Bersuaralah!

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Sikap umat Islam yang baik saat menghadapi kezaliman, baik berupa kebijakan penguasa itu harus disikapi dengan sabar, yang disertai dengan ikhtiar untuk mengubah keadaan. Sikap sabar yang pasif dan diam terhadap kefasadan, selain tidak sesuai dengan tuntunan syariah, juga mengandung bahaya besar.

Sikap diam masyarakat akan dimaknai oleh penguasa sebagai bentuk penerimaan dan dukungan masyarakat atas tindakan fasad itu. Sikap ini akan membuat penguasa makin berani membuat berbagai macam kefasadan yang lainnya.

Alhasil, umat harus bersuara dan tak boleh diam. Jika makin banyak dari umat ini yang bersuara, jika jutaan orang menyatakan penolakan dan protes termasuk dalam bentuk turun ke jalan, niscaya akan diperhatikan dan boleh jadi membuat penguasa membatalkan kebijakan fasadnya itu. Lebih dari itu, yang harus menjadi patokan, melakukan amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa merupakan kewajiban dari Allah SWT kepada kita. Dalam hal itu, Allah tidak akan menghisab kita apakah nasihat dan koreksi yang kita sampaikan itu digubris oleh penguasa atau tidak. Yang justru bakal Allah hisab adalah sikap diam kita terhadap kezaliman dan fasad yang dibuat penguasa.

Jika ada yang mengatakan bahwa mana ada penguasa yang berniat menyusahkan atau menzalimi rakyatnya, maka ungkapan itu tidak perlu diperhatikan. Sebab, dalam hal kefasadan itu, yang tahu niat dan motivasi sesungguhnya adalah pelakunya dan Allah SWT. Yang harus dilihat adalah kenyataan dari kefasadan itu dan dampaknya bagi umat. Kaidah yang masyhur mengatakan, “Nahnu nahkumu bi zhahir walLah ya’lamu syara’ir (Kita menghukumi yang nyata dan Allahlah yang Maha mengetahui yang tersembunyi).”

Kita harus bersuara dan tak boleh diam. Kita harus bersuara: Pertama, dalam konteks amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa. Jika kita tidak melakukan ini maka bahaya besar akan mengancam. Rasul saw. bersabda:

« وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ »

Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan atas kalian sanksi dari sisi-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan doa kalian tidak dikabulkan (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Apalagi kefasadan berupa kebijakan zalim penguasa itu merupakan bagian dari liberalisasi total. Itu jelas-jelas menyalahi syariah, mungkar dan zalim.

Amar makruf nahi mungkar serta menghentikan kezaliman penguasa itu pada dasarnya merupakan bentuk kasih sayang sekaligus untuk membantu pihak yang zalim agar menghentikan tindakan zalimnya dan pihak yang dizalimi agar terbebas dari kezaliman. Tujuannya, untuk menyelamatkan semuanya dari kehancuran.

Kedua, kebijakan zalim ini hanya bagian dari banyak kefasadan lainnya, yang pangkalnya adalah syariah tidak diterapkan untuk mengatur kehidupan. Karena itu, selain bersuara dalam konteks yang pertama itu, umat juga harus bersuara dalam konteks perjuangan aktif untuk mewujudkan penerapan syariah.[]

Share artikel ini: