Biaya Top Up Untungkan Perbankan
Pembebanan biaya top up akan semakin membebani konsumen dan menguntungkan bank.
Mulai Oktober 2017 PT Jasa Marga mengeluarkan kebijakan pembayaran non tunai untuk melayani seluruh transaksi di pintu tol. Alasan yang dikedepankan oleh pengelola jalan tol menerapkan aturan ini adalah efisiensi dan efektivitas dalam melayani konsumen termasuk mengatasi kemacetan yang selama ini sering terjadi di pintu keluar. Selain itu kebijakan ini juga untuk mendukung gerakan nasional non tunai yang dicanangkan oleh Bank Indonesia yang diluncurkan pada 14 Agustus 2014 oleh gubernur Bank Indonesia.
Siapa yang diuntungkan? Konsumen? Kebijakan pembayaran tol dengan E-Toll Card sangat menguntungkan perusahaan pengelola jalan tol dan perbankan. Kalangan perbankan diuntungkan dengan adanya aturan pengenaan biaya tarif isi ulang (fee top up) uang elektronik atau e-money akhir bulan ini. Karena itulah kebijakan biaya isi ulang ini ditolak oleh berbagai kalangan karena memberatkan masyarakat.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengatakan, biaya tersebut akan membuat ongkos transportasi angkutan barang semakin mahal. “Kalau ada biaya top up makin mahal biaya transportasi nantinya,” katanya kepada Bisnis.com, Sabtu (16/9).
Begitu juga Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai rencana BI tersebut kontraproduktif. “Secara filosofis rencana BI tersebut bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society yang justru mereka dengung-dengungkan,” kata Tulus.
Ia menegaskan, tanpa biaya tambahan pun bank-bank sudah diuntungkan dengan penerapan transaksi non tunai, karena perbankan sudah menerima uang di muka. ”Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,” kata Tulus
Kalangan perbankan diuntungkan karena E-Toll Card yang diterbitkan oleh institusi keuangan yang kebetulan dalam hal ini adalah bank sebetulnya adalah deposit yang ditaruh oleh konsumen tanpa mengeluarkan biaya atau jasa. Bahkan setiap kartu yang diterbitkan bank mendapatkan pendapatan yang diperoleh dari konsumen sebesar Rp. 20.000 untuk setiap kartu. Maka pembebanan biaya top up akan semakin membebani konsumen dan menguntungkan bank. Mekanisme isi ulang juga dilakukan dengan IT sistem yang tidak melibatkan manusia (SDM), arti kata lain adalah biaya bank menjadi sangat efisien karena tidak ada “variable cost”.
Penghasilan pihak bank yang diistilahkan dengan biaya top-up E-Card yang dipungut sekitar Rp 1.500 – Rp 2.000 per Card. Hingga semester I-2017 jumlah uang elektronik berbasis kartu atau E-Card milik Bank Mandiri : 9,5 juta, TapCash milik BNI : 1,5 juta, Brizzi milik BRI : 6,6 juta, BCA :10 juta sehingga dari empat bank tersebut saja jumlah E-Card : 27,6 juta kartu. Maka jika disimulasikan dengan asumsi di atas, BCA dengan jumlah kartu 10 juta dan setiap bulan pelanggan minimal melakukan 1 kali isi ulang, maka BCA akan mendapatkan penghasilan Rp. 2.000 x 10 juta pelanggan maka dihasilkan pendapatan Rp 20 miliar per bulan atau Rp 240 miliar per tahun.
Sementara Pengelola jalan tol akan diuntungkan dengan adanya efisiensi besar –besaran karena tidak memerlukan lagi tenaga kerja untuk menerima pembayaran di gardu tol yang totalnya saat ini ada 988 gardu . Bayangkan, jika ini dilakukan berarti ada penghematan karyawan sekitar 988 x 3 (shift) atau 2.974 karyawan. Asumsi “take home pay” rerata Rp 3 juta, berarti memerlukan biaya minimal Rp 8,92 miliar/bulan. Ini penghematan pengelola jalan tol.
Karena itu, menurut pengamat ekonomi Islam Arim Nasim, kebijakan itu menguntungkan para kapitalis dan membebani rakyat. Doktor ini menilai, negara masih saja menggunakan paradigma kapitalis dalam melayani rakyat. Swasta diberi ruang sebesar-besarnya untuk ikut mengelola negara, sedangkan negara hanya sebagai regulator saja.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Negara dalam sistem Islam tak akan melepaskan tanggung jawab pelayanan rakyat kepada siapapun. Negara juga tak akan menjadikan rakyat sebagai ajang mencari keuntungan. [] MAN
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204