Oleh: Fajar Kurniawan (analis senior PKAD)
China telah berubah menjadi raksasa ekonomi dunia dan adidaya regional yang ingin menandingi hegemoni Paman Sam. Reformasi politik dan ekonomi yang dijalankan sejak 1978. Pada 2010, China mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Posisi tersebut berhasil dipertahankan sampai sekarang. Beberapa ekonom bahkan memprediksi ekonomi China akan melesat melampaui rivalnya AS.
China membangun dirinya sejak tahun 1978 dengan mengembangkan sains dan teknologi, yang didorong dengan kepentingan militer. Pembangunan ini dimulai sejak zaman pemerintahan Mao. Mao menginginkan terbangunnya ‘militerisasi’ yang kuat di atas segala-galanya. Proyek ‘militerisasi’ inilah yang menjadi tulang punggung kebijakan Deng Xiao Ping. Tujuan Deng adalah untuk mendiversifikasi ekonomi Cina sehingga tidak hanya sektor hankam tetapi juga menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sipil. Konsep Deng yang berisi 16 butir tuntunan di awal 1980an secara gamblang menegaskan : mengintegrasikan petumbuhan sektor militer dan rakyat sipil, dengan memastikan memenuhi kebutuhan militer, mempertahankan kemampuan militer, dan menggunakan ekonomi sipil demi upaya modernisasi militer.”
Sebelumnya Cina telah menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet yang terbukti gagal. Deng lalu menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya luar biasa. Cina mengubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia. Ekspor Cina naik sepuluh kali lipat (antara 1990 – 2003 bernilai sekitar $436 trilyun.)[2]Kini nilai ekspor Cina melampui 1 trilyun dolar dan merupakan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dan Jerman.
Sejak 1978, Cina mereformasi ekonominya dari model ekonomi terpimpin ala Soviet menuju ekonomi yang berorientasi ke pasar, namun dengan sistem politik yang dikuasai oleh Partai Komunis Cina. Sistem ini disebut sebagai ‘Sosialisme dengan Karakter Cina’ dan merupakan sistem ekonomi campuran. Reformasi yang dimulai sejak tahun 1978 telah mengangkat derajat jutaan manusia dari garis kemiskinan, menurunkan kemiskinan hingga 53% dari populasi negeri itu di tahun 1981 dan 8% di tahun 2001.
Kebijakan luar negeri Cina juga mencerminkan perubahan penting dari pendekatan Beijing yang sempit dan reaktif pada masa lalu. Cina sudah meninggalkan mentalitas yang memandang dirinya sebagai korban (victim mentality) akibat penderitaan selama 150 tahun dan mengadopsi mentalitas adidaya (great power mentality-daguo xintai). Konsekuensinya, Cina mulai mengambil peran aktif dalam isu global, dimana generasi penggeraknya belum lahir semasa Revolusi Cina sehingga tidak memandang Cina dari perspektif sejarah Cina. Pemimpin kontemporer seperti Hu Jintao, yang lahir hanya beberapa tahun sebelum Revolusi adalah pemimpin Cina pertama yang tidak ikut serta dalam long march yang terkenal karena berhasil mengalahkan kaum Nasionalis dan menaikkan partai komunis ke panggung kekuasaan di tahun 1949. Pemimpin yang menanggalkan victim mentality dan yang mengambil mentalitas adidaya adalah tipe pemimpin yang kini memimpin Cina dan memiliki visi sebagai negara adidaya.
Kebijakan politik luar negeri Cina hari ini berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. China memang melawan strategi AS untuk mengisolasi AS dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Pakistan, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.
Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.
China juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka China tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, China akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi China yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, China sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana China akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?
Secara domestik China memang diperintah oleh Komunisme, karena memang China masih dipimpin oleh sistem 1 partai. Akan tetapi China mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Di saat yang sama, China juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dimana AS berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten. Sampai pada satu titik Cina memutuskan apa jati dirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda dan China pun tidak akan mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.[]