paling penting. Kalau umat Islam punya cita-cita, apakah tidak boleh? Kalau boleh ada Negara Komunis, Negara Kapitalis, Negara Sosialis, kenapa tidak boleh ada Negara Islam? Kenapa umat Islam tidak boleh punya cita-cita Negara Islam, daulah Islam?

Ada target untuk mewujudkan khilafah?

Enggak ada. Target itu kalau kita membangun gedung, itu kita bisa bikin timeline-nya, kalau untuk barang mati. Tapi kalau hidup tidak bisa.

Pada 21 juli 2014, dalam situs resmi HTI diberitakan bahwa HTI menyeru militer untuk mengambil alih kekuasaan. Tanggapannya?

Iya, itu kan pidato. Dalam pidato bisa saja seseorang menyatakan sesuatu yang mungkin over, itu bukan hanya terjadi pada HTI, kelompok mana pun bisa mengalami seperti yang kita baca sekarang ini, di NTT itu, pidato dari Ketua Fraksi NasDem (Viktor Laiskodat, red). Namanya pidato.

Mengapa meyakini khilafah itu solusi atas problem umat Islam di Indonesia?

Ya karena Kita yakin syariah itu solusi. Sekarang begini, kemiskinan apa solusinya? Kita sudah 70 tahun lebih merdeka, kemiskinan makin jauh, 20 perusahan menguasai lebih dari 20 juta hektare, 15 juta petani tanpa tanah tanpa lahan satu meter pun. Lalu kekayaan satu persen orang setara lebih dari 50% kekayaan orang Indoneisa. Apakah ini yang kita mau? Apakah ini ekonomi yang kita mau? []

Sumber: cnnindonesia.com

Share artikel ini: