(Mencari Keadilan: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Terlepas dari Segala Fitnah yang Dialamatkan Kepadanya!)
Oleh: Lukman Noerochim, ST., M. Sc., Ph.D
HTI mendapatkan sejumlah fitnah dan sejumlah pencemaran nama baik. Pada sidang gugatan pencabutan status badan hukum HTI oleh Kemenkumham di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (1/3/18) Ansyad Mbai mengatakan terorisme sebagai anak kandung radikalisme, dan radikalisme lebih berbahaya dari terorisme.
Lebih lanjut Ansyad Mbai berpendapat bahwa HTI termasuk organisasi berpaham radikal, karena menafsirkan jihad dengan makna ekstrem, yakni perang, juga menganut paham takfiri. Ia juga mengatakan “Jika pemerintah lamban dan membiarkan paham khilafah berkembang di Indonesia, maka ideologi ini akan menggeser keberadaan Pancasila, mengancam bubarnya kedaulatan NKRI, dan mengganti konstitusi negara kita. Apakah kita ingin seperti Suriah dan Irak!” ujarnya.
Meluruskan Kekeliruan
- HTI Termasuk Radikal Tafsir Ansyad Mbai?
Pemerintah memerangi radikalisme dan terorisme melalui berbagai kampanye. Penulis mencermati fokus kampanye ini diarahkan untuk menantang penerapan syariah Islam dalam konteks Negara seperti khilafah Islamiyah di dalam Narasinya adalah untuk melanjutkan sekulerisasi dan pada saat yang sama membangkitkan rasa takut di kalangan kaum Muslim untuk tidak menjunjung ajaran khilafah dan penerapan syariah Islam secara kaffah sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt dan Rasulullah Saw.
Penulis mengamati istilah ‘ekstremisme’ atau ‘radikalisme’ didefinisikan secara luas sehingga dapat digunakan secara sewenang-wenang; menciptakan histeria yang memungkinkan Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yang tidak populer yang mereka inginkan seperti menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 yang disebut sebagai Perppu Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan mengarahkan masyarakat untuk mengubah keyakinan dan pandangan menurut tafsir pemerintah. Contoh kebijakan ‘ingin melarang HTI’ dengan dalil Perppu Ormas memperkuat fakta bahwa apa yang disebut ‘kontra-radikalisme’ sebenarnya menentang ekspresi untuk mengungkapkan ajaran agama dan pandangan sosial, ekonomi, politik oleh HTI.
Di saat masyarakat mulai terbuka pikirannya tentang kegagalan-kegagalan kebijakan Kapitalistik yang dipraktikkan pemerintah secara ekonomi, politik dan sosial, masyarakat sekarang bergerak untuk mencari alternatif yang mendalam yaitu Islam yang sangat mampu memecahkan masalah politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi dunia saat ini. Hiozbut Tahrir Indonesia (HTI) menurut penulis telah hadir untuk perbaikan bangsa secara riil. HTI sendiri menyerukan Islam dalam metode mendalam intelektual dan politik tanpa kekerasan untuk menggambarkan bahwa Islam adalah panduan komprehensif untuk kemanusiaan.
Ansyad Mbai telah membuat serangkaian pernyataan yang menunjuk pada orang-orang yang disebutnya radikalis. Dia mengangkat satu nama kelompok sebagai yang berbahaya: Hizbut Tahrir Indonesia. Pada tahun 2017 yang lalu Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, mengumumkan berargumen bahwa sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Penulis menilai, masalah sebenarnya penilaian terhadap HTI adalah bahwa pemerintah ingin menegaskan tuduhan yang dibuat terhadap strategi kontra-radikalisme, bahwa pemerintah menuduh HTI sebagai ‘ormas radikal’ untuk mengekspresikan pandangan Islam yang tidak setuju pandangan politik sekuler pemerintah.
Pemerintah keliru memahami HTI, tuduhan bahwa argumentasi HTI semisal “pemerintah melakukan kezaliman dengan kebijakan neoliberalnya”, atau “selamatkan Indonesia dengan Syariah” atau “tolak kedatangan Obama” dan pernyataan serupa ketika mengkritik pemerintah dalam berbagai kebijakan yang dipandang sebagai seolah HTI memusuhi pemerintah.
Penulis prihatin radikalisme maupun ekstrimisme adalah istilah propaganda yang digunakan untuk membungkam setiap perbedaan pendapat dari kelompok muslim yang kritis dan tidak puas atas kinerja pemerintahan – dan kemudian digunakan untuk mengubah nilai-nilai Islam yang murni agar sesuai dengan pandangan dunia sekuler modern.
- Terorisme?
Fitnah lain yang dialamatkan kepada HTI adalah senafas dengan terorisme. Namun batasan dan definisi terorisme masih sangat kabur. Yang lebih menonjol, istilah terorisme itu digunakan oleh Barat untuk mencap semua pihak yang beroposisi dengan Barat. Istilah itu terutama ditujukan Barat kepada Islam dan kaum Muslim yang bersebrangan dengan mereka. Namun, ada satu ciri terorisme yang hampir disepakati oleh berbagai kalangan, yaitu adanya unsur kekerasan yang dapat mengakibatkan tersebarnya teror/ketakutan di tengah-tengah masyarakat.
Siapapun yang jujur akan mengakui, bahwa sejak berdirinya hingga sekarang, HTI adalah entitas pemikiran dan politik yang berupaya mengubah pemikiran masyarakat melalui diskusi dan perdebatan intelektual. HTI hanya menyandarkan aktivitasnya pada perjuangan yang bersifat pemikiran. HTI berpegang dengan hukum Islam yang melarang penggunaan kekerasan, teror, dan pergolakan bersenjata menentang rezim kufur sebagai metode menegakkan kembali hukum-hukum Allah di muka bumi.
HTI tetap berpegang teguh untuk melakukan perjuangan yang bersifat pemikiran dan tanpa kekerasan. Kenyataan ini sudah dipahami oleh hampir semua kalangan, tidak terkecuali oleh lembaga-lembaga Barat sendiri. Karena itu, tidak aneh jika banyak artikel dari berbagai media telah menyatakan dengan jelas bahwa Hizbut Tahrir merupakan organisasi non-kekerasan.
Penulis tidak menerima tuduhan yang menjelekkan dan mengaburkan makna Jihad. Rasulullah menetapkan aturan yang jelas untuk jihad – jauh sebelum pemerintah mengadopsi pemaknaannya . Ingat, Jihad di bawah teladan Rasulullaw Saw. dan Khulafaur Rasyidin yang saleh menyelamatkan seluruh dunia dari penindasan sistem-sistem tiranik.
Demikian pula, bukan tindakan “radikalisme” maupun mengarah pada terorisme tindakan HTI yang hanya mengkritik secara ilmiah dan intelektual kebijakan Negara manapun yang brutal dan menindas yang telah menghancurkan harapan masyarakat terutama di dunia Islam. Ketika pemerintah melakukankebijakan yang “tidak Islami” kemudian menguliahi HTI ‘sebagai ormas yang jernih’ maupun menceramahi masyarakat tentang radikalisme dan terorisme, ini menjadi ironis.
- Tidak Berperan Positif?
Pemerintah ingin mengucilkan peran HTI dan menggolongkannya sebagai gerakan yang tidak memiliki “peran positif”, menurut penulis ini adalah argumentasi keliru besar. Demokrasi di Indonesia diklaim sebagai kebebasan berbicara dan toleransi. Namun HTI yang selalu mengambil peran positif dalam syiar dakwah Islam dan memberikan kritik serius atas kekeliruan kebijakan pemerintah hari ini diberi “sanksi” oleh rezim sekarang dengan cara tidak diberi “ruang”. Pertanyaan serius penulis kepada pemerintah sekarang, apakah Anda anti kritik?
Penulis mengamati HTI jauh dari sifat takfiri, bertolak belakang dengan tuduhan Ansyad Mbai, HTI selalu berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya umat ini membangun peradaban secara benar melalui gerakan pemikiran. Dengan begitu, masyarakat diharapkan memiliki keimanan yang lurus, kuat menghunjam di dalam jiwa, produktif, dan berpengaruh. HTI berdakwah dalam rangka membangun individu Muslim yang berkepribadian Islam, sudah menjadi keharusan membentuk dan meluruskan akidah, ibadah, muamalat, dan akhlaknya. Sebab, secara syar‘i, umat Islam tidak boleh hanya memfokuskan diri pada akhlak semata. Bahkan sebelum segalanya, harus diwujudkan lebih dulu keyakinan akidah. Satu hal yang mendasar tentang akhlak adalah bahwa akhlak wajib dibangun berdasarkan akidah Islam, dan seorang Mukmin wajib mempunyai sifat akhlak dengan prinsip, bahwa itu adalah perintah dan larangan Allah.
HTI selalu menanamkan akhlak mulia di tengah-tengah umat. Bahkan HTI membina para aktivisnya dan umat umumnya agar menjadi Muslim yang berkepribadian Islam, bukan sekadar berakhlak Islam. Sebab, setiap Muslim wajib memiliki akidah yang kuat dan produktif; taat dan rajin beribadah; berakhlak terpuji; dan senantiasa terikat dengan syariat dalam seluruh aspek kehidupannya. HTI memandang, kaum Muslim bukan hanya harus senantiasa khusyuk dalam ibadah, jujur, bertutur sopan, gemar menebar senyum, amanah, bersikap welas asih, dan lain-lain—yang merupakan bagian dari akhlak Islam; tetapi juga mereka wajib berpolitik, menjalankan bisnis, menyelenggarakan pemerintahan, dan lain-lain berdasarkan syariah Islam.
Berikan Ruang dan Kesempatan Kepada HTI
Ingat, tafsir Islam tidak hanya didefinisikan oleh pemerintah. Prinsip-prinsip Islam adalah didasarkan pada teks-teks al Qur’an dan al hadits yang ditafsirkan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, maka Islam tidak dapat dipelintir atau didistorsi hanya untuk menyesuaikan dengan kebijakan domestik pemerintah atau kepentingan pihak asing dari pemerintah manapun. Pemerintah harus instropeksi diri dengan mempelajari konsep-konsep Islam ini dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam -dan melakukan manipulasi maupun pemberangusan hak-hak berserikat bagi warganya untuk mendakwahkan Islam.
Penulis berpendapat, ormas HTI ormas cerdas dan santun, tidak anti debat maupun dialog secara baik-baik dengan siapapun termasuk pemerintah untuk mendiskusikan hal-hal ini. Namun sikap pemerintah memilih lebih memfitnah dan mencela HTI, disaat yang sama pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan tidak pro-rakyat, belum lagi kita bicara ketidakstabilan politik dan terbongkarnya berbagai skandal korupsi di era demokrasi ini. Penulis mengkritisi, dan melihat dalam spektrum sebuah tragedi dimana pemerintah secara intelektual bangkrut dan sekarang hanya dapat menggunakan ukuran tersebut untuk mempertahankan pengaruhnya kepada rakyat.
Jika pemerintah tidak anti kritik, harusnya HTI diberi ruang terbuka untuk terlibat dalam wacana politik secara aktif. Biarkan ormas HTI mendapatkan hak-hak warga Negara yang setara, biarkan HTI konsisten pada keyakinan terhadap ide (pemikiran) yang diyakininya, maka aktivitas produktif yang positif menurut syariah Islam dan berjalan konsisten dan tetap pada pakem ideologis, bahkan jauh dari ciri opurtunistik. Ingat, dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Selanjutnya Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Kepada HTI, penulis mengingatkan b ahwa Allah memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk teguh dan selalu tetap dalam istiqamah, hal ini merupakan sebab yang dapat memberikan pertolongan yang besar dalam meraih kemuliaan.
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat besertamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:112) Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dhalim yang menyebabkanmu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (TQS. Huud: 112-113) []