Bincang Kepemimpinan, Kiai Muhyiddin: Ikan Busuk Mulai dari Kepala
Mediaumat.id – Membincangkan soal kepemimpinan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhyiddin Junaidi mengutip peribahasa, ‘ikan busuk mulai dari kepala’.
“A fish rots from the head. Ikan itu hancur dan busuknya dari kepala,” lontarnya dalam forum diskusi bertajuk Leadership Criwis: Krisis Kepemimpinan dan Solusinya, Senin (24/10/2022) di kanal YouTube Bincang Perubahan.
“Kalau pemimpinnya sudah buruk, sudah busuk, bagaimana pembantunya?” sambungnya prihatin.
Atau dengan kata lain, segala permasalahan di wilayah kewenangannya dapat terjadi karena pimpinannya bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya.
“Diingatkan jangan utang, masih bangga. Sekarang utangnya sudah tambah menggunung,” ungkapnya, sembari menyebut itu suatu yang salah kaprah.
Atau, seharusnya tidak boleh merangkap jabatan karena sudah jadi pejabat publik (wapres), dicarilah hilah atau cara tertentu menyiasati hukum fikih untuk digunakan sebagai alasan.
“Malu ya, harusnya kode etik melarang dia untuk merangkap jabatan. Tetapi dicari-cari (alasan),” sindir Kiai Muhyiddin kepada sosok ketua umum MUI kala itu.
Sederhananya kata Kiai Muhyiddin, kepemimpinan layaknya pelaksanaan shalat berjamaah. Apabila seorang imam melakukan kesalahan, seketika makmum wajib mengoreksi.
“Sekali dikoreksi, dua kali dikoreksi enggak juga paham imam itu, tiga kali, maka kita sebagai makmum siap untuk meninggalkan imam yang sudah batal tersebut,” terangnya.
Oleh karena itu, sambungnya, Islam sejak dini mengajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang handal.
Pun sebagaimana pasangan suami istri yang di dalamnya terdapat pembagian tanggung jawab hak dan kewajiban.
“Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyatihi. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,” tandasnya mengutip penggalan hadits riwayat Imam Bukhari.
Sehingga Kiai Muhyiddin amat menyayangkan apabila umat Islam ketika melakukan shalat berjamaah belum memahami filosofi yang terkandung di dalamnya. Artinya, ketika koreksi sudah dilayangkan tetapi seorang pemimpin tetap pada pendiriannya yang keliru, umat harusnya segera meninggalkan sembari mencari penggantinya.
“Artinya pula, apabila para pembantu membiarkan pemimpinnya yang sudah busuk maka semua rakyat kena baunya,” tegasnya.
Dengan demikian, kata Kiai Muhyiddin, idealnya seorang pemimpin haruslah menjadi teladan bagi yang dipimpin.
Pencitraan
Di sisi lain terkait dampak buruk pencitraan yang juga kerap dilakukan para pemimpin, kata Kiai Muhyiddin, Rasulullah SAW telah mengingatkan agar umat Islam tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali, seperti di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra. yang artinya:
‘Seorang Mukmin tidak akan dipatuk (terperosok) kalajengking/ular (ke dalam lubang kesalahan yang sama) dua kali’.
Adalah pernah diserupakan dengan sosok Khalifah Umar bin Khattab maupun Umar bin Abdul Aziz. “Itu dicitrakan, padahal itu ya Karim, 180 derajat berbeda dari perilaku sehari-harinya,” tukasnya.
Maknanya, masih segar diingatan Kiai Muhyiddin, karakter orang dimaksud sebenarnya kurang baik. Tetapi karena sudah dibingkai dan dikemas sedemikian rupa oleh media, orang buruk pun tampak menjadi baik. “Memalukan,” cetusnya.
Sebaliknya, orang baik bakal menjadi buruk. “Ini sangat dahsyat. Saatnya umat Islam jangan mudah dibodoh-bodohi,” tambahnya.
Perubahan
Lantaran itu, Kiai Muhyiddin berpesan tentang pentingnya perubahan. “Kita harus ubah, reform, dan ini sesuai dengan topiknya bincang tentang perubahan, kita ubah, change,” tegasnya.
Menurutnya, semua itu tanggung jawab ulama dan tokoh umat melakukan edukasi kepada umat bahwa pemimpin yang tidak beretika, apalagi perpanjangan kekuatan oligarki hanya akan membawa kesengsaraan dan kemudharatan serta konflik yang berkepanjangan.
Bahkan secara edukasi ia juga menyampaikan, bahwa masjid sekalipun bisa digunakan sebagai tempat aktivitas tersebut. “Jangan kita alergi dengan tuduhan, jangan bicara masalah politik di rumah-rumah ibadah,” paparnya.
Sebutlah Nabi Muhammad SAW yang telah menjadikan masjid sebagai a melting pot untuk mengader para sahabat ketika itu. “Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Suhaib ar-Rumi itu adalah anak-anak didik nabi yang ada di masjid dan masjid dimaksimalkan fungsinya untuk memberikan pencerahan kepada warga,” pungkasnya, yang juga memandang itu sebagai aktivitas dakwah islamiah.[] Zainul Krian