Oleh: Irfan Abu Naveed [Dosen Fikih Siyasah, Manthiq & Bahasa Arab, Narasumber Kajian Tafsir & Balaghah, Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah]
Nadirsyah mengklaim:
Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah.
Qultu:
Pertama, Itu kesimpulan prematur yang terlalu asumtif, sudah saya jelaskan kaidah mendudukkan pembahasan para ulama soal tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 dan hadits khilafah di atas manhaj kenabian dalam tulisan sebelumnya.
Kedua, Benarkah hadits berikut ini hadits dha’if? Dari Hudzaifah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))
Benarkah hadits ini dha’if dan tertolak?
Qultu:
Pertama, Penilaian hadits itu ada konvensinya, dan konvensinya yakni termasuk shalahiyyat para ulama muhaddits. Tidak sembarang orang boleh mengomentari: Hadits ini dha’if, hadits ini shahih tanpa ilmunya. Terlebih tidak jika penilaian hadits tersebut diikuti dengan sikap gegabah, bahwa hadits ini tertolak, tidak boleh digunakan dalil, tak boleh diamalkan. Jelas itu semua sikap gegabah, padahal membutuhkan ilmunya para ulama. Pada prinsipnya penilaian saya dan Nadirsyah tak bisa diterima begitu saja karena sama-sama bukan ulama muhaddits! Maka wajib dikembalikan kepada penilaian para ulama ahlinya.
Kedua, Penilaian para ulama terkait hadits khilafah jelas tidak seperti penilaian Nadirsyah. Hadits ini merupakan hadits yang maqbul dijadikan sebagai hujjah, al-Hafizh al-‘Iraqi (w. 806 H),dalam kitab Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab (hlm. 176) mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.”; Dawud bin Ibrahim tinggal di Bashrah, Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibn Hibban men-tsiqqah-kannya, selebihnya adalah perawi yang dijadikan hujjah dalam al-shahih.
Setelah menukil penilaian hadits al-Hafizh al-’Iraqi di atas, Syaikh Abu al-Turab Sayyid bin Husain al-‘Affani pun dalam A’lâm wa Aqzâm fî Mîzân al-Islâm (I/376) menegaskan: “Hadits ini merupakan hadits shahih yang menegaskan kembalinya Khilafah Islamiyyah.” Dalam ta’liq-nya atas Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad hadits ini hasan”.
Maka, siapa yang lebih layak dipercaya menyoal penilaian dan penyikapan atas hadits ini? Semakin aneh, jika pihak yang mempersoalkan hadits ini berasal dari kelompok yang memang menerima hadits dha’if dalam wilayah fadhâ’il al-‘amal. Maka intinya jelas: Penilaian terhadap suatu hadits wajib didasari ilmu, misalnya apakah ia shahih atau dha’if dan lainnya; jelas ada konvensinya, yang berhak menilai adalah muhaddits, bukan sembarang orang. Maka tikaman mereka yang tidak jelas keilmuan dan kepakarannya di bidang hadits, namun tergesa-gesa memvonis dha’if hadits ini semata-mata berbekal pengetahuannya (yang salah paham) terhadap jarh (kritik) atas salah seorang perawi, jelas tidak ilmiah padahal duduk persoalannya tak sesederhana itu. Kondisi oknum ini, menggambarkan apa yang disinggung para ulama:
إنَّ الرَّجُلَ إذا تكلَّم في غير فَنِّه أتى بالعجائب
Sesungguhnya seseorang itu jika berbicara di luar disiplin ilmunya pasti mendatangkan hal-hal kontroversial.
Tak cukup sampai di sana, yang lebih mengherankan, dari kesalahpahaman ini mereka menafikan secara mutlak perjuangan penegakan Khilafah. Apa yang diperingatkan Imam Malik cukup relevan, dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik r.a. berkata:
الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
“Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan kebingungan.” (Al-Baihaqi, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ’ (atsar no. 817); Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah (I/306))
Para ulama pun menjadikan hadits yang agung di atas sebagai bisyârah tegaknya kembali periode Khilafah di atas manhaj kenabian, dimana hadits yang agung ini mengandung informasi penting mengenai lima periode kepemimpinan politik yang akan dialami oleh kaum Muslim sejak masa kenabian, yakni:
- Periode Kenabian (Nubuwwah);
- Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an] ’alâ Minhâj al-Nubuwwah);
- Periode Penguasa yang Zhalim (Mulk[an] ‘Âdhdh[an]);
- Periode Penguasa yang Diktator (Mulk[an] Jabriyyat[an]);
- Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an] ’alâ Minhâj al-Nubuwwah)
Ketiga, Lalu, bagaimana penjelasan para ulama soal hadits ini?
Menurut hadits yang agung ini, periode pertama kekhilafahan pasca masa kepemimpinan politik nubuwwah adalah periode khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adalah periode Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian dalam mengatur urusan umat (siyâsah). Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376) menjelaskan bahwa makna ’alâ minhâj al-nubuwwah, yakni metode kepemimpinan yang sesuai dengan manhaj kenabian; tegak di atas asas al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berpegang teguh padanya dengan menegakkan keadilan.
Hadits ini pun menunjukkan secara jelas penggunaan istilah khilafah untuk mewakili sistem pemerintahan Islam, ia adalah penyebutan (al-ism) yang memiliki landasan nushûsh syar’iyyah secara jelas (sharîh[an]) dari al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan istilah yang semata-mata digagas oleh para ulama Islam, yang menggambarkan adanya konsepsi pemerintahan dalam Islam, dalam bahasa para ulama yakni: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm.
Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian, yakni periode: Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar bin al-Khaththab, Khalifah ’Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhum-, sebagian ulama -salah satunya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh (hlm. 38)- menambahkan masa kekhilafahan Khalifah al-Hasan bin Ali r.a. yang berjalan selama enam bulan, termasuk masa khilafah yang mengikuti manhaj kenabian, sehingga hitungannya genap menjadi tiga puluh tahun.
Al-Mulla Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits ini menukil dalil hadits, dari Safinah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ ذَلِكَ»
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya masa mulk[un].” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam Ahmad telah men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa mengomentari: “Ini hadits hasan”.
Hadits ini, dalam perspektif cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya ilmu al-ma’ani), sama sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang lebih normatif, secara redaksional tak mengandung qarâ’in: qashr (pembatasan), yakni tidak ada petunjuk dalam redaksinya, bahwa khilafah hanya tiga puluh tahun. Artinya, mereka yang menerjemahkan: “kekhilafahan dalam umatku hanya tiga puluh tahun”, bisa dikatakan gegabah karena ketidakpahamannya pada ilmu bahasa arab, atau tahu tapi jika disengaja maka termasuk kedustaan mengatasnamakan baginda Rasulullah ﷺ.
Kesalahan penerjemahan ini semakin jelas, tatkala kita mengembalikan hadits ini kepada ilmunya para ulama mu’tabar:
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/122), menjelaskan bahwa Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini, atas kekhilafahan para khalifah yang empat. Meski lafal hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah Rasulullah ﷺ tiga puluh tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada kekhilafahan sama sekali. Dibuktikan dengan hadirnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bahkan digolongkan para ulama ke dalam golongan al-khulafâ’ al-râsyidîn karena keadilannya, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang menjadi pandangan Syaikh al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh.
Bahkan kekhilafahan sahabat Mu’awiyyah r.a. yang mengawali era Khilafah Umayyah pun ditegaskan oleh ulama besar madzhab Maliki, Imam
Bahkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696), menyebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz), termasuk jajaran imam yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan imam yang berdiri di atas petunjuk. Ibn Katsir lalu menggolongkannya ke dalam jajaran khalifah yang disebutkan baginda Rasulullah ﷺ, dari Jabir bin Samurah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يَزَالُ الدِّينُ قَائِمًا، حَتَّى يَكُونَ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً مِنْ قُرَيْشٍ»
“Urusan Din ini senantiasa tegak, hingga ada dua belas khalifah, seluruhnya dari keturunan Quraysyi.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Lafal Ahmad)
HR Muslim dalam Shahih-nya; Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4281); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 20805), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits shahih, ini isnadnya hasan, al-Muhajir bin Mismar shaduq husn al-hadits, para perawi selainnya perawi isnad tsiqat, perawi shahih.” Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menukil hadits tentang ini pun mengomentarinya sebagai hadits shahih.
Dengan kata lain, hadits yang mengabarkan masa tiga puluh tahun kekhilafahan di atas, tak lantas menegasikan kemungkinan tegaknya kembali sistem khilafah. Karena lafal khilafah dalam hadits “khilafah 30 tahun” ini merupakan lafal muthlaq yang di-taqyîd (dibatasi) oleh hadits hudzaifah “khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah”, berdasarkan kaidah ushul:
الْمُطلق يجْرِي على إِطْلَاقه مَا لم يقم دَلِيل التَّقْيِيد نصا أَو دلَالَة
Lafal muthlaq tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil berupa nas maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad al-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya tetap dinilai para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah yang ideal berjalan di atas manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni periode adanya para penguasa diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah ’Utsmaniyyah pada tahun 1924 M.
Dan periode terakhir adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini merupakan bisyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadits al-waraq al-mu’allaq, hadits Khilafah turun di bumi al-Quds, hadits mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin berpusat di Syam, hadits hijrah setelah hijrah, hadits al-ghurabâ’, hadits al-mahdi, dan hadits akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir (Muhammad al-Syuwaiki, Al-Tharîq ilâ Daulat al-Khilâfah; Hafizh Abdurrahman, Khilafah Islam dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na, Bogor: al-Azhar Press, Cet. I, 1424 H/2003).
Di antara para ulama dan tokoh mu’ashirin yang menegaskan khabar tegaknya kembali Khilafah di atas manhaj kenabian adalah: Al-Qadhi al-’Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani (w. 1397 H), al-’Allamah Abdul Qadim Zallum, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Dr. Thariq Suwaidan, dan lainnya, termasuk para penyusun buku-buku kajian Islam yang merekam akhbâr akhir zaman, semisal Syaikh Abu al-Asybal Hasan al-Zuhairi dalam kajian Syarh Shahîh Muslim, yang menjawab pertanyaan: “Apakah kekhilafahan di atas manhaj kenabian akan muncul pada era kekhilafahan Imam al-Mahdi atau sebelumnya?” Abu al-Asybal menjawab, bahwa yang rajih, bumi akan dilingkupi oleh kekhilafahan sebelum era Imam al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa a.s., dalam kajian berbahasa arab yang disebarkan oleh islamweb.net.
Kalimat khilâfat[an] ‘alâ minhâj al-nubuwwah mengandung petunjuk adanya manhaj kenabian dalam mengatur masyarakat. Hal itu ditegaskan para ulama yang menyifatinya sebagai manhaj siyasi yang tegak di atas fondasi akidah Islam dan mengatur masyarakat dengan aturan syari’at Islam dalam setiap aspek kehidupan. Menariknya dalam kajian kebahasaan, kalimat (baca: syibh al-jumlah) “’alâ minhâj al-nubuwwah” merupakan sifat dari kata khilâfah, sesuai kaidah bahasa:
الجُمَلُ بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.” (Ibn Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb (hlm. 560))
Kalimat-kalimat (al-jumal) yang dimaksud dalam kaidah ini termasuk bentuk “syibh al-jumlah” seperti ungkapan ’alâ minhâj al-nubuwwah, yang termasuk syibh al-jumlah karena didahului huruf jarr (‘alâ) diikuti kata benda yang di-majrur yakni minhaj, di sisi lain kata benda yang disifatinya adalah kata benda tanpa alif lâm, yakni nakirah berupa kata khilâfat[an]. Sehingga menunjukkan secara jelas bahwa manhaj kenabian merupakan manhaj istimewa bagi sistem kekhilafahan yang wajib ditegakkan, menegaskan adanya kebakuan dan keistimewaan sistem pemerintahan dan tata kelola kenegaraan dalam Islam.
Apa makna khilafah ini? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376), menjelaskan:
(على منهاج النبوة) أي: طريقتها الصورية والمعنوية
“(Di atas manhaj kenabian) yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”
Yakni salafuna al-shalih meneladani metode kenabian dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Metode kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia dengan akidah Islam sebagai fondasinya, dan syari’at Islam sebagai aturannya sebagaimana ditegaskan para ulama.
Hadits Pendukung: Hadits Membentangnya Kekuasaan Kaum Muslim Ke Seluruh Penjuru Dunia
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَض»
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan yakni merah (emas) dan putih (perak).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi)
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) menguraikan bahwa makna kalimat zawâlî al-ardha, yakni menguasainya dan menyatukannya. Dimana beliau pun meluruskan asumsi keliru sebagian orang yang memahami frasa minhâ (darinya) dalam hadits di atas, maknanya bukan bermakna sebagian dari kekuasaan diraih Rasulullah ﷺ tersebut (al-tab’îdh), melainkan keseluruhan darinya, dari Timur hingga Barat, namun diraih dan ditaklukkan secara bertahap, juz[an] juz[an] (bagian demi bagian), hingga menguasai seluruhnya.[1] Mencakup dua pembendaharaan bumi, dengan bahasa kiasan (majazi): al-ahmar yakni emas, dan al-abyadh yakni perak.[2]
Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H) menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) sebagian besarnya dari arah Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari arah Selatan dan Utara maka itu lebih kecil jika dibandingkan dengan arah Timur dan Barat.[3] Dalam hal ini, maksud di balik kalimat “Timur dan Barat” adalah bahasa kiasan dari keseluruhan penjuru bumi mencakup Timur, Barat, Utara dan Selatan, ini merupakan penyebutan sebagian (dzikr al-juz’i) namun yang dimaksud adalah keseluruhannya (irâdat al-kull), dipilih diksi “Timur dan Barat” karena diksi ini mewakili cakupan keseluruhan penjuru bumi, cakupannya lebih panjang daripada garis Utara – Selatan.
Kata zuwiya (زُوِيَ) merupakan bentuk kata kerja pasif (mabnî li al-majhûl) yang berkonotasi jumi’a (جُمِعَ) yakni dikumpulkan[4], oleh siapa? Yakni oleh Allah untuk Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, ini menguatkan keyakinan bahwa kekhilafahan bagi umat ini hakikatnya merupakan nashruLlâh yakni pertolongan Allah, yang harus dijemput dengan iman dan amal shalih, salah satunya adalah dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, sesuai dengan metode yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Informasi agung dan kabar gembira dalam hadits ini, diawali dengan penegasan (taukîd) lafal inna (إِنَّ) yang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran hal yang diinformasikan.
Ini didukung oleh hadits-hadits lainnya yang menggambarkan penaklukkan Kota Konstantinopel dan Roma, dimana penaklukkan Konstantinopel telah terealisasi, hadits pusat Dar al-Islam di negeri Syam, hadits 12 orang Khalifah dari Quraysyi, dan hadits Imam al-Mahdi dibai’at sebagai khalifah, dan lain sebagainya. Seluruhnya menunjukkan kesimpulan akan tegak kembali kekhilafahan kaum Muslim di akhir zaman. Sekaligus meruntuhkan asumsi prematur dari para penolak Khilafah.
[]
والله أعلم بالصواب
[1] Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, juz IV, hlm. 339.
[2] Ibid. lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
[3] Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
[4] Al-Husain bin Mahmud al-Zaidani al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, Kuwait: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz VI, hlm. 9, lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.